tirto.id - Algojo dengan pakaian serba cokelat merentangkan tangan kanannya selebar 90 derajat. Dalam hukum syariat, posisi seperti itulah yang diperintahkan perda atau qanun syariat Aceh ketika akan mencambuk terpidana laki-laki.
Di hadapannya sudah ada seorang terhukum berinisial NR, terpidana kasus liwath atau hubungan seksual antarpria, yang akan didera 86 kali cambuk. Tangan NR menyilang di depan, bersiap menerima cambuk pertama sembari memejamkan mata.
“SATU!” Seorang pejabat dari Kejaksaan Negeri Banda Aceh memberi instruksi di ujung mikrofon.
Lalu dera cambuk pertama mendarat di punggung NR. Ia meringis. Orang-orang yang menonton hukum abad pertengahan itu bersorak dan mengejek di halaman Masjid Baiturrahim, Ulee Lheue, sebuah gampong di Banda Aceh. Para penonton itu, yang kebanyakan laki-laki, melakukan gestur mencela seakan menggoda perempuan.
Bersama pasangannya—yang berinisial MR—NR dituduh “berzina” di sebuah kawasan di Banda Aceh. Mereka adalah pasangan LGBT kedua yang dihukum cambuk di Provinsi Aceh setelah kasus pertama pada Mei 2017.
Bagi keduanya, dan orang-orang dengan orientasi seksual sebagai LGBT, hukum syariat menjadi selesat tombak yang memburu mereka. Betapapun di daerah lain di Indonesia termasuk Jakarta, kelompok LGBT jadi target penangkapan dan diskriminasi, tetapi situasi di Aceh lebih keras terutama karena para polisi moral bernama Wilayatul Hisbah telah menutup usaha mereka mencari makan—sebuah pelanggaran hak sipil yang merembet pada hak ekonomi.
Di kawasan yang disebut Badan Pusat Statistik sebagai provinsi paling miskin se-Sumatera, jelas menghambat akses ekonomi kelompok rentan atas nama moral menjadi problem tersendiri, kalau bukan menggambarkan paradoks kondisi Aceh mutakhir.
Jumat sore itu, 13 Juli 2018, selain keduanya, ada 13 terpidana lain yang dituduh melanggar qanun syariat, terdiri 10 laki-laki dan 5 perempuan. Semuanya menjalani hukuman cambuk.
Warga antusias menyaksikan hukuman tersebut. Terus menyoraki. Terus mencemooh.
Ketika seorang perempuan bernisial MH duduk gemetar, sembari menggigit bibir dan meremas tangannya kuat-kuat di atas paha, menanti cambuk rotan mendarat di punggung, penonton tiada henti menyorakinya.
“Masak digoyang mau, dicambuk enggak tahan,” suara penonton kepada MH yang dipidana cambuk 20 kali karena melanggar ikhtilath atau bermesraan dengan pasangannya.
Ada juga terpidana berinisial VN, seorang warga Kristen yang “kedapatan” menyimpan dan menjual minuman keras.
“Hei, ini Aceh, Bu! Jual saja di tempat lain,” mereka berteriak.
Kepala Wilayatul Hisbah Banda Aceh M. Hidayat mengatakan bahwa khusus kasus terhukum LGBT merupakan hasil laporan warga yang “menangkap mereka” lalu, “sebagai tugas untuk penegakan syariat, kami menindaklanjuti laporan itu.”
Pertanyaannya: sampai kapan hukum yang mengurusi moral ini terus berjalan di Aceh? Apakah ada ujungnya?
Dari Berjuang demi GAM Jadi Aktivis LGBT
Saya menemui Sherli sehari setelah hukuman cambuk tersebut. Sherli pernah terlibat dalam jaringan Gerakan Aceh Merdeka, sebuah gerakan politik dan bersenjata yang dicetuskan Hasan di Tiro pada 1976. Ia memutuskan ikut bergerilya bersama keluarganya setelah menolak tunduk terus-menerus di bawah politik teror pemerintahan militer Indonesia. Peran Sherli di GAM memastikan pasokan logistik aman mencapai markas para kombatan.
Saat status daerah operasi militer dicabut oleh pemerintah Jakarta, sesudah gelombang politik menurunkan penguasa Orde Baru Soeharto, Sherli turun gunung. Setelahnya, ia mulai melela dengan berpakaian seperti wanita. Sherli kemudian membuka salon di daerah Simpang Surabaya, Banda Aceh, dan mempekerjakan sekitar lima karyawan yang seluruhnya transgender.
Sherli membentuk komunitas bernama Putro Sejati alias “Putri Sejati” di Banda Aceh, yang membela dan merekam beragam kasus diskriminasi yang dialami waria. Sherli mencatat sudah ada 40 kasus penangkapan transgender sampai bulan Juli di tahun ini saja.
“Ada yang lagi beli nasi, ada yang kerja di salon, kemudian ditangkap. Bukan razia tapi biasanya dari laporan warga. Mereka menelepon WH,” jelas Sherli menyebut singkatan Wilayatul Hisbah alias polisi syariah Aceh.
Baik dalam razia atau penangkapan, kelompok transgender rentan mendapat kekerasan dari otoritas hukum Aceh. Mereka akan diberi pilihan untuk digunduli atau “dibina” oleh Dinas Syariat Islam.
“Biasanya agar cepat, teman-teman memilih digunduli. Toh, waktu pembinaan nantinya akan digunduli juga,” imbuh Sherli.
Di lingkungannya, Sherli berani untuk berkegiatan, meski ia harus sehati-hati mungkin. Selain “diuntungkan” karena ia berada di kampung halaman sendiri, ia cukup berani untuk melawan balik jika memang tindakannya benar.
Kendati demikian, kadang ada pula polisi syariah yang mencari-cari kesalahannya. Misalnya, menggunakan dalih jam malam.
“Saya pernah tutup salon dari jam 12 malam. Lalu jam 3 pagi kami keluar mau pulang. Enggak tahunya, di depan sudah ada WH yang menunggu. Bilang ke kami [bahwa] kami buka lewat jam malam,” cerita Sherli.
Namun, jika menyangkut karyawannya, hal itu jadi perkara lain. “Ketakutan mereka berlebihan. Misal, saya suruh beli makanan saja di ujung jalan, mereka enggak mau. Takut ketemu WH,” tambah Sherli.
Selain kekerasan dan diskriminasi, pelecehan seksual kerap dialami kelompok LGBT.
Eris, misalnya, saat “terciduk” pada 2005 diminta polisi syariah untuk melakukan seks oral.
“Kamu lakukan itu?”
“Ya gimana? Daripada aku dipukulin,” Eris berkata dengan nada santai.
“Bahkan kami yang berpakaian seperti ini saja masih mengalami pelecehan. Alat kelamin kami dipegang.”
Saya menoleh ke arah suara itu. Sosok berjilbab panjang hitam yang duduk di seberang meja. Sedari tadi ia hanya menyimak pembicaraan kami. Kali ini ia ikut menyahut. Suaranya tinggi dan lembut. Ia mengenalkan diri Cici Unae.
Cerita Seorang Khunsa
Unae, 26 tahun, membawa saya ke rukonya di kawasan Meuraxa, sebuah kecamatan di Banda Aceh. Bangunan itu berlantai dua. Bagian depan agak melompong. Hanya ada rak kaca berisi pajangan kopi Aceh dan sebuah meja kerja. Unae mempersilakan saya duduk.
“Dulu saya punya kafe di daerah Ulee Lheue tempat kami bertemu tadi dengan Kak Sherli,” ujar Unae. Tapi kemudian, lanjutnya, Dinas Perdagangan meminta pindah dan melarangnya membuka kafe.
“Alasannya karena saya transgender. Berkas-berkas perizinan kafe dipersulit. Akhirnya, saya hanya taruh saham di sana dengan menggunakan nama kakak,” kata Unae.
Bentuk diskriminasi lain juga ia alami. Sebagai pengusaha kopi, ia kerap diundang untuk mengisi stan di acara yang digelar Dinas Perdagangan dan biasa juga bertugas menyajikan kopi hasil produksinya. Namun, ia mendengar ada banyak suara sumbang yang keberatan dengan kehadirannya di acara formal seperti itu.
“Memang tidak ada pebisnis kopi lain yang bukan transgender?” Unae mengulang cibiran itu.
Unae adalah antitesis stereotip yang kerap ditujukan terhadap mayoritas LGBT. Ia aktivis di UIN Banda Aceh, bahkan nyaris menjadi ketua badan eksekutif mahasiswa. Namun, karena persoalan identitas gender, jabatan itu batal ia pegang.
Ia sempat bekerja sebagai karyawan di sektor formal, seperti supervisor di perusahaan penyedia telekomunikasi hingga staf perbankan.
Namun, dalam perjalanannya, nasib Unae seakan membuktikan ucapan ayahnya bahwa seorang transgender di Aceh sulit punya karier sukses.
Pada 2011, saat Suguya, pusat perbelanjaan terbesar di Banda Aceh, baru dibuka, perusahaan tempatnya bekerja membuka stan. Sebagai supervisor, ia turut ke lapangan. Saat itu sekitar pukul 9 malam, ia bersama rekan kerjanya hendak pulang. Sebelumnya, ia meminta berhenti lebih dulu di satu warung makanan pinggir jalan di depan Suguya. Mobil yang ia tumpangi diparkir agak jauh.
Saat itulah patroli polisi syariah datang. Unae saat itu belum berjilbab. Pakaian bekerjanya sehari-hari adalah pakaian perempuan. Ia langsung dikenali sebagai waria. Di tempat itu pula ia diringkus dan digunduli oleh polisi syariah.
“Setelah itu saya bergabung dengan komunitas Putro Sejati untuk mendapatkan perlindungan,” kata Unae.
Sesekali ia membetulkan pinggiran jilbab atau merapikan rok panjangnya. Gerakannya anggun. Jika Sherli tak mengenalkannya sebagai anggota komunitas, saya tidak akan tahu Unae adalah seorang LGBT.
Karena penampilannya itu, Unae bahkan pernah dilamar dua kali oleh pria: Pertama pada 2012 saat kabur ke Jakarta; dan kedua pada Mei 2018.
“Mereka sudah tahu kondisi saya dan mereka tetap mau menikahi.”
Pernikahan itu batal setelah keluarga pihak laki-laki mengetahui identitas gender Unae.
Sebelum ke Banda Aceh, Unae menjadi santri di pesantren selama dua tahun, dan “tersiksa” lantaran harus tidur dan mandi bersama laki-laki.
Unae mulai memakai jilbab di tempat publik pada 2016, kecuali di lingkungan kampus. Saat wisuda, ia bahkan memangkas rambut dan menggunakan jas layaknya laki-laki.
Sebelum memutuskan berjilbab, Unae mendatangi dayah demi dayah—sebutan lokal Aceh untuk pesantren—dan bercerita soal krisis identitas yang dialaminya. Ia mempelajari kitab Al Bajuri, yang juga diajarkan di UIN. Dari sanalah ia mengetahui kondisi dirinya disebut khunsa.
“Saya tidak punya testis, tapi punya kantong rahim,” kata Unae.
‘Moral Hukum, Bukan Hukum Mengatur Moral’
Bagaimana menjelaskan sebuah hukum yang mencabut hak ekonomi seperti yang dialami Unae dan sejawat LGBT dia di Aceh?
Khunsa yang disebut Unae berarti “kelamin ganda”—meski istilah ini tak tepat karena dalam dunia medis lebih pas disebut “interseks” atau "transgender.”
Laporan kami pada Februari 2018 soal interseks menjelaskan secara terminologi interseks berbeda dari transgender. Sederhananya, interseks dapat diidentifikasi langsung dari bentuk eksternal alat seksual dan bawaan lahir. Sementara transgender adalah kondisi saat seseorang mengidentifikasi kelaminnya berbeda dari identifikasi saat lahir.
Apa yang diakui Unae sangat mungkin termasuk seorang interseks. Di dunia, interseks tidaklah langkah. Jika populasi planet Bumi dibulatkan 7 miliar, total jumlah interseks 25 kali lebih banyak dari jumlah penduduk Singapura. Dunia medis bahkan mengenal 30-40 varian interseks. Artinya, ini sesuatu yang alamiah.
Namun, qanun syariat Aceh tak mengenal orang seperti Unae maupun identitas gender di luar laki-laki dan perempuan. Dan, pokoknya, orientasi seksual manusia cuma satu: laki-laki harus menyukai perempuan, atau sebaliknya.
Reza Idria, mahasiswa doktoral pada departemen antropologi Universitas Harvard, yang kajiannya menyoroti syariat Aceh, mengatakan bahwa penerapan hukum syariat di Aceh dipersempit dan belum keluar dari kerangka urusan moral.
“Hanya mengatur bagaimana urusan kita dengan orang lain, cara berpakaian, dan hal-hal sepele lain,” ujarnya.
Syariat itu tentang moral hukum, bukan hukum yang mengatur moral, tambahnya. “Harusnya yang dipikirkan, jika merujuk pada syariat adalah kesejahteraan dulu, baru bicara hukum.”
Perda syariat juga hanya mengatur domain privat dan tak menyentuh urusan publik yang jelas penting bagi kemaslahatan umat, menurut Reza.
Misalnya, qanun jinayat (pidana) tak mengatur soal pencurian. Alibinya, pidana seperti itu sudah diatur dalam hukum positif, sehingga perda syariat tak bisa menyentuh domain ini. Juga soal kasus korupsi, yang menyeret gubernur saat ini Irwandi Yusuf. Ada anggapan, perda syariat hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
“Kami bukannya mau menolak syariat. Tapi inti dari syariat ini yang sebenarnya tidak tahu mau dibawa kemana,” kata Reza.
Namun, perda syariat ada sisi “positifnya,” menurut Syahrizal Abbas, profesor Universitas Islam Negeri Aceh, menerangkan saat ini Bumi Serambi Mekkah mengonversi bank konvensional BPD Aceh menjadi bank syariah dan “meninggalkan praktik-praktik kapitalisme dan riba.”
“Bukan spin off, ya, seperti daerah lain. Ini kami konversi seluruhnya,” tegas Syahrizal, menambahkan bahwa DPR Aceh tengah menggelar pansus untuk menetapkan Qanun Lembaga Keuangan Syariah.
“Terobosan seperti ini yang jarang dilihat. Jadi, bukan soal khalwat atau zina terus. Lihatlah ini secara objektif,” tegasnya.
Syahrizal menilai bahwa kritik perda syariat yang tumpul ke atas seperti dalam kasus korupsi karena saat ini belum ada definisi konkret soal korupsi dalam syariat. Walhasi, korupsi belum dimasukkan dalam jarimah (pelanggaran) dalam qanun jinayat.
Hal itu lain dengan definisi khalwat atau zina yang “sedemikian mendasar dalam fikih,” sementara korupsi dalam syariat berbeda definisi dari pencurian biasa.
“Dalam pencurian, barang yang diambil sepenuhnya milik si korban. Sementara dalam korupsi, itu harta publik,” ujarnya. “Jadi, harus sangat hati-hati. Bukannya kami membenarkan perilaku korup.”
Toh, sejak penerapan syariat Islam pada 2000 dan semakin diperkuat pada hukum jinayat pada 2014, target terhukum dalam pikiran elite Aceh umumnya adalah kelompok rentan, dan diusung dalam sebuah pertunjukan moral.
“Dipermalukan, difoto, lalu diunggah di media sosial, kasusnya menjadi immortal. Mungkin sakitnya tidak terlalu, tapi aibnya bisa seumur hidup,” ujar Reza Idria.
“Syariat ini tidak membuat mereka menjadi manusia kembali.”
‘Kalau Aku Pergi, Aku Kalah’
Ucapan Reza mengingatkan saya kembali pada hari pertemuan dengan Sherli dan Unae. Usai berbincang selama sekitar satu jam di kediaman Unae, malam minggu itu saya mengunjungi salon Sherli dengan diantar olehnya. Masih sepi pelanggan lantaran salon baru buka kembali setelah azan Isya.
Menurut Sherli, salonnya dapat mengantongi omzet hingga Rp20 juta tiap bulan. Namun, setelah banyak razia oleh polisi syariah, pendapatannya menurun. Nasibnya masih lebih baik memang jika dibandingkan sejumlah salon waria yang akhirnya memilih tutup selamanya.
“Padahal jumlahnya cukup banyak dan mampu menampung banyak karyawan sesama waria,” jelas Sherli.
Sherli dan Unae hanya sebagian kecil kelompok LGBT yang masih bertahan di Aceh. Mayoritas yang tak kuat menahan deraan praktik dimata-matai dan dibekap waswas, dihina dan dilecehkan, memilih hengkang.
“Aku lahir di sini. Aku ingin mati di sini. Ini kampungku. Kalau aku pergi, aku yang kalah,” ujar Sherli.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam