tirto.id - Nama Hadi Pranoto tiba-tiba mencuat setelah diwawancarai oleh Erdian Aji Prihartanto alias Anji, diunggah di Youtube tapi kemudian dihapus. Di sana Hadi mengklaim telah menemukan obat yang mampu mencegah dan menyembuhkan COVID-19 hanya dalam hitungan hari. Selain itu, obatnya itu diklaim telah menyembuhkan ribuan pasien yang terinfeksi.
Banyak pernyataan Hadi--yang dipanggil 'profesor' oleh Anji--yang janggal, bahkan terkesan penipuan. Atau dalam istilah anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDIP, Nabil Haroen, lewat keterangan tertulis, Rabu (5/8/2020), "penyesatan informasi publik".
Pertama terkait klaim keamanan obat penyembuh Corona. Ia mengatakan produknya--yang diklaim "terdapat kandungan untuk membunuh COVID-19"--aman dikonsumsi masyarakat lantaran sudah mendapat izin edar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dengan nomor TR203636031. Produknya didaftarkan oleh PT Saraka Mandiri Semesta, berlokasi di Kabupaten Bogor, dengan merek Bio Nuswa Obat Tradisional & Suplemen Makanan (ASROT) tertanggal 14 Apri 2020. Bio Nuswa dipasarkan dalam botol berukuran 250 ml sebagai produk obat tradisional.
Dalam laman resmi BPOM, tak ada satu pun keterangan yang menyebut Bio Nuswa dapat menyembuhkan orang dari virus Corona.
Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito pun menegaskan hingga saat ini mereka tidak pernah memberikan persetujuan untuk obat herbal dengan klaim mengobati segala jenis penyakit, termasuk COVID-19.
Kedua, terkait klaim bahwa obat telah digunakan di RS Darurat Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta. Dalam video dia bilang: "Kami kemarin menyuplai untuk pengobatan dan penyembuhan pasien yang ada di Wisma Atlet."
Klaim ini lagi-lagi dibantah. Kali ini oleh Koordinator Operasional Wisma Atlet, Kepala Kesehatan Komando Daerah Militer Jayakarta (Kakesdam Jaya) Kolonel Ckm Donny Guntur. Ia menegaskan klaim Hadi "tidak betul". "Obat apa yang dipakai Hadi Pranoto enggak perlu dibahas. Kami enggak pakai dan bapak itu enggak pernah komunikasi dengan kami," kata Donny, Senin (3/8/2020).
Klaim-klaim Hadi semakin lemah ketika Staf Ahli Menristek Bidang Infrastruktur Ali Ghufron mengatakan yang bersangkutan, yang mengklaim diri sebagai salah satu penemu obat, bukanlah anggota peneliti di tim pengembangan imunomodulator yang dibentuk Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN). Selain itu, Kemenristek/BRIN melalui Konsorsium Riset dan Inovasi untuk Percepatan Penanganan COVID-19 juga tidak pernah memberikan fasilitas uji klinis terhadap ramuan bikinan Hadi Pranoto.
"Setiap klaim yang disebutkan harus melewati kaidah penelitian yang benar dan melakukan uji klinis sesuai protokol yang disetujui oleh BPOM," kata Ali melalui keterangan tertulis, Senin (3/8/2020).
Ia lantas mengimbau masyarakat berhati-hati dengan ramuan herbal yang diklaim mampu mengobati COVID-19. Pasalnya, ramuan tersebut masih belum teruji klinis dan bukan dikeluarkan secara resmi atau dibenarkan oleh instansi terkait seperti BPOM, Kemkes, Kemenristek/BRIN atau kementerian/lembaga pemerintah lain.
Prosedur Uji Coba Obat Corona
Ketua Satuan Tugas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk COVID-19 Zubairi Djoerban menuturkan terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan apabila ingin membuat obat. Pertama, harus melewati tahap pra-klinis. Pada tahap ini diteliti zat apa saja yang terkandung dalam obat. Lalu, diuji coba kepada hewan yang memiliki gen yang sama seperti manusia.
"Apabila hewan itu mati, jangan diteruskan. Kalau hidup, baru diuji ke tahap selanjutnya," kata dia, Selasa (4/8/2020)
Tahap kedua, obat harus diuji klinis tahap pertama. Pada tahap ini obat diberikan kepada puluhan manusia yang dijadikan subjek penelitian. Peneliti pun harus terus mengawasi dan melihat perkembangan subjek tersebut secara intensif selama 3 sampai 6 bulan, sebagai bentuk tanggung jawab. "Agar dapat meyakinkan bahwa zat yang terkandung dalam obat COVID-19 ini aman kalau dikonsumsi oleh manusia," katanya, menjelaskan tujuan tahapan ini.
Dalam uji klinis tahap dua, peneliti melakukan cara yang sama tapi kepada lebih banyak orang. Ratusan. Pada tahap ketiga, obat kembali dites pada ribuan orang, lagi-lagi untuk menguji apakah obat itu aman dan efektif.
Dalam konteks obat Corona, apabila ribuan orang yang diteliti berhasil memiliki daya proteksi dan terlindung dari COVID-19, hasil penelitian tersebut diterbitkan di majalah kedokteran yang terakreditasi. Sementara peneliti mendaftarkan obatnya ke BPOM. Setelah itu baru boleh diperjualbelikan.
"Misalnya pas dijual beberapa tahun kemudian menimbulkan efek samping seperti kanker dan lainnya, itu harus ditarik dari peredaran," katanya, menjelaskan meski sudah dipasarkan, bukan tidak mungkin tak timbul efek samping.
Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito menegaskan jika suatu produk terbukti berkhasiat lewat tahap-tahap di atas, maka klaim tersebut pasti tertera pada label atau desain kemasan produk. Sementara obat Hadi, sekali lagi, termasuk kategori "obat tradisional" tanpa embel-embel khasiat membunuh virus Corona.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino