tirto.id - Ujian masuk perguruan tinggi seharusnya menjadi momen sakral, bukan ajang kebohongan berjamaah.
Pada 2025, Indonesia kembali dihadapkan dengan kenyataan pahit: Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK), ujian yang menentukan masa depan ribuan pelajar, justru diwarnai dengan berbagai kecurangan. Mulai dari joki ujian, pemakaian alat bantu tersembunyi, hingga bocoran soal yang diperjualbelikan secara daring.
Ironisnya, praktik semacam ini justru makin marak di tengah ketatnya persaingan masuk perguruan tinggi negeri favorit. Menurut teori Moral Disengagement yang dikemukakan Albert Bandura (1999), individu cenderung menormalisasi perilaku curang dalam situasi yang menekan atau sistemik.
Hal ini menjelaskan mengapa sebagian siswa Indonesia merasionalisasi penggunaan joki sebagai ‘strategi bertahan’, alih-alih menganggapnya pelanggaran moral.
Di sisi lain, teori Planned Behavior dari Ajzen (1991) menegaskan bahwa norma sosial dan kontrol perilaku turut mempengaruhi niat seseorang untuk berlaku curang, sebuah hal yang sangat ditentukan oleh budaya kolektif suatu negara.
Ribuan kilometer dari Indonesia, Korea Selatan justru menunjukkan wajah lain dari ujian seleksi. Di Korea Selatan, Ujian Kemampuan Skolastik ke Perguruan Tinggi (College Scholastic Ability Test/CSAT – Korea: 대학수학능력시험) atau biasa disebut Suneung (수능) dijalankan dengan keseriusan luar biasa, tidak hanya oleh penyelenggara, tetapi oleh seluruh lapisan masyarakat dan negara.
Pertanyaannya, mengapa dua negara di Asia bisa memiliki dua wajah yang begitu kontras dalam menjalankan ujian masuk universitas?
Melihat Suneung BekerjaHari pelaksanaan Suneung di Korea Selatan digambarkan nyaris seperti hari nasional. Pemerintah menghentikan aktivitas konstruksi, menunda penerbangan, dan mengerahkan polisi untuk mengawal siswa yang terlambat. Warga sipil bahkan menahan suara di jalanan dan menutup toko lebih awal demi menciptakan ketenangan maksimal.
Menurut laporan The Korea Herald pada November 2023, lebih dari 70.000 aparat dikerahkan secara nasional untuk menjaga ketertiban selama Suneung berlangsung. Bahkan, perusahaan-perusahaan di Seoul memperbolehkan karyawan masuk siang hari untuk menghindari kemacetan yang bisa menghambat perjalanan peserta ujian.
Sikap kolektif di atas menunjukkan bagaimana sebuah negara bisa mengedepankan pendidikan sebagai prioritas nasional, bukan hanya urusan siswa dan sekolah.
Bandingkan dengan Indonesia. UTBK masih berjalan dalam suasana biasa-biasa saja, bahkan sering disertai tekanan psikologis yang besar dari keluarga dan lingkungan sekitar. Belum lagi kasus kecurangan yang mencoreng nilai-nilai keadilan dalam pendidikan.
Panitia SNPMB melaporkan pada 2025 bahwa terjadi lebih dari ratusan kasus kecurangan UTBK di berbagai daerah, mulai dari joki profesional hingga peserta yang menggunakan alat komunikasi tersembunyi.
Dalam laporan tersebut, terungkap bahwa beberapa sindikat joki bahkan memasang tarif hingga Rp70 juta per kursi di PTN ternama. Ini bukan lagi soal ketidakjujuran personal, tapi kegagalan sistem dalam membangun atmosfer pendidikan yang adil dan bermartabat.
Sistem Preventif Berbasis Nilai-Nilai LokalSebagian orang menyalahkan tekanan sosial dan ketimpangan akses sebagai penyebab utama maraknya kecurangan. Namun, negara-negara seperti Singapura membuktikan bahwa sistem yang kuat bisa mencegah praktik curang meskipun tekanan tinggi tetap ada.
Kementerian Pendidikan Singapura (Education Ministry of Singapore, 2024) telah mengembangkan sistem pengawasan berbasis Artificial Intelligence (AI) yang secara otomatis mendeteksi gerakan mencurigakan, perubahan suara, bahkan pola perilaku peserta selama ujian. Proktor manusia tetap dilibatkan sebagai penguat sistem, tapi teknologi menjadikan sistem lebih efisien dan minim manipulasi.
Model seperti ini bisa jadi contoh penting bagi Indonesia dalam membangun integritas berbasis teknologi. Selain itu, budaya pendidikan di Korea Selatan dibentuk oleh nilai-nilai Konfusianisme yang menempatkan pendidikan sebagai bentuk penghormatan terhadap keluarga dan negara.
Di Indonesia, sistem nilai gotong royong dan rasa malu sosial (social shame) belum dimobilisasi secara maksimal dalam sistem pendidikan. Hal ini bisa menjadi faktor mengapa komitmen kolektif terhadap kejujuran akademik belum tercipta secara masif.
Namun, pengawasan bukan satu-satunya kunci. Pendidikan karakter dan integritas harus ditanamkan sejak dini. Di Korea Selatan, pemerintah bersama universitas besar seperti Seoul National University menjalankan program “Integrity First” yang membekali siswa dengan pelatihan nilai kejujuran dan tanggung jawab moral sejak sekolah menengah.
Menurut laporan internal kampus tahun 2023, program ini terbukti efektif, dengan 85 persen peserta menunjukkan peningkatan kesadaran terhadap pentingnya integritas akademik.
Sayangnya, di Indonesia, pendidikan karakter cenderung menjadi formalitas dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pancasila (PKN), tanpa penguatan dalam kehidupan nyata siswa. Akibatnya, banyak siswa tidak menginternalisasi nilai-nilai kejujuran secara mendalam, sehingga mudah tergoda untuk mengambil jalan pintas saat menghadapi tekanan.
Program JURDIL sebagai Gerakan Integritas Nasional
Sebagai respon atas maraknya praktik kecurangan dalam pelaksanaan UTBK tahun 2025, sebuah solusi komprehensif berbasis nilai-nilai lokal dan inovasi digital perlu segera diimplementasikan.
Program bertajuk “JURDIL” atau Jujur dan Adil untuk Masa Depan Pendidikan Nasional hadir sebagai langkah nyata untuk membangun ekosistem seleksi masuk perguruan tinggi yang lebih bersih, manusiawi, dan berintegritas.
JURDIL merupakan sebuah gerakan terintegrasi yang menggabungkan tiga elemen utama, yaitu budaya gotong royong, pengawasan digital, dan edukasi literasi integritas. Program ini tidak hanya berorientasi pada teknis pelaksanaan ujian, tetapi juga menyasar akar masalah melalui penguatan mentalitas dan ekosistem pendidikan yang adil.
Agar implementasi JURDIL dapat dievaluasi secara berkelanjutan, diperlukan indikator keberhasilan yang terukur, seperti penurunan jumlah kasus kecurangan dalam tiga tahun pertama, peningkatan skor integritas siswa berdasarkan survei pasca-ujian, dan partisipasi aktif masyarakat dalam zona integritas.
Zona Integritas UTBK
Pertama, dari sisi budaya gotong royong, program JURDIL akan menetapkan “Zona Integritas UTBK” di setiap kota penyelenggara ujian. Zona ini melibatkan kolaborasi antara pemerintah daerah, sekolah, masyarakat sipil, dan kepolisian untuk menciptakan suasana tertib dan tenang selama ujian berlangsung.
Mirip dengan model “Quiet City” yang dijalankan di Busan, Korea Selatan, zona ini akan menyediakan fasilitas pendukung seperti antar-jemput bagi peserta yang kesulitan transportasi dan ruang tunggu bagi orang tua yang ingin mendampingi tanpa mengganggu.
Pengawasan Digital
Sementara itu, pilar kedua dari program JURDIL menitikberatkan pada penguatan sistem kejujuran melalui teknologi dan pengawasan digital. Dalam beberapa kasus tahun ini, seperti yang diberitakan Kompas pada Mei 2025, modus kecurangan dalam UTBK mencakup penggunaan joki daring, peretasan sistem CBT, dan penyebaran soal melalui aplikasi komunikasi.
Untuk mengatasi hal ini, JURDIL mengusulkan integrasi AI proctoring, yaitu sistem pengawas berbasis kecerdasan buatan yang mampu mendeteksi gerakan mencurigakan, pola tatapan layar, serta aktivitas pengguna selama ujian berlangsung.
Teknologi ini telah berhasil diterapkan dalam Duolingo English Test dan ETS GRE at Home untuk mendeteksi kecurangan global, dan dapat diadaptasi ke konteks UTBK dengan dukungan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) dan Pusat Asesmen Pendidikan (Pusmendik).
Selain itu, penguatan dilakukan melalui audit digital hasil ujian, di mana sistem secara otomatis memeriksa anomali dalam jawaban, kesamaan pola, serta aktivitas log pengguna untuk mendeteksi kemungkinan pelanggaran.
Agar transparansi semakin terjaga, peserta juga akan diberikan akses ke portal hasil mandiri, tempat mereka dapat memverifikasi proses koreksi dan distribusi nilai secara terbuka. Dengan begitu, prinsip kejujuran tidak hanya dibebankan pada peserta, tetapi juga dijaga melalui sistem yang adil dan terverifikasi.
Kelas Literasi Integritas Digital
Ketiga, dan tak kalah penting, adalah sisi edukasi. JURDIL akan menjalankan Kelas Literasi Integritas Digital yang diwajibkan bagi seluruh peserta UTBK. Kelas ini berlangsung secara daring selama 2 minggu sebelum ujian, dan berisi materi mengenai etika digital, risiko hukum dari kecurangan, serta simulasi nilai-nilai kejujuran melalui game edukatif.
Materi dikembangkan oleh kolaborasi dosen Psikologi, Pendidikan, dan Kriminologi dari berbagai perguruan tinggi. Tujuan dari kelas ini bukan sekadar menyampaikan larangan, tetapi membentuk pemahaman mendalam tentang dampak sosial dan pribadi dari kecurangan akademik.
Penerapan JURDIL akan didampingi oleh sistem penilaian zona, di mana setiap daerah yang berhasil melaksanakan UTBK tanpa laporan kecurangan selama tiga tahun berturut-turut akan mendapat status “Zona Hijau JURDIL” dan berhak menerima penghargaan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Langkah ini dimaksudkan untuk memotivasi partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah daerah.
Jika hanya bergantung pada satu lembaga seperti Balai Pengelolaan Pengujian Pendidikan (BPPP) Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB), perbaikan sistem ujian akan terus berjalan lambat. Indonesia membutuhkan sistem desentralisasi kolaboratif di mana masyarakat, sekolah, pemerintah, dan teknologi berjalan beriringan.
Mengubah Kebiasaan

Dengan adanya program seperti JURDIL, diharapkan UTBK bukan lagi ajang penuh kecemasan dan kecurangan, melainkan sebuah panggung terhormat di mana pelajar menunjukkan kemampuan terbaik mereka secara jujur dan bermartabat.
Menjadikan UTBK sebagai ajang yang bersih dan terhormat tidak bisa dilakukan semalam. Namun, belajar dari keberhasilan negara lain dan mengintegrasikannya dengan pendekatan khas Indonesia dapat menjadi jalan keluar dari krisis integritas ini.
Suneung telah membuktikan bahwa ketika sebuah bangsa sepakat menjunjung kejujuran dalam pendidikan, seluruh sistem akan bergerak untuk menjaga martabat ujian. Kini, saatnya Indonesia tidak hanya mencetak siswa pintar, tetapi juga generasi muda yang jujur dan beretika.
*Penulis adalah mahasiswa jurusan Teknik Industri Universitas Diponegoro, penerima Djarum Beasiswa Plus (Beswan Djarum) 2024/2025. Tirto.id bekerjasama dengan Djarum Foundation menayangkan 16 Finalis Nasional Essay Contest Beswan Djarum 2024/2025. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.
Editor: Zulkifli Songyanan
Masuk tirto.id


































