tirto.id - Dalam buku Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Bacharuddin Jusuf Habibie mengatakan sejak menerima jabatan sebagai Presiden ke-3 Indonesia pada 21 Mei 1998, ia "senantiasa berusaha untuk melaksanakan demokratisasi, menegakkan supremasi hukum... dan promosi serta penghormatan hak-hak asasi manusia."
Dia mengaplikasikannya dengan membikin sejumlah peraturan. Salah satu di antaranya adalah meneken Kepres Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (PDF), yang jadi dasar hukum pendirian Komnas Perempuan.
Berdirinya Komnas Perempuan--yang disebut anak kandung pertama dari rahim Indonesia di era reformasi--membawa harapan baru bagi perempuan Indonesia, khususnya untuk perempuan korban kekerasan seksual sepanjang Peristiwa Mei 1998.
Cerita bagaimana akhirnya Habibie meneken Kepres Komnas Perempuan tercatat dalam Rekam Juang Komnas Perempuan: 16 Tahun Menghapus Kekerasan terhadap Perempuan (PDF).
Perkosaan massal perempuan etnis Tionghoa terjadi pada saat-saat genting tahun 1998. Jumlahnya, catat Komnas Prempuan, sebanyak 85 orang. Merespons itu, 22 orang perempuan yang tergabung dalam Masyarakat Anti Kekerasan mendesak pemerintah "menunjukkan tanggung jawabnya, menuntut pelaku dan perencana [kejahatan] dan menjamin peristiwa semacam ini tak terulang."
Mereka, yang membawa 4.000 tanda tangan, akhirnya diterima secara resmi oleh Habibie pada 15 Juli 1998 pukul 14.00.
Menurut Saparinah Sadli dalam Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan (2010:302), bukan perkara mudah bagi para aktivis untuk membuka mata Habibie atas peristiwa ini.
"Selama lebih dari dua jam, kami mencoba meyakinkan Presiden Habibie," Saparinah bercerita. "Kami katakan, betapa perlunya pemerintah mengutuk dan minta maaf kepada semua korban kerusuhan Mei 1998, termasuk keluarga korban kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di tengah-tengah kerusuhan."
Dalam pertemuan tersebut, menurut Saparinah, Habibie sempat menyangkal kejadian itu.
Namun pertemuan alot itu membuahkan hasil juga. Seminggu setelahnya, tepatnya pada 22 Juli 1998, Habibie membikin Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 sebagai dasar hukum pendirian Komnas Perempuan. Lembaga itu diperkenalkan Habibie di hadapan anggota kabinet Reformasi di Bina Graha.
Mandat dan keanggotaan Komnas Perempuan keluar pada 15 Oktober 1998.
Selain membentuk Komnas Perempuan, Habibie juga menyusun tim gabungan pencari fakta yang ditugaskan mengumpulkan bukti tentang perkosaan massal saat kerusuhan.
Menyelesaikan yang Dimulai Habibie
Usia Komnas Perempuan saat ini sudah 21 tahun. Tapi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan terus terjadi.
Upaya pemerintah dalam menjamin hak perempuan cenderung stagnan, vonis aktivis perempuan Andy Yentriyani. Tak ada perubahan berarti. Ini misalnya ditandai dengan belum rampungnya peraturan yang melindungi perempuan dari kekerasan seksual.
"Komnas Perempuan berupaya membangun aturan soal kekerasan seksual sejak 2010, lalu mendorong lahirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, tapi masih tetap [dibahas] bertele-tele sampai hari ini, dan bahkan terjadi reduksi-reduksi," tutur Andy kepada reporter Tirto, Kamis (12/9/2019).
Menurut Andy, reduksi itu terjadi karena banyaknya anggota dewan yang sebetulnya tak ahli di bidang itu, sehingga yang terjadi adalah pencampuradukkan urusan kekerasan dan moralitas.
"Itu salah satu PR yang sebetulnya ada dalam masa Pak Habibie hingga saat ini," tuturnya.
Ada pula yang menolak aturan ini karena dianggap pro terhadap zina. Ini sempat diutarakan Maimon Herawati, dosen pada Program Studi Jurnalistik Universitas Padjajaran--yang juga sempat membuat petisi boikot Blackpink.
Mengutip situs resmi Fahmina Institute, keberadaan Komnas Perempuan juga sempat terancam. Pada tahun 2010, pemerintah disebut hendak menghapus Komnas Perempuan dengan dalih efisiensi birokrasi. Padahal, setiap tahun Komnas Perempuan menangani ribuan laporan kekerasan.
Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin menyampaikan hal serupa: bahwa perjuangan menegakkan hak perempuan saat ini makin sulit. Menurutnya Komnas Perempuan--sebagai lembaga independen--justru semakin berjarak dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Kepada reporter Tirto, Mariana mengatakan antara Komnas Perempuan dan Kementerian PPA "tidak punya perspektif yang sama." Padahal keduanya mesti bekerja sama dan punya sudut pandang serupa agar tidak ada lagi hak perempuan dilanggar.
Satu hal lain yang masih jadi pekerjaan rumah adalah menuntaskan kasus kekerasan terhadap perempuan tahun 1998. Menurut Mariana, dua tahun lalu Habibie mengaku siap memberi kesaksian atas peristiwa itu.
"Waktu itu Pak Habibie sebetulnya sudah mengatakan dia akan menyampaikan hal ini kepada Presiden Jokowi, tapi kita belum melihat ada tanggapan, dan justru muncul banyak hoaks yang bilang bahwa perkosaan Mei '98 itu tidak benar," tandasnya.
Habibie meninggal dunia di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, Rabu (11/9/2019) pukul 18.03. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan.
Penulis: Widia Primastika
Editor: Rio Apinino