Menuju konten utama

Saat Kesepian Meningkat, 'Cuddle Therapist' Hadir sebagai Solusi

Kesepian dan kekurangan sentuhan dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan mental. Jasa peluk profesional hadir untuk mengatasi isu ini.

Saat Kesepian Meningkat, 'Cuddle Therapist' Hadir sebagai Solusi
Header SIde Job Jasa Peluk Profesional. tirto.id/Fuad

tirto.id - Pekerjaan memberikan layanan pelukan (cuddle therapist) profesional atau cuddle care mulai marak di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Penjual jasa menawarkan pelukan untuk memberikan kenyamanan emosional kepada pelanggannya yang merasa kesepian. Profesi ini muncul seiring meningkatnya Indeks Kesepian di banyak negara.

Beberapa studi menunjukkan bahwa Indeks Kesepian di berbagai negara, termasuk Indonesia, mengalami peningkatan. Menurut survei yang dilakukan oleh Meta-Gallup yang dilakukan di 142 negara, tercatat 24 persen penduduk dunia merasa sangat kesepian atau cukup kesepian. Angka-angka tersebut, bahkan bisa jadi lebih tinggi, karena baru sekitar 77 persen orang dewasa di dunia.

Temuan lain yang menarik adalah anak muda yang berusia 19-29 tahun ternyata lebih merasa sangat kesepian dan cukup kesepian dibandingkan orang dewasa. Tingkat kesepian di kalangan anak muda justru lebih tinggi dibandingkan orang dewasa berusia 45 tahun keatas.

Sementara itu, studi lainnya menyebut sekitar 33 persen orang dewasa di seluruh dunia mengalami perasaan kesepian. Di Brasil, 50 persen penduduknya merasa kesepian. Sedangkan di Amerika Serikat (AS), lebih dari separuh orang dewasa (58%) dianggap kesepian. Dan, di negara-negara seperti Lesotho, Filipina, dan Uganda, mayoritas (>50%) penduduknya merasa sangat kesepian atau cukup kesepian.

Indeks kesepian di negara-negara yang masyarakatnya individualis atau kurang bersosialisasi semakin besar. Sedangkan Indonesia yang masyarakatnya masih guyup rukun atau kebersamaannya tinggi, indeks kesepian masih relatif rendah. Ibu Pertiwi menempati peringkat ke-126 dari total 142 negara yang disurvei.

Meskipun rendah, terdapat indikasi tren indeks kesepian yang meningkat, terutama yang berdomisili di kota-kota besar. Survei kesehatan dari Health Collaborative Center (HCC) mengungkapkan bahwa 44 persen warga Jabodetabek mengalami kesepian derajat sedang dan 6 persen level berat. Mereka adalah perantau, berusia muda di bawah 40 tahun, belum atau tidak menikah, dan berjenis kelamin perempuan.

Pandemi Buat Makin Kesepian

Banyak orang kota yang kesepian, namun enggan bercerita atau memilih menutupinya. Kisah tentang kesepian ini, justru bermula saat pandemi COVID-19 melanda dunia di awal tahun 2020.

Lebih lanjut, perasaan ini menimbulkan serangkain masalah serius, termasuk depresi, kecemasan, penyalahgunaan obat-obatan, penyakit jantung, kekerasan dalam rumah tangga, dan masalah-masalah lain yang tampaknya muncul selama pandemi. Layanan pemeluk profesional bias menjadi salah satu solusi.

Ilustrasi jasa peluk

Ilustrasi jasa peluk. (FOTO/iStockphoto)

Yosef, salah satu klien cuddler care memberi testimoni positif mengenai terapi pelukan di klinik Cuddle Up To Me di Portland, Oregon, AS. Saat merasa sedih, dia biasanya memeriksa mentalnya untuk melihat bagaimana dia dapat mencerahkan suasana hatinya: "Apakah saya sudah makan? Apakah saya sudah tidur? Apakah saya sudah minum air? Apakah saya sudah menyentuh manusia dalam beberapa hari terakhir?"

Jika jawaban terakhirnya adalah tidak, dia berkata pada dirinya sendiri, “Baiklah, cari pelukan.” Terkadang, terapi pelukan adalah caranya untuk memenuhi kebutuhan itu. Meskipun Yosef dulunya merasa kesulitan untuk merasa nyaman dengan sentuhan fisik, kini dia mulai merasa nyaman menghadiri pelukan kelompok setelah 6 kali sesi terapi.

Keeley Shoup, seorang terapis pelukan bersertifikat yang berbasis di Chicago, AS membagikan seperti apa sesi berpelukan yang biasa dilakukannya. Sebelum berpelukan atau menyentuh, dia dan kliennya akan membicarakan perasaan mereka dan batasan-batasan mereka.

Lalu, mereka dapat memilih tempat yang nyaman untuk berpelukan. Bisa di sofa, di tempat tidur sambil menonton film, atau berbaring sambil mendengarkan musik. Mereka dapat berbicara atau tetap diam selama itu sesuai dengan kebutuhan klien.

Selama bekerja itu, menurut Shoup, dia berpakaian sopan dan aman, seperti memakai celana legging dan kaos T-Shirt longgar.

Dilansir dari Times Now News, Shoup, wanita asli Chicago, AS yang menjual jasa pelukan sejak tahun 2015 ini mengaku menawarkan jasanya dengan tarif 100 dolar AS, atau sekitar Rp1,6 juta, per jam jika dihitung dengan kurs Rp 16 ribu per dolar AS. Dia mengaku telah mendapat berbagai macam permintaan klien dari yang biasa hingga yang aneh. Namun, dia bersikap sangat tegas atas aturan dalam terapinya.

Bagaimana di Indonesia?

Awal tahun 2020, perusahaan rintisan Indocuddle pernah mengegerkan masyarakat, karena membuka lowongan pekerjaan pemeluk profesional. Pendirinya adalah Akbar Sahban yang berlatar belakang sebagai guru dari anak-anak berkebutuhan khusus.

Kandidat karyawan yang dicari oleh Indocuddle adalah pria atau wanita berusia 18-45 tahun, lulusan S1 Psikologi, berpenampilan menarik, dan punya kemampuan komunikasi yang baik. Dan, di postingan Instagram @indocuddle, tarif jasa layanan curhat dan pelukan adalah Rp 700 ribu per jam.

Indocuddle mengumumkan akan launching pada April 2020, namun rencana itu tertunda, karena pandemi. Dan sampai saat ini, Indocuddle belum terdengar kembali beroperasi.

Meski cuddle care resmi masih sulit dicari di sini, faktanya ada permintaan terhadap jasa pemeluk profesional. Buntutnya, banyak yang mengaku penjual jasa pemeluk profesional yang menawarkan diri via media sosial, seperti di Carousell, facebook atau instagram.

Profesi ini belum ditata dengan baik sebagaimana terapis kesehatan profesional. Tak heran bila citranya masih belum baik, bahkan kerap disamakan dengan layanan prostitusi. Ini terjadi karena ulah oknum cuddler ‘nakal’ yang membuat stigma cuddler care menjadi negatif.

Profesi yang terbilang agak nyeleneh ini sebetulnya bisa diterapkan dengan aturan-aturan tertentu sesuai norma dan budaya. Misal, cuddler hanya akan melayani pelukan dengan batasan kepada sesama jenis dan anak-anak saja, curhat, dan percakapan mendalam (deep talk). Para psikolog kabarnya banyak yang sudah menerapkannya untuk membantu klien.

Banyak orang yang tulus ingin membantu orang walau sekedar memberikan pelukan atau mendengarkan keluh kesahnya. Bahkan, ada yang memberikan jasanya secara gratis. Seperti yang viral di akun twitter baru-baru ini.

Seorang Perempuan muda di Medan, Sumatera Utara tampak berada di tempat keramaian menawarkan layanan pelukan gratis. Gadis berhijab itu membawa selembar karton bertuliskan,”Free hug. Peluk aku jika kamu butuh (Women only).” Aksinya tersebut dibagikan oleh akun X @bersuarakan.

Perempuan yang tidak diketahui namanya itu mungkin ingin membantu orang lain dengan cara memeluk yang tidak melanggar aturan agama dan norma masyarakat. Makanya, dia membatasi hanya untuk wanita.

Namun harap berhati-hati, ada juga cuddle care yang diindikasikan menjual jasa ‘prostitusi terselubung. Mereka biasanya menawarkan diri secara individu di media sosial, seperti di Instagram atau twitter. Lalu, menjual jasa pelukan kepada lawan jenis yang terapinya dilakukan di hotel, kos atau rumah.

Lebih lanjut, meski profesi pemeluk profesional punya dampak positif bagi manusia, keberadaan mereka juga memiliki banyak dampak negatif, seperti berikut ini;

Pertama, normalisasi interaksi transaksional. Dampak buruknya adalah pelukan yang seharusnya bersifat intim dan pribadi menjadi hal yang bisa dibayar, sehingga kehilangan maknanya. Pelukan sebagai bentuk kasih sayang sesama manusia yang tulus bergeser menjadi komoditi yang diperjual belikan.

Kedua, mengabaikan solusi jangka panjang. Kebiasaan menggunakan jasa pelukan profesional bisa membuat orang menutupi masalah kesepian dan hubungan sosial yang sebenarnya. Artinya, mereka lebih memilih mencari solusi pintas dengan membeli layanan pelukan daripada mencari jalan keluar yang riil, seperti menikah atau membangun relasi yang hangat dengan keluarga.

Baca juga artikel terkait BISNIS SAMPINGAN atau tulisan lainnya dari Suli Murwani

tirto.id - Side job
Penulis: Suli Murwani
Editor: Dwi Ayuningtyas