tirto.id - Idah, bukan nama sebenarnya, tersenyum ramah saat kami bertemu di peresmian Tugu Rumoh Geudong, pertengahan Juli lalu. Ia memakai jilbab panjang biru muda. Sembari menyimak saya dan Farida berbincang, ia telaten mengawasi anaknya yang masih berumur setahun. Sesekali tatapan kami bertubrukan, dan ia tersenyum lagi.
Kami bertemu usai doa bersama di Rumoh Geudong, yang menyimpan luka masa lalu Idah. Idah dan ratusan orang lain pernah jadi korban berdarah di rumah yang terletak di Desa Billie Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Kabupaten Pidie itu.
Memasuki 1998, Idah dan ibu dan kakaknya dibawa sekelompok orang berseragam tentara Indonesia ke rumah panggung khas Aceh tersebut. Entah bulan dan tanggal berapa, Idah lupa; yang jelas hari itu Senin, pukul 12 malam. Begitu tiba, ia segera dipisahkan dari ibu dan kakaknya. Ia ditempatkan di sebuah kamar penuh mayat. Ibunya menerima giliran pertama untuk diinterogasi.
“Nyak Maneh, turun!” perintah serdadu itu.
Berikutnya, ingatan Idah buta atas apa yang menimpa ibunya. Yang ia tahu, setelahnya, ia berkali-kali disetrum dan diperintahkan untuk mengangkang.
Azan magrib dan subuh tak ubah lonceng kematian bagi Idah. Pada waktu-waktu itulah ia disiksa. Kemudian, ia disekap kembali di dalam kamar penuh mayat selama seminggu. Tiap pukul 10 malam, ia diberi makan hanya nasi dan segelas air.
Enam bulan di situ, Idah terus-menerus disiksa dan diperkosa. Puting payudaranya dipotong...
"Hana dipeugah GAM, nyoe bijeh PKI."
Idah mengemukakan alasannya disiksa. Ia justru tak pernah dituduh terlibat Gerakan Aceh Merdeka, melainkan bijeh (keturunan) PKI.
“Tapi keluarga kaka ada orang GAM?”
Idah mengangguk.
Hari ketiga Iduladha, atau hari pertama tasyrik, Idah dipertemukan oleh Nyak Maneh di sebuah bale di Rumoh Geudong.
Mereka berpelukan. Ibunya berkata, “Anak, mamak sudah tidak kuat lagi.” Saat itulah Idah tahu bakal melihat ibunya untuk kali terakhir.
Nyak Maneh diseret ke dalam mobil. Dibawa keliling. Kembali lagi ke Rumoh Geudong. Lalu dibunuh.
Idah menceritakan detail peristiwa itu hanya beberapa meter dari tangga batu setinggi 1,5 meter di tengah halaman Rumoh Geudong.
Tangga itu dulunya pintu masuk ke rumah tersebut, tempat ratusan warga dari penjuru Pidie dan Aceh Utara disekap: sebuah kamp konsentrasi kekejaman pemerintahan militer Orde Baru di Aceh.
Tanggal 20 Agustus 1998, saat status Daerah Operasi Militer dicabut, Rumoh Geudong dibakar massa. Menyisakan tangga batu yang menganga entah menuju ke mana.
Tangga itu berdiri di tengah hadirin yang memanjatkan doa bersama. Sesekali ia dinaiki oleh para bocah yang ikut hadir dibawa orangtuanya tanpa tahu ada ratusan jiwa yang nyawanya melewati tangga itu.
“Di sana ada kolam penuh lintah. Banyak yang dilemparkan ke sana,” Idah menunjuk sebuah lahan luas di depan tangga.
Rumoh Geudong berdiri di atas lahan seluas 1.500 meter persegi. Terdiri satu bangunan utama di tengah dan sebuah gudang di belakangan. Di depan rumah, seperti yang diceritakan Idah, adalah kolam tempat penyiksaan ratusan korban. Sisanya lahan kosong yang jadi lokasi eksekusi pemasungan dan lubang sumur.
Tentara-tentara Indonesia membawa orang-orang Pidie dan Aceh Utara ke Rumah Geudong lalu memasung dan menembaki mereka di bagian kaki dan lengan agar bisa mengulur-ulur maut. Ada pula yang diperintahkan menggali lubang sedalam-dalamnya. Begitu letih melanda, mereka dibunuh. Lubang yang digali menjadi kuburan mereka. Lahan di sekeliling Rumoh Geudong menjelma kuburan massal.
Ada dua sumur yang digunakan untuk menumpuk mayat-mayat manusia. Saat dibakar warga, mereka berusaha mengangkat mayat-mayat tersebut.
“Tapi ... tidak bisa. Akhirnya sumur ditutup,” ujar Idah.
Politik Setengah Hati atas Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi
Idah termasuk "yang beruntung" karena berhasil selamat dari rumah jagal itu, yang menjadi bagian politik teror pemerintahan Daerah Operasi Militer Aceh selama 1989 hingga 1998.
Namun, Idah dan ribuan korban kekerasan negara Indonesia di Aceh tak pernah mendapatkan keadilan, sekalipun sudah 20 tahun usia Reformasi dan 13 tahun pasca-MoU Helsinki.
Dalam Kesepahaman Helsinki, janji memulihkan harga diri korban konflik Aceh menjadi salah satu amanat yang harus dituntaskan. Maka, dibentuklah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) pada 2017 dengan bersandar pada Qanun 11/2016.
Namun, dalam penerapannya, lembaga ini justru terbentur beragam rintangan, yang berimbas pada proses pencarian kebenaran berjalan lambat, meski itu tugas utama komisi tersebut.
Ketua Komisi Afridal Darmi menyebut salah satu hambatannya karena dana operasional kurang sekali.
"Kami perlu bayar honor pewawancara, lalu transportasi ke tempat korban, perlu juga alat,” keluh Afridal.
Ia mencontohkan salah satu temuan di Aceh Utara bahwa ada makam korban yang akan digali. Begitu sampai ke sana, Komisi melarang warga untuk menggali secara konvensional karena dibutuhkan tenaga ahli forensik dan antropolog. Namun, dilematisnya, Komisi tak punya biaya untuk sebuah penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia.
Gubernur nonaktif Aceh Irwandi Yusuf, dalam beberapa kesempatan informal, pernah mengemukakan keberatan bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi seharusnya tak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah Aceh melainkan pemerintah pusat.
“Kami ini, kan, korban,” kata Afridal, menirukan ucapan Irwandi.
Lantaran alasan politis itulah, dana operasional menjadi sulit keluar.
Hingga kini, Komisi bahkan tak punya kantor sendiri, menumpang di properti milik Dinas Perhubungan Provinsi Aceh dan sudah dua kali diminta pergi.
“Tapi, kami tidak mau pergi,” lanjut Afridal.
Staf Khusus Wali Nanggroe bidang Diplomasi Kerjasama Luar Negeri dan Promosi Perdamaian Aceh Mohammad Roviq justru berpendapat lain.
Ketiadaan dana operasional itu selain karena alasan politis, juga Komisi tak mengajukan "program yang jelas."
“Selama ini ketujuh komisioner berjalan sendiri. Mereka tidak punya tim. Tidak akan efektif,” klaim Roviq.
Komisi menargetkan akan mengungkap sekitar 10 ribu korban pelanggaran HAM pada masa konflik, dengan pencapaian 3 ribu korban pada tahun pertama. Target itu belum separuhnya bila merujuk klaim Amnesty Internasional bahwa korban pelanggaran HAM di Aceh sekitar 35 ribu jiwa, atau Human Rights Watch menaksirnya sekitar 50 ribu. Dan, selama setahun, kinerja dokumentasi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bahkan belum mendekati angka seribu korban.
Untuk korban Rumoh Geudong, misalnya, menurut Afridal, bukan ranah investigasi lembaganya lantaran kasus pelanggaran HAM berat menjadi wewenang Komisi Nasional HAM yang berkedudukan di Jakarta.
Hal ini dibenarkan oleh Farida, Ketua PASKA, yang mendampingi korban Rumoh Geudong sejak 2005. “Kami secara resmi tidak ada kerja sama dengan KKR,” katanya.
Menurut Roviq, KKR bisa saja menjalin kerja sama dengan pelbagai instansi seperti Komnas HAM, KontraS, atau bahkan TNI dan Polri untuk mempercepat pekerjaannya.
“Kalau soal independensi, kan, mereka bisa minta bantuan yang sudah pensiun untuk membantu penyelidikan atau verifikasi fakta,” alasan Roviq.
Ucapan Roviq terdengar mudah tapi sulit kenyataannya. Di Indonesia, sangat jarang perwira TNI atau lawan politiknya—dalam kasus Aceh adalah GAM—yang tangannya pernah berlumur darah pada masa lalu mau "diminta bantuan" untuk menyelidiki fakta pelanggaran HAM.
Afridal bercerita kepada saya bahwa KKR pernah didatangi oleh orang yang mengaku sebagai "intelijen" dan meminta laporan data korban.
“Tentu kami tidak memberi data mentah. Kami berikan data yang sudah diolah. Sama halnya jika media ingin meminta data. Kami tidak merasa terintimidasi akan hal itu,” ujar Afridal.
Tarik-menarik kepentingan politis, masih minim koordinasi antara mereka yang terlibat dalam gerakan sipil dan demokrasi antara Aceh dan Jakarta, serta langkah setengah hati pemerintahan Aceh dan pusat—telah membuat janji kebenaran dan rekonsiliasi di Serambi Mekkah masih jadi impian ketimbang kenyataan.
Kalau sudah begini, memulihkan harga diri para korban konflik Aceh masih jadi pekerjaan besar, di antara ingatan mereka atas kekejian masa lalu, yang kehilangan masa hidupnya, keluarga, dan saudaranya.
“Sampai saat ini, saya tidak tahu kuburan ibu saya,” kata Idah, lirih, saat hadir pada peresmian Tugu Rumoh Geudong, Juli lalu.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam