tirto.id - Setelah dua tahun berjibaku membayar utang pinjaman online (pinjol) dari empat aplikasi yang berbeda, Mirah (43)--bukan nama sebenarnya, kini tinggal melunasi utang terakhirnya senilai Rp18 juta. Mirah terjerembab dalam jerat pinjol sejak keluarganya sering meminjam uang tapi tak kembali.
Sepekan sebelum gaji bulanan terkirim ke rekeningnya, ia kerap kesulitan memenuhi kebutuhan. Terpaksa, pada 2022, Mirah mulai mencoba aplikasi pinjol dan memanfaatkannya untuk mencukupi keperluan sehari-hari. Namun, di tengah jalan ia pun harus membantu saudaranya yang menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Pinjaman dari tiga aplikasi pun berhasil lunas pada 2024 lalu, dengan bantuan mediator keuangan. Sepenuturan Mirah, mediator tersebut membantunya untuk menegosiasikan tenor, menyediakan konseling untuk mengatasi stres, dan melindungi supaya tidak terlalu diteror penagih utang.
Sebab, meski keseluruhan penyedia pinjaman daring yang dimanfaatkan Mirah merupakan pinjol legal yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ia tak terbebas dari teror dan ancaman yang dilayangkan oleh para rentenir.
“Mulai dari dikatain lonte sampai diancam mau dibunuh, lewat SMS. Dan saya selalu melapor ke mediator kalau saya diancam seperti itu, diteror,” ungkap Mirah.

Tak cuma lapor ke mediator, untuk menenangkan diri, Mirah umumnya mengarsipkan tangkapan layar pesan teror-teror itu dan mengadukannya ke OJK atau badan siber Polri. Perkara ditangani atau tidak, kata perempuan yang tinggal di Jakarta Selatan tersebut, “yang penting sudah melapor”.
Mirah bilang, di tiga aplikasi pinjol yang sudah tuntas dilunasi, nominal pinjaman yang diajukan berkisar antara Rp5 - Rp6 juta. Setelah sisa utangnya dari satu aplikasi pinjol nanti rampung terbayar, Mirah mengaku bakal berhenti pakai jasa ini.
“Tidak [akan lagi]. Karena ternyata di keluarga bukan saya doang yang terkena pinjol. Dua saudara saya juga ternyata diam-diam pakai,” kata Mirah. Ia mengaku selepas ini bakal fokus membantu adiknya untuk keluar dari gurita pinjaman daring.
Mirah adalah satu dari belasan juta perempuan yang terlibat dalam pinjaman daring (pindar) atau pinjol. Di Indonesia, perempuan tercatat sebagai kelompok yang lebih rentan terjerat pinjol dibanding laki-laki.
Data teranyar dari OJK memperlihatkan pada periode Januari 2025, jumlah nasabah perempuan dalam layanan pinjol telah menyentuh 11,7 juta orang. Angka itu lebih tinggi dari jumlah nasabah laki-laki yang berada di level 11,5 juta orang.
Nilai pinjaman yang diajukan perempuan pun diketahui lebih gemuk, seiring dengan jumlah nasabah pindar perempuan yang lebih banyak dibanding nasabah laki-laki. Pada periode yang sama, nilai total pinjaman nasabah perempuan tercatat sebanyak Rp39,8 triliun, sementara laki-laki hanya Rp34,2 triliun.
Tren kesenjangan itu bahkan telah terlihat setidaknya sejak tiga tahun lalu, alias pada 2022. Itu artinya, pengalaman pinjol perempuan bukanlah pengalaman individual, sehingga perlu diberi perhatian serius oleh negara. Terlebih pada kekerasan dan ancaman yang menyelimuti perempuan buntut pinjol yang dilakukan.
Tingginya Biaya Hidup dan Tekanan Sosial?
Perencana keuangan sekaligus CEO MRE Financial & Business Advisory, Mike Rini, mengungkap faktor yang melatarbelakangi perempuan melakukan pinjol perlu dilihat dari demografi wilayahnya. Jika di perkotaan, menurut Rini, keputusan pinjol diambil oleh perempuan lantaran kombinasi beberapa faktor yang berkelindan, di antaranya tingginya biaya hidup, akses yang mudah terhadap pinjol, dan adanya tekanan sosial.
Faktor lain juga mencakup situasi ekonomi yang tidak stabil, yang membuat banyak perempuan kehilangan pekerjaan atau mengalami penurunan pendapatan. Dalam keadaan darurat finansial, menurut Mike, pinjol seringkali dianggap sebagai jalan keluar yang cepat dan mudah.
“Saya khususnya ingin lebih menyoroti faktor masih kurangnya perlindungan hukum terhadap praktik pinjol ilegal, membuat perempuan lebih rentan terhadap penawaran yang merugikan. Banyak pinjol yang tidak transparan dalam memberikan informasi biaya dan bunga, sehingga perempuan tidak menyadari besarnya utang yang mereka ambil,” lanjut Mike.
Lain halnya dengan pinjol di kalangan perempuan di pedesaan. Menurut Mike, kemungkinan faktor pemicunya yakni meningkatnya paparan perempuan terhadap pinjol dan keterbatasan perempuan dari akses keuangan.
“Kan kalau sudah bicara pinjol itu, kita itu tinggal bilang iya setuju uangnya langsung dikirim. Bahkan mungkin saya pernah dengar dia bahkan belum menyetujui belum apa gitu, cuma ketika diwawancarai aja tahu-tahu uangnya sudah masuk, sehingga dia otomatis jadi peminjam. Kalau udah otomatis gitu, kalau nggak mau kan akhirnya jadi terjebak, jadi perlu dilunasi,” kata Mike.
Dengan demikian, keterbatasan akses terhadap pinjaman yang ramah menyebabkan eksposur terhadap pemakaian pinjol. Keterbatasan akses di tengah meningkatnya kebutuhan harian bikin perempuan memilih opsi pinjaman yang kurang ramah dan mahal. Di sisi lain, menurut Mike, ada juga persoalan perempuan sebagai pencari nafkah rumah tangga.
“Semakin lama tekanan ekonomi itu memang semakin tinggi, sehingga mau tidak mau perempuan itu meningkat partisipasinya di dalam peranan sebagai sumber pencari nafkah keluarga,” lanjut Mike.
Fenomena female breadwinners di Indonesia memang kini kian mencolok. Publikasi baru "Cerita Data Statistik untuk Indonesia" edisi Maret 2025 mengungkap satu dari sepuluh pekerja, alias sebanyak 14,37 persen buruh di Indonesia pada 2024 adalah female breadwinners.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) itu menggambarkan perempuan yang bekerja dan menerima pendapatan terbesar, menjadi pencari upah utama, atau bahkan menjadi satu-satunya pencari nafkah dalam rumah tangga. Karakteristik paling menonjol dari pekerjaan female breadwinners menurut laporan tersebut yakni berstatus “berusaha”, utamanya usaha perorangan.
Sayang, jenis pekerjaan ini umumnya berarti perlindungan jaminan kesehatan dan sosial di tempat kerjanya pun rendah. Female breadwinners ujungnya menghadapi beban ganda dan kesenjangan ekonomi.
“Bahkan kalau saya amati, ibu-ibu ini walaupun dia bukan pencari nafkah keluarga, tapi kalau buat sekolah anak, anak-anak dia butuh apa misalnya, terutama biaya-biaya terkait dengan pendidikan di sekolah. Kan bukan cuma buku atau uang sekolahnya, tapi ada juga misalnya acara sekolah tur, ada biaya-biaya tambahan lah. Bapaknya umumnya tidak meng-cover itu, jadi ibunya yang cari sendiri,” kata Mike.
Bertambahnya beban ini diiringi dengan kapasitas ekonomi terbatas menyebabkan perempuan mengambil pinjol dengan perhitungan yang kurang cermat. Namun, ada juga alasan tekanan sosial dalam artian perempuan mesti mengikuti norma sosial tertentu.
“Jadi tekanan sosial untuk perempuan itu lebih tinggi. Saya kira untuk pria juga ada tekanan sosial, tapi kalau yang perempuan ini tekanan sosialnya adalah adanya keharusan mengikuti norma sosial tertentu. Yang menyebabkan dia harus keluar pos tambahan, entah pakaiannya lah, entah berkumpul sama teman-teman,” sambung Mike.
Literasi Keuangan Harus Tepat Sasaran
Tingginya kelompok perempuan dalam menggunakan pinjol memang menandakan urgensi literasi keuangan yang tepat sasaran. Sebab, menurut Mike, ketika bicara perempuan atau pun rumah tangga itu spektrumnya masih terlalu luas.
“Sehingga perlu memang di-cluster, perlu dibuat program yang memang tepat sasaran. Jadi kita perlu membuat sebuah persona. Siapa sih yang akan menerima edukasi ini mengenai bijak berutang, bijak menggunakan pinjaman. Secara umum kalau kita hanya mengedukasi, misalnya literasi keuangan, itu pun juga terlalu luas,” ujar Mike.
Jadi, yang perlu dievaluasi adalah bagaimana literasi keuangan dapat tepat sasaran dan menyelesaikan masalah yang memang terkait dengan penerima dari edukasi ini, yakni perempuan.
Pemerintah disebut perlu menciptakan program-program pembekalan mengajar semacam training of trainer, alias pelatihan yang dirancang untuk melatih individu menjadi trainer. Meski begitu, bukan hanya konsumen atau perempuan saja yang diberi pelatihan, perusahaan teknologi finansial atau pelaku jasa keuangan yang menyediakan produk pinjol juga punya kewajiban untuk mengadakan edukasi.
“Kedua juga harus punya prosedur yang benar. Jadi ada proses seleksi, tidak boleh diberikan kepada sembarangan orang, soal meminjam. Hanya orang atau wanita yang memang punya kualifikasi saja, punya kemampuan untuk bisa diberikan pinjaman. Kita bicara yang legal,” kata Mike.

Sementara jika pinjol ilegal, Mike mendorong adanya peningkatan pengawasan dari pemerintah supaya pinjol-pinjol itu tidak lebih banyak memakan korban. Sebab, kalau sudah ilegal itu artinya adalah tindak kejahatan.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, sendiri sebelumnya sempat merespons tingginya praktik pinjol di kalangan perempuan. Puan mendorong tersedianya akses keuangan yang ramah terhadap perempuan.
Lebih lanjut, Puan memastikan DPR akan memberikan perhatian lebih terhadap kesejahteraan perempuan-perempuan Indonesia. “Kita ingin perempuan terus berdaya dan berperan aktif dalam membangun keluarga dan bangsa tanpa dibebani hutang yang membelenggu,” ungkapnya.
Ketua DPP PDI Perjuangan ini juga mengatakan DPR RI akan menyusun regulasi untuk memastikan kaum perempuan mendapatkan akses keuangan yang sehat dan tidak membuat kaum perempuan terjerat dalam utang.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang
Masuk tirto.id


































