tirto.id - Fanny skeptis ketika mendengar informasi perihal gagasan wisata medis Indonesia. Bukan mencela, tapi sebagai orang yang bertahun-tahun bolak-balik ke luar negeri untuk pengobatan, ia yakin banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi sebelum program tersebut terlaksana.
Akhir Desember 2021 lalu, Presiden Joko Widodo melakukan peletakan batu pertama Bali International Hospital. Dalam seremoni tersebut ia menyinggung soal potensi ekonomi yang hilang akibat perjalanan medis masyarakat ke luar negeri.
“Setiap tahun 2 juta orang pergi ke luar negeri, Singapura, Malaysia, Jepang, Amerika.... Kita kehilangan pendapatan sekitar Rp97 triliun,” ujarnya seperti disiarkan kanal Youtube Sekretariat Presiden, Senin (27/12/2021).
Jokowi menaruh harapan kepada Bali sebagai prototipe di sektor pariwisata kesehatan di Indonesia. Terlebih Bali International Hospital diharapkan menjadi rujukan pengobatan dari berbagai negara.
“Kalau ini jadi, tidak ada lagi rakyat kita, masyarakat kita, pergi ke luar negeri untuk mendapat pelayanan kesehatan,” imbuhnya.
Tapi mampukah Indonesia bersaing dengan Singapura atau Malaysia yang sudah lebih dulu mengembangkan wisata medis? Ataukah omongan Jokowi sekadar angan-angan belaka?
Sebuah cerita dari Fanny, salah seorang yang memilih memercayakan kesehatan keluarganya pada fasilitas kesehatan luar negeri, mungkin bisa jadi gambaran tentang apa yang harus dibenahi Indonesia jika serius membuka destinasi wisata medis.
Sudah hampir sepuluh tahun Fanny bolak-balik Malaysia-Indonesia mengantar ibunya melakukan pengobatan di Malaka. Ibunya telah melakukan serangkaian operasi dan kemoterapi untuk mengusir kanker payudara dan kista di bagian perut.
Sebelumnya Fanny dan sang ibu sudah mendatangi berbagai dokter di Indonesia, menjajal pengobatan alternatif, hingga akhirnya memutuskan terbang menyeberangi negara. Mula-mula mereka memulai konsultasi ke Penang, hingga kemudian memilih menuntaskan pengobatan di Malaka.
“Cara komunikasi dokternya beda, bisa bikin nyaman. Dari segi biaya juga lebih murah, sekitar 20-30 persen dibanding Jakarta,” tutur Fanny.
Saat berobat di Indonesia ibunya harus melakukan berbagai macam tes kesehatan yang sebetulnya bisa ditiadakan. Selain itu durasi konsultasi seringkali pendek--lebih panjang durasi antrean--sehingga sebagai pasien, ibunya merasa tak mendapat perhatian penuh dari dokter.
“Dari segi pelayanan, di luar lebih cepat, lalu mereka bisa tiga bahasa atau lebih: Inggris, Mandarin, Melayu,” keahlian itu menurut Fanny memudahkan pasien dari beragam negara untuk berkomunikasi.
Sebagai destinasi wisata medis, Malaysia juga sudah matang dalam membuat konsep penunjang seperti penginapan, kafetaria, atau pusat perbelanjaan. Ada banyak penginapan murah, bahkan gratis di sekitar rumah sakit.
Pasien yang membutuhkan pengobatan panjang seperti ibu Fanny bisa meminimalisasi biaya penginapan. Buat Fanny, kafetaria di Malaka turut memberi andil dalam perkembangan wisata medis karena punya varian makanan bergizi, enak, namun dengan harga terjangkau.
Wisata Medis Indonesia Kalah Saing
Ada kerancuan istilah ketika merujuk pada pernyataan Jokowi yang menginginkan Bali International Hospital menjadi pusat pengobatan dunia. Secara garis besar, wisata kesehatan (wellnes tourism) berfokus pada kegiatan untuk menjaga kebugaran jasmani dan rohani.
Sedangkan wisata medis (medical tourism) memiliki fokus pada kegiatan pengobatan untuk menyembuhkan penyakit. Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka pernyataan Jokowi merujuk pada wisata medis.
Menanggapi proyek ambisius menjadikan Indonesia sebagai destinasi wisata medis, Dien Anshari, pakar sekaligus pengajar komunikasi kesehatan di Universitas Indonesia menyarankan untuk putar haluan. Masalahnya dari berbagai aspek medis, Indonesia sudah jauh tertinggal dibanding negara tetangga.
“Baik pemeriksaan maupun pelayanan medis, susah kita bersaing melawan negeri tetangga. Kualitas kita kalah, biaya lebih mahal, belum lagi pelayanan kita masih kurang,” kata Dien kepada Tirto, Sabtu, (1/1/2021).
Benar kata Dien, di Asia Tenggara saja Indonesia kalah populer dengan Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina dalam aspek wisata medis. Studi oleh Rosalina, dkk (2015) bertajuk “Membuka Pintu Pengembangan Medical Tourism di Bali” menyatakan, hanya dari Malaysia saja, tercatat angka mendekati USD1 miliar setiap tahun dikeluarkan "konsumen" Indonesia untuk menikmati pariwisata medis di sana.
Setidaknya terdapat beberapa faktor utama yang menarik wisatawan dalam memilih destinasi wisata medis. Misalnya seperti ketiadaan perawatan medis di negara asal, asuransi kesehatan di negara asal tidak menjamin perawatan medis yang diinginkan.
Sedangkan faktor penarik dari negara destinasi berupa durasi perawatan dan operasi yang singkat, harga yang lebih murah, dan prosedur khusus yang hanya tersedia di negara destinasi.
Dien justru menyarankan pemerintah untuk memaksimalkan Bali pada aspek wisata kesehatan non medis, sembari berbenah pada aspek medis. Apalagi dari sisi kesiapan selama ini Bali sudah menjalani peran sebagai destinasi wisata kesehatan yang menawarkan aktualisasi diri dan penyegaran jiwa-raga.
“Kita masih punya peluang bersaing untuk wisata kesehatan non-medis seperti wellness, spa, traditional healing, herbal, yoga, dan juga outdoor activities,” ujarnya.
Belajar dari India
Menurut Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO), pada tahun 2018 ada sekitar 27 persen wisatawan yang berpergian untuk wisata kesehatan dan spiritual serta mengunjungi teman atau kerabat. Persentase tertinggi masih didasari rekreasi dan liburan (56 persen), sisanya sebanyak 13 persen untuk berbisnis.
Melihat tren tersebut, bidang kesehatan dan spiritual berpotensi besar menjadi daya tarik pariwisata. Apalagi Global Wellness Tourism Economy Report menyatakan sektor ini rata-rata tumbuh sekitar 6,5-7,5 persen per tahun.
Data pada periode 2015-2017 menyebut negara dengan pasar pertumbuhan tertinggi diambil alih Cina dan India. Masing-masing mendatangkan 21,9 juta wisatawan di sektor kesehatan tiap tahun, dengan tingkat pertumbuhan 20,6 persen per tahun untuk Cina. Sementara India 17,3 juta wisatawan di sektor kesehatan tiap tahun, dengan tingkat pertumbuhan 20,3 persen per tahun.
Indonesia meski masuk di jajaran 15 besar destinasi wisata kesehatan dan memiliki tingkat pertumbuhan 21,5 persen per tahun, namun baru mendatangkan wisatawan di sektor ini 2,7 juta orang per tahun.
Jika mau belajar dari India, negara ini berhasil menyeimbangkan sektor pariwisata medis dan kesehatan non medis. India telah menjadi rumah bagi industri farmasi terbesar dunia dan ekspor obat ke lebih dari 180 negara. Sekitar 10-12 ribu wisatawan melakukan perjalanan ke negara ini untuk berobat medis.
“India punya sarana dan infrastruktur yang sangat lengkap, teknologi canggih dan berkualitas,” tulis laporan Asian Development Outlook 2020.
Penawaran wisata tersebut dikombinasikan dengan paket promosi unik di sektor kesehatan holistik, meliputi meditasi, ayurweda, allopathy. Bahkan paket perawatan medis juga sering dikemas dengan terapi dan metode perawatan tradisional.
Indonesia melalui Bali sebetulnya sudah memiliki bekal-bekal seperti India. Tapi kita perlu berbenah di aspek pelayanan, fasilitas, dan tentu saja harga. Bukan anekdot “Sehat cuma punya si kaya, yang miskin tak boleh sakit”, namun slogan India “First World treatment at Third World prices” yang patut kita tiru jika mau memajukan pariwisata medis dan kesehatan di Indonesia.
Editor: Irfan Teguh Pribadi