tirto.id - Pemerintah memilih untuk tak memercayai surat dari 35 investor global yang khawatir dampak yang timbul dari UU Cipta Kerja. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan alasannya karena mereka tidak tercatat dalam pusat data Foreign Direct Investment (FDI) maupun Bursa Efek Indonesia (BEI).
“Kalau dia tidak pernah investasi di Indonesia atau berkaitan usaha di Indonesia dan bikin surat tidak setuju, ada apakah ini?” kata Bahlil dalam konferensi pers, Kamis (8/10/2020).
Surat dari para investor itu ramai dibicarakan beberapa hari sebelum Cipta Kerja disahkan pada 5 Oktober--tiga hari lebih cepat dari yang dijadwalkan. Mereka mengatakan mungkin investor khawatir menanamkan duit karena UU Cipta Kerja akan berdampak parah terhadap lingkungan, hak asasi manusia, dan ketenagakerjaan.
Reputasi mereka dipertaruhkan jika berinvestasi di negara dengan regulasi yang dampaknya seperti ini.
Investor yang mewakili investasi (AUM) 4,1 triliun dolar AS itu memang hanya sebatas asset management, dana pensiun, sampai endowment fund. Mereka memang tidak memiliki fisik di Indonesia dan tercatat dalam data BKPM dan BEI, tapi uangnya mengalir di berbagai pabrik dan perusahaan yang berinvestasi di sini.
Investasi mereka terikat dengan prinsip environmental, social, dan corporate governance atau ESG. Motivasinya beragam, ada yang sekadar mencari untung karena menemukan ceruk uang di sana, menjaga portofolio, sampai menjadikan investasi sebagai alat untuk memengaruhi dan syukur-syukur memperbaiki dampak buruk korporasi.
Salah satu perusahaan yang dimaksud adalah KLP, lembaga dana pensiun terbesar di Norwegia. Mereka sudah aktif berinvestasi di perusahaan Indonesia selama beberapa tahun silam.
Seiring berkembangnya standar investasi yang semakin tinggi, mereka bahkan mencoret sebagian perusahaan. Misalnya Adaro Energy (sejak Desember 2014), Astra International (Juni 2019), Freeport McMoRan (Juli 2006), Gudang Garam (Juni 2010), HM Sampoerna (Desember 2016), Indo Tambangraya Megah (Desember 2014), Bukit Asam (Desember 2014).
KLP bahkan berani mencoret China Railway Group Limited (CREC) sejak Juni 2015 karena alasan korupsi. Di Indonesia, CREC bukan nama yang asing lantaran mereka aktif berinvestasi di proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Langkah KLP ini juga dilakukan oleh ACTIAM, manajer investasi asal Belanda. ACTIAM pernah berinvestasi di Rio Tinto dan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, induk perusahaan tambang dunia yang memiliki mayoritas saham Freeport Indonesia sebelum divestasi 2018. Karena tidak sesuai dengan fundamental investment principle, mereka menarik investasinya per 3 Maret 2015.
Investor lain tak membidik langsung perusahaan di Indonesia secara spesifik. Namun mereka menanam uangnya di perusahaan induk.
Dana Investment Advisors, penasihat investasi ke-2 terbaik versi 2020 CNBC Financial Advisor 100 List, aktif berinvestasi di perusahaan migas macam Chevron, Conocophillips, ExxonMobil Corp. Sebagian juga menyisir saham Citigroup, Coca Cola, Facebook, hingga Netflix.
Church Commissioners for England juga sama. Lembaga ini memiliki investasi di British Petroleum (BP), ExxonMobil, Bayer (farmasi Jerman). Investasi ditujukan untuk memiliki hak suara untuk memengaruhi kebijakan perusahaan selaras prinsip keberlanjutan.
Green Century Capital Management memiliki portofolio di sederet saham terkenal seperti Microsoft, Facebook, dan Alphabet. Sebagian perusahaan bahkan sudah berinvestasi di Indonesia seperti Ajinomoto, Denso Corporation, Honda Motor Company, sampai Unilever.
Tak hanya berinvestasi, pada 17 Agustus 2016, Green Century pernah mengorganisasikan 60 investor yang mewakili investasi (AUM) 2 triliun dolar AS menyurati Presiden Joko Widodo mendorong moratorium kelapa sawit karena kebakaran hutan.
Sementara Boston Common Asset Management konsisten menanamkan modalnya di Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk perusahaan yang mematuhi industri sawit berkelanjutan, terutama Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Lalu ada juga BMO Global Asset Management yang beberapa kali berkunjung ke Indonesia dalam rangka memantau komitmen pada keberlanjutan industri kelapa sawit. Di Indonesia, mereka juga aktif berinvestasi di Mandiri, BRI, dan BTPN Syariah dalam rangka mendukung SDG’s.
Sejumlah investor lain dalam daftar 35 perusahaan juga reputasinya tak main-main. Storebrand Asset Management misalnya, berstatus manajer aset swasta terbesar di Norwegia; Trillium Asset Management merupakan perusahaan penasihat investasi tertua asal Amerika Serikat, sementara Sumitomo Mitsui Trust Asset Management berada di peringkat ke-31 asset management terbaik dunia.
Di Indonesia, bisnis Sumitomo Mitsui Trust Holding hadir melalui Sumitomo Mitsui Trust Bank yang memiliki kantor perwakilan dan terdaftar di Perhimpunan Bank Internasional (Perbina).
Sebagian investor yang 'tidak dikenal' Kepala BKPM ini juga aktif membeli obligasi (bond) pemerintah. Legal & General Investment Management, manajer investasi ke-10 terbesar dunia dari sisi AUM, misalnya, mencantumkan obligasi pemerintah Indonesia dengan porsi 9,8 persen dari total portofolio mereka.
Rekam jejak serupa juga dimiliki investor lain. Misalnya Future Super asal Australia, Indép’AM manajer dan penasihat investasi asal Perancis, serta aset manajemen ke-3 terbesar di Belanda NN Investment Partners. NN Investment Partners bahkan mendanai utang korporasi di Indonesia. Dalam portofolio NN (L) Asian High Yield, corporate bond di Indonesia memiliki porsi 10,60 persen.
Direktur Eksekutif Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) Riki Frindos mengatakan Indonesia perlu berhati-hati membuat kebijakan yang jauh dari prinsip ESG. Dihubungi Rabu (7/10/2020), ia berkata, “kita harus bersiap, jangan hanya untuk 1-2 tahun saja.”
Ia bilang tren investasi berbasis ESG sudah menjadi isu global dan akan terus bertambah besar porsinya. Global Sustainable Investment Alliance (GSIA) mencatat investasi berbasis ESG terus naik. Dari 18,27 triliun dolar AS pada 2014 menjadi 30,68 triliun dolar AS pada 2018.
Riset Deutsche Bank memperkirakan angkanya akan terus naik menjadi setara 50 persen AUM global (2020) dan 95 persen AUM global (2030) setara 130 triliun dolar AS.
Sayangnya di tengah besarnya potensi itu, profil Indonesia dalam prinsip ESG tergolong buruk. Menurut ROBECO, skornya hanya 4,02, bertengger di peringkat ke-52 dari 65 negara yang dipantau per Juni 2019.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino