Menuju konten utama

Menunggu Jadi Jantung Bisnis Kesehatan ASEAN

Mencari kesembuhan hingga ke negeri orang. Itulah yang dilakukan orang Indonesia di masa kini. Banyak orang yang berburu pengobatan hingga keluar negeri. Inilah yang melahirkan apa yang disebut sebagai medical tourism, sebuah ladang bisnis penggerak ekonomi suatu negara. Tiga negara di ASEAN sukses melakukannya. Apakah Indonesia hanya jadi penonton saja?

Menunggu Jadi Jantung Bisnis Kesehatan ASEAN
Rumah Sakit Siriraj adalah rumah sakit pertama dan sekolah kedokteran di Thailand, yang terletak di tepi barat sungai Chao Phraya di Bangkok. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Sungguh malang nasib Tofan, gara-gara tangan terkilir, ia harus transit di sebuah Rumah Sakit (RS) di Kuala Lumpur, Malaysia saat perjalanan pulang dari Kuching, Serawak. Rumah sakit itu cukup besar, arealnya cukup luas, mungkin dua kali lebih luas dari RSCM, Jakarta.

"Ini hospital terbesar dan bagus di sini Pak Cik," kata seorang driver keturunan India yang mengantar Tofan.

Setiba di depan RS, ia langsung menuju ke Jabatan Kecemasan, semacam Unit Gawat Darurat (UGD) di RS Indonesia. "Passport please," pinta petugas administrasi di UGD.

Dengan cekatan suster dan dokter mengarahkannya untuk tindakan X-Ray pada tangannya. Tofan pun merasa senang dengan layanan yang cepat, efisien, dan dilayani dengan petugasnya yang ramah.

“Dengan segala hormat, pelayanan RS swasta pun di Indonesia masih belum seramah, seefisien, dan mungkin semurah di Malaysia,” tulis Tofan dalam akun Facebooknya yang diposting Agustus lalu.

Tofan salah satu orang Indonesia yang kebetulan tak sengaja bisa “mencicipi” salah satu hub kesehatan atau medical tourism di Kuala Lumpur. Malaysia juga punya Pulau Penang yang juga jadi sentra pelayanan kesehatan. Warga Indonesia yang sedikit berkantong tebal, sebagian memilih berobat ke Penang, ataupun Singapura.

Media patientsbeyondborders.com mencatat ada 17 negara di dunia yang menjadi destinasi utama medical tourism, tiga di antaranya ada di Asia Tenggara yaitu Thailand, Malaysia, dan Singapura. Para pasiennya kebanyakan dari negara-negara tetangga, termasuk Indonesia.

Pasien Negara Tetangga

Rasa puas Tofan berobat di sebuah RS di Kuala Lumpur bisa jadi akan menginspirasinya untuk berobat di kemudian hari, atau paling tidak menjadikannya buah bibir di Indonesia. Pasien orang Indonesia yang mencari kesembuhan di negara tetangga bukan tanpa alasan. Selain persoalan biaya yang relatif murah, masalah waktu tunggu yang singkat dalam layanan kesehatan, juga mendorong seorang meninggalkan negaranya untuk sebuah layanan kesehatan.

Masalah akses perawatan yang tak tersedia di negaranya, ditambah maraknya penerbangan murah memicu makin menariknya layanan rumah sakit di negeri sebelah. Selain itu, faktor kemiripan budaya juga mengambil peran penting, bagaimana para pasien dari Laos memilih berobat ke Thailand, atau orang Indonesia yang terbang ke Malaysia demi layanan kesehatan.

“Ini sering kali banyak hubungannya soal kekurangan akses kualitas pengobatan atau terputusnya teknologi kesehatan terkini seperti analisis lab. Mereka tak memiliki akses di Indonesia seperti dokter yang mereka percaya. Itu lah mengapa mereka berobat ke luar negeri,” kata Meghann Ormond, seorang profesor geografi budaya di Wageningen University, Belanda, dikutip dari sea-globe.com.

Menurut situs sea-globe.com, bisnis wisata medis di dunia terus tumbuh 25 persen per tahun, dengan nilai 55 miliar dolar AS per tahun, mencakup jumlah pasien 11 juta orang dari lintas negara. Sebanyak sepertiganya memilih berobat di Asia Tenggara. Berobat di Asia Tenggara terkenal lebih murah hingga 80 persen dibandingkan dengan di Amerika Serikat (AS). Inilah yang membuat wisata medis tak hanya diminati oleh negara-negara tetangga saja.

Tiga Pilar di ASEAN

Jangkar bisnis jasa kesehatan di ASEAN adalah Thailand, Malaysia, dan Singapura. Setiap tahun, rata-rata ada 640.000 pasien dari negara-negara ASEAN datang ke Malaysia, disusul Thailand sebanyak 550.000 orang, dan Singapura 400.000 orang. Khusus Malaysia, kurang lebih 80 persen pasien luar negeri mereka berasal dari Indonesia, yang diperkirakan menghabiskan 150 juta dolar untuk biaya berobat.

Thailand, Malaysia, dan Singapura berhasil memposisikan diri sebagai pusat jasa kesehatan yang sudah diakui dunia. Selain ASEAN, jutaan orang dari berbagai negara datang ke tiga negara tersebut untuk sebuah layanan kesehatan. Bisnis jasa kesehatan di kawasan ini berawal dari pascakrisis 1997, khususnya Thailand yang mengalami kejatuhan parah mata uang baht. Pascakrisis, negara seperti Thailand mencoba bangkit dengan mencari sumber penggerak ekonomi baru, termasuk di bidang jasa kesehatan.

Secara total Thailand memang masih jadi juaranya, sejak 2012 ada sekitar 2 juta lebih pasien datang dari segala penjuru dunia. Bisnis jasa ini memberikan pendapatan 2 miliar dolar AS bagi Thailand, yang menguasai 40 persen pasien wisata kesehatan di Asia. Thailand menyediakan layanan kesehatan mulai dari penanganan penyakit hingga operasi kelamin.

“Wisata medis adalah bisnis yang besar. Thailand barang kali yang paling maju dalam sektor wisata kesehatan yang terintegrasi penuh dengan penerbangan udara, akomodasi untuk travel keluarga, dan penyambutan di bandara,” kata Stephen Lock, Head of Public Affairs for Edelman untuk Asia Tenggara.

Selain Thailand, Malaysia juga jadi pesaing yang cukup diperhitungkan. Pada 2014, Malaysia berhasil menarik 850.000 orang pasien dengan pendapatan 230 juta dolar AS. Tahun ini ditargetkan bisa meningkat hingga 330 juta dolar AS, dengan target 1 juta orang pasien luar negeri. Malaysia punya keunggulan dari sisi biaya. Berobat di Malaysia relatif lebih miring 30-50 persen daripada di Singapura.

Singapura rata-rata kedatangan 550.000 pasien luar negeri per tahun, dengan pasien terbanyaknya dari orang Indonesia. Selain itu, ada juga dari Filipina, Australia, sebagian lagi dari Amerika Utara dan Eropa. Negeri Singa ini cukup agresif mendorong jasa kesehatannya. Pada 2013 pemerintah mereka meluncurkan program Singapore Medicine Initiative untuk meningkatkan layanan dari bisnis ini. Singapura dan Malaysia terus melakukan peningkatan layanan seperti kenyamanan kepada pasien muslim yang dikenal dengan istilah halal medical tourism, berfokus pada layanan halal, seperti menyediakan fasilitas ibadah dan lainnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Bisnis rumah sakit di Indonesia kini memang sudah terbuka untuk asing secara terbatas. Berdasarkan Perpres No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, pemodal asing di bisnis rumah sakit dibolehkan menguasai hingga 67 persen, sedangkan dari negara ASEAN bisa 70 persen. Namun, untuk kegiatan praktik dokter asing masih diatur ketat dengan izin pemerintah melalui ketentuan undang-undang.

Indonesia memang belum bisa berbuat banyak untuk mengikuti Thailand, Malaysia, dan Singapura mengambil kue jasa kesehatan global. Namun, dengan terbukanya bisnis rumah sakit setidaknya bisa meningkatkan investasi, teknologi, dan infrastruktur rumah sakit di dalam negeri. Regulasi yang lebih terbuka dan berdaya saing bisa jadi peluang untuk Indonesia bergabung mengambil kesempatan menjadi pusat kesehatan di ASEAN, di tengah sekat-sekat antar negara yang makin longgar.

Baca juga artikel terkait BISNIS atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti