tirto.id - Dakwaan makar kembali memakan korban. 10 orang ditangkap kepolisian menjelang berlangsungnya Aksi 212 kemarin (2 Desember 2016). Dari Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaaet, Rahmawati Soekarnoputri, Sri Bintang Pamungkas hingga purnawirawan jenderal seperti Kivlan Zein dan Adityawarman Thaha.
Tuduhan makar sendiri bukan hal baru di Indonesia. Entah untuk menggulingkan yang berkuasa atau memaksa yang berkuasa mengikuti kemauan para pelaku makar. Mulai dari Ken Arok mengkudeta Tunggul Ametung dengan licin, Ra Kuti melengserkan Raja Jayanegara hingga sang raja diselamatkan Gajah Mada ke Badander, Peristiwa 3 Juli 1946 hingga Gerakan 30 September 1965. Sejarah makar di Indonesia sangatlah panjang dan berlimpah dengan cerita.
Dari sekian banyak kisah mbalelo pada penguasa, kisah Sawito yang mungkin paling unik. Keeksentrikan Ahmad Dhani dan Ratna Serumpaet barangkali tak seunik Sawito Kartowibowo.
Di kota Bogor, tersebutlah seorang pensiunan pegawai Departemen Pertanian bernama Raden Mas Sawito Kartowibowo. Ia lelaki yang tak punya anak dan hanya punya seorang anjing bernama Dulfi, konon singkatan dari Idul Fitri. Meski dianggap tak punya anak, ternyata Sawito adalah mantu dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia Pertama, yakni Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo.
Sawito sendiri anak dari seorang yang gemar pada ajaran kebatinan Jawa. Sang ayah, bernama Soepari Kartowibowo, adalah orang yang suka menyepi, senang bermeditasi. Hal ini rupanya menurun kepada Sawito. Menurut Jendera Yoga Sugama, dalam Memori Jenderal Yoga (1990) Sawito adalah bekas pejabat departemen Pertanian yang banyak melakukan tapa brata.
Menurut Marle Ricklef dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), Departemen Pertanian telah memecat sang Insinyur lulusan Institut Pertanian Bogor ini dari dinas pada 1986. Dia dipecat karena berhubungan dengan orang-orang dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dianggap terlarang yakni PNI Ali Surachman alias PNI ASU.
Pada 1972, ketika pemerintahan Soeharto makin mapan, Sawito mengaku mendapat wangsit dalam meditasinya di sekitar Gunung Muria. Wangsit itu membuatnya yakin dia akan menjadi presiden. Dalam sejarah raja-raja di Jawa di masa lalu, wangsit semacam itu, biasa disebut wahyu keprabon, sering dianggap sebagai legitimasi kulturan dan simbolik seseorang untuk menjadi raja. Sawito merasa dirinya menerima apa yang dulu diterima raja-raja Jawa.
Sawito mulai melancarkan aksi nyata pada 1976. Dia menghujati Soeharto dan kroni-kroninya yang korup. Tak sekadar menghujat, sebagai orang terpelajar, Sawito juga menulis sebuah dokumen berjudul: Menuju Keselamatan.
Sawito tak mau maju sendirian dalam kegilaannya. Sebagai orang yang menghargai para tokoh nasional pendiri bangsa, Sawito pun sowan minta restu dan tanda tangan. Dia datangi satu-satu para pendiri bangsa, termasuk Bapak Proklamator yang tersisa kala itu, Mohammad Hatta.
Ia bahkan berhasil mendapatkan tandatangan salahsatu dari sekian pendiri dan organisatoris Tentara Nasional Indonesia yang kala itu bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Tahi Bonar Simatupang. Tak hanya sowan saja, tapi baik Hatta dan Simatupang, memberikan tandatangan dalam petisi yang dibuatnya.
Tak hanya dari Simatupang dan Hatta, dukungan juga diperoleh Sawito dari Buya Hamka, Kardinal Yustinus Darmoyuwono juga mertuanya, Said Soekanto, dan tokoh-tokoh lainnya. Dukungan-dukungan dari tokoh agama dan politik itu membuatnya berani menyampaikan pesan tertulisnya kepada Presiden Soeharto agar menyerahkan kekuasaannya kepada Mohammad Hatta, demi keselamatan bangsa Indonesia.
“Atas petunjuk Pak harto, saya harus segera mengadakan pengecekan (dokumen tersebut), sebelum dokumen itu tersebar di masyarakat,” kata Soedarmono dalam autobiografinya Sudharmono S.H Pengalaman Dalam Masa Pengabdian (1997). Pejabat Sekretaris Negara Soedarmono, yang kemudian menjadi Wakil Presiden itu, segera berkoordinasi dengan Kepala Badan Koordinasi Intelejen (Bakin) Jenderal Yoga Sugama.
Segera, tuduhan makar pun dialamatkan pada Sawito. Menurut Yoga Sugama, “Sawito adalah tokoh sentral gerakan ini yang mempersiapkan tujuan jangka panjang untuk mengganti kepemimpinan nasional.”
Sawito pun akhirnya diadili. Pengacara keras kepala dan penganut keadialan adalah harga mati, Yap Thian Hien, ikut membelanya. Selain Yap, ikut bergabung juga Abdul Rachman Saleh, yang belakangan menjadi Jaksa Agung, ikut membela Sawito.
Pengadilan memutuskan Sawito terbukti bersalah mencoba menggulingkan kekuasaan yang sah. Semula, pengadilan Orde Baru menghukumnya 8 tahun penjara. Namun hukuman itu kemudian dikurangi menjadi 7 tahun saja.
Rezim Soeharto waktu itu secara resmi mengatakan bahwa Sawito telah memanipulasi sikap dan tanda tangan para tokoh besar yang berhasil didekatinya itu. Orde Baru mencoba menjauhkan Sawito dari para tokoh yang berhasil didekati olehnya untuk mendelegitimasi usaha Sawito.
Makar ala Sawito ternyata tak membuat tokoh negara yang sudah sepuh takut pada pemerintah rezim Soeharto. Pada 1980, tokoh-tokoh tua mantan perdana menteri juga panglima dan mantan pejabat, juga kaum intelektual seperti Mohammad Natsir, Burhanudin Harahap, Abdul Haris Nasution, Ali Sadikin, Hoegeng Imam Santoso dan lain-lain juga mempetisi Soeharto.
Mereka menerbitkan apa yang kelak masyhur disebut sebagai Petisi 50 pada 5 Mei 1980 di Jakarta. Dokumen yang ditandatangani 50 orang itu resminya berjudul "Ungkapan Keprihatinan". Isinya serangan dan kritik yang terbuka kepada Soeharto.
Para penandatangan menganggap Soeharto telah menyelewengkan Pancasila karena mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai Pancasila. Karena mengidentifikasi diri sebagai Pancasila, maka segala kritik terhadap Soeharto dianggap sebagai pengkhianatan atau serangan terhadap Pancasila. Pancasila dipakai Soeharto untuk, kata mereka, "mengancam musuh-musuh politiknya".
Karena senioritas, ketokohan, dan nama besar para penandatangan petisi sajalah Soeharto tak mengambil tindakan keras dan terbuka, misalnya menjebloskan ke penjara. Akan tetapi, tidak bisa tidak, Soeharto tetap tidak mendiamkannya. Dengan berbagai jalan yang memutar, Soeharto mempersempit ruang gerak para penandatangan petisi, mencoba memutus atau mengurangi akses mereka kepada sumber-sumber ekonomi, dll.
Bagi sejarawan Marle Ricklef, Petisi 50 tidak bisa dipisahkan dari usaha yang dibuat Sawito. Betapa pun absurd dan tidak masuknya argumentasi Sawito, namun keberanian dia untuk menantang Soeharto secara terbuka telah menjadi salah satu katalis yang memicu orang-orang lain untuk lebih berani bersikap kritis kepada Soeharto.
Ketika Sawito diadili sepanjang1977-1978, hal itu menjadi peristiwa besar yang memantik percakapan publik soal kepemimpinan Soeharto. Mulai bermunculan kritik terhadap praktik-praktik korupsi di pemerintahan Soeharto.
Nama Sawito tentu rusak di mata pemerintah. Ia pun menjadi terasing dan sendiri. Beruntungnya, setelah Abdurahman Wahid menjadi Presiden, nama baik Sawito dibersihkan kembali. Statusnya sebagai Pegawai Negeri dipulihkan melalui Keputusan Presiden Nomor 93 tahun 2000.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS