Menuju konten utama

Mengikuti Patroli Polisi Syariah Aceh: Bagian Tubuhmu adalah Dosa

Anda dilarang berpakai ketat dan celana pendek atau berduaan di tempat sepi; singkatnya, dilarang ini-itu karena "dosa".

Mengikuti Patroli Polisi Syariah Aceh: Bagian Tubuhmu adalah Dosa
Beberapa petugas Wilayatul Hisbah atau sering disebut Polisi Syariah di Aceh. tirto.id/Restu Diantina Putri

tirto.id - Pengalaman pertama saya dengan Wilayatul Hisbah alias polisi syariah ketika di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Saat itu saya sedang mengambil gambar lanskap masjid didekati seorang petugas dengan mobil patroli.

"Anda bisa tidak pakai pakaian sopan?" tegur si petugas. "Di pintu masuk kan sudah jelas ada imbauan harus berpakaian syar'i. Silakan ke luar dulu, ganti dulu celananya, baru masuk lagi."

Cukup memalukan sebenarnya, karena saya ditegur di depan banyak orang. Tapi, saya memang mengenakan celana jins hitam pas badan. Saat memasuki kompleks masjid pun tidak ada yang mengingatkan bahwa perempuan dilarang pakai jins. Bahkan, saya masih sempat menunaikan salat Asar dan wara-wiri di halaman masjid. Petugas yang menegur sebelumnya sudah beberapa kali berpapasan dengan saya.

Saya melipir ke bagian penitipan sepatu di dekat pintu masuk. Beruntung saya bawa mukena. Akhirnya, saya memakai bawahan mukena untuk melanjutkan keliling masjid raya. Tapi, jikapun tidak, pengelola masjid sudah menyediakan pakaian syar'i untuk pengunjung wanita.

Saya cukup lengah karena selama dua hari saya berkeliaran di Kota Banda Aceh juga menggunakan jins, dan tidak seorang polisi syariah pun yang menegur. Belakangan, baru saya tahu, razia pakaian syar’i seperti itu tidaklah rutin seminggu sekali. Polisi syariah hanya melakukan patroli rutin tiap jelang salat Jumat.

Saya berkesempatan mengikuti patroli polisi syariah pada Jumat, 13 Juli lalu. Bersama 12 polisi syariah wanita, saya berkeliling Kota Banda Aceh sejak pukul 11.30. Cuaca terik sekali. Di Aceh, waktu salat zuhur sekitar pukul satu siang, sehingga polisi syariah punya waktu sekitar satu jam untuk mengimbau masyarakat.

Itulah mengapa petugas wanita yang dikerahkan tiap patroli Jumat.

“Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh,” suara Duri, koordinator lapangan, bergema di ujung megaphone. “Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, mohon segera menghentikan segala transaksi jual beli karena akan segera memasuki waktu salat Jumat."

"Ibu, tokonya ditutup dulu, Bu. Atau ditutup dengan kain."

Mobil patroli lalu bergerak dari Jambo Tape ke arah Peunayong, pusat pertokoan di Banda Aceh. Toko-toko mulai ditutup, atau paling tidak ditutupi kain. Suasana sepi.

Salah satu tim patroli siang itu adalah Mala, yang menjadi anggota Satpol PP dan Wilayatul Hisbah sejak 2008. Jika tak bertugas patroli sebagai polisi syariah pada hari Jumat, ia bertugas sebagai satpol PP Provinsi Aceh.

“Kalau razia pakaian ketat itu tergantung. Bisa mendadak. Namanya juga razia," katanya.

"Dulu kalau ada yang kedapatan pakai pakaian tidak syar’i, diberikan sarung untuk laki-laki, jilbab atau rok untuk perempuan. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Tidak ada dananya,” tambah Mala di atas mobil patroli.

Usai berkeliling di Banda Aceh, mobil patroli menuju Masjid Raya. Kami turun di sana.

“Ini mau ngapain, Bu?”

“Kami mau menertibkan jamaah. Kadang suka bercampur antara laki-laki dan perempuan,” kata Duri.

Ia benar. Beberapa kali ke Masjid Raya, jemaah pria dan wanita acap bercampur, baik di halaman maupun dalam masjid.

Duri dan regunya menyebar di dalam masjid. Mengimbau agar jemaah wanita dilarang bercampur dengan laki-laki lantaran salat Jumat akan segera dimulai.

Namun, Duri dan timnya menemui satu masalah kecil. Cukup banyak jemaah wanita yang datang hari itu. Ia mau tak mau menempatkan mereka di halaman masjid karena bagian dalam masjid sudah dipenuhi jemaah laki-laki.

Sayangnya, tak semua payung elektrik masjid yang biasa menjadi tempat berteduh dibuka. Hanya dua dari 12 payung yang dibuka siang itu, buntut salah satu payung rusak akibat angin kencang beberapa tempo lalu. Alhasil, jemaah wanita berdesakan di bawah payung sayap kanan masjid. Lantai halaman masjid terlalu panas lantaran dikeramik. Usai memastikan jamaah tertib, tim patroli memutuskan kembali ke kantor di Jambo Tape.

“Itu saja, Bu?”

“Iya, begitu saja tiap Jumat.”

Rabu pekan berikutnya, 18 Juli, polisi syariah menggelar razia di sekitar kawasan Masjid Raya Baiturrahman: 50 orang terciduk lantaran berpakaian ketat dan celana pendek. Kendati demikian, mereka hanya didata dan dibolehkan melanjutkan perjalanan.

“Belum ada aturan yang bisa mendenda mereka,” kata Kepala Seksi Pengawasan Polisi Syariat Provinsi Aceh Syauqas.

Infografik HL Indepth Aceh

Hukum Cambuk sebagai 'Pertobatan'

Keberadaan polisi syariah tak lepas dari sejarah politik Aceh usai perjanjian damai antara GAM dan pemerintah pusat dalam UU Pemerintah Aceh tahun 2006. Tupoksinya diatur dalam Qanun Nomor 5/2007 pasal 203, dengan ranah kewenangan pada enam qanun: pelaksanaan syariat bidang akidah, khamar (minuman keras), maisir (judi), khalwat (mesum), pengelolaan zakat, dan qanun jinayat (pidana).

Kewenangan polisi syariah lalu diperbarui dalam Qanun 6/2014 tentang hukum jinayat, yang memperluas ruang lingkup jarimah atau pelanggaran: ikhtilath (bermesraan), zina, pelecehan seksual, perkosaan, qadzaf (menuduh seseorang melakukan zina), liwath dan musahaqah (LGBT).

Kepala Bidang Pengawasan Syariat Islam Satpol PP dan Wilayatul Hisbah Aceh Aidi Kamal menjelaskan kewenangan polisi syariah sebatas pada "pembinaan". Razia atau operasi gabungan hanya terkait tata busana syar’i.

“Sementara untuk perzinahan, judi, dan minuman keras, kami menunggu laporan warga atau laporan intel kami di lapangan. Kami melakukan verifikasi, baru kami turun lapangan,” klaim Aidi.

Untuk khalwat, Aidi menjelaskan bahwa sebelum diproses ke Mahkamah Syariah, masalah itu akan dibereskan "secara kekeluargaan" terlebih dulu jika belum sampai ada pembuktian melakukan zina.

“Pun jika zina, ya tetap harus dibuktikan. Ada saksinya, ada buktinya. Tidak langsung vonis,” imbuh Aidi.

Aidi mengatakan Wilayatul Hisbah bersama instansi lain biasa melakukan "operasi gabungan" pada momen-momen tertentu, misal tahun baru dan hari Valentine, untuk merazia pasangan khalwat.

"Karena polisi tidak punya wewenang ketok pintu kamar hotel. Kami punya,” katanya.

Kehadiran polisi syariah adalah logika terusan dari penegakan hukum syariah. Namun, kehadirannya juga dipertanyakan karena dipakai untuk mengurusi "moral" warga, mengambil hak ranah privat individu.

Dalam catatan Human Rights Watch, organisasi internasional pemantau hak asasi manusia, terduga pelanggar hukum syariah menerima sejumlah kekerasan oleh polisi syariah.

Misalnya pada Januari 2010, Nita diperkosa oleh polisi syariah setelah dituduh berkhalwat lantaran berboncengan dengan pacarnya di tempat sepi. Lalu, ada pula penahanan anak di bawah umur yang terbukti khalwat, pemaksaan pemeriksaan keperawanan, dan pemaksaan menikah terhadap tersangka perkosaan.

Pada Januari 2018, sejumlah waria di Aceh Utara ditangkap yang berujung tindakan diskriminatif oleh polisi syariah. Begitupun praktik tebang pilih pada kasus PSK online: yang ditangkap dan diproses hanya PSK, sedangkan laki-laki yang memanfaatkan jasa PSK melenggang bebas.

Lantaran rekam jejak itu, sejumlah kelompok kritis di Aceh meminta agar keberadaan atau setidaknya kualitas polisi syariah dievaluasi kembali.

Dari segi anggaran, dalam kopian dokumen APBA 2018 yang dimiliki redaksi Tirto, Dinas Syariat Islam yang membawahi polisi syariah menyedot anggaran Rp13,96 miliar, dengan pos anggaran terbesar pada belanja pegawai senilai Rp8 miliar.

Sewaktu APBA 2018 molor disahkan, pada Januari 2018, Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh memberhentikan 100 personel honorer polisi syariah. Alasannya, tidak ada biaya untuk membayar gaji para pegawai honorer tersebut.

Aidi Kamal menampik ada perilaku kekerasan dan diskriminasi oleh polisi syariah dalam penegakan syariat di Aceh. Soal kelompok LGBT, ia "hanya melakukan pembinaan" dan tidak memproses lebih lanjut kelompok waria.

“Kami tidak menangkap karena identitas mereka sebagai waria, tapi karena perbuatan yang melanggar hukum. Makanya tidak sampai dicambuk, hanya pembinaan. Lebih jelasnya, silakan tanyakan pada pihak yang menangani kasus itu,” ujar Aidi.

Menurut Aidi, hukum cambuk adalah "ajang pertobatan" bagi yang dicambuk. Sementara bagi yang menonton hukum cambuk sebagai "peringatan" agar tak meniru perilaku tersebut.

Saat saya berpamitan dengan Aidi usai wawancara, ia sempat mengingatkan saya satu hal: “Besok bajunya pakai yang agak longgar, ya. Itu masih kelihatan lekuk badannya.”

Baca juga artikel terkait ACEH atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Humaniora
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam