tirto.id - Andrea Pirlo tak pernah membayangkan akan menjadi pelatih sepakbola. Dalam biografinya yang berjudul I Think Therefore I Play (2013), Pirlo mengatakan sama sekali tak tertarik menjadi pelatih, meski di klub besar sekali pun. Kehidupan pelatih, menurutnya Pirlo, amat berbeda dengan pemain sepakbola. Seorang pelatih harus terbiasa dengan lampu sorot—termasuk di dalam kehidupan pribadinya, dan dia tidak menyukai itu.
Namun, semua orang toh bisa berubah, tak terkecuali Pirlo. Pada 8 Agustus 2020, dia resmi menjabat sebagai pelatih Juventus.
Keputusan mengejutkan itu terjadi hanya berselang 10 hari setelah dia ditunjuk menjadi arsitek Juventus U-23. Para pengamat sepakbola yang sebelumnya menggaungkan nama Mauricio Pochettino, Pep Guardiola, hingga Zinedine Zidane sebagai pengganti ideal Sarri, tentu saja kaget dibuatnya.
Jonathan Wilson, misalnya, menilai bahwa Juventus hanya ikut-ikutan tren belaka. Mengangkat mantan pemain sebagai pelatih memang sedang tren di skena sepakbola Eropa beberapa tahun belakangan. Mereka dianggap mampu memberikan kesuksesan secara instan.
“Sejujurnya, adalah keputusan luar biasa yang hanya berlandaskan romantisme belaka bahwa pemain legenda dapat memberikan harapan ketimbang keputusan yang diambil berdasarkan rencana matang,” tulis Wilson.
Lain itu, seperti yang diungkapkan oleh Livio Seferoglu dari Football Italia, ada juga pendapat umum yang membuat keputusan Juventus pantas dipertanyakan: Pirlo sama sekali belum berpengalaman. Zidane, Pep Guardiola, hingga Diego Simeone butuh proses panjang untuk sampai ke puncak. Sementara itu, Pirlo yang baru mendapatkan lisensi pelatih pada Oktober 2020 nanti akan langsung ditarget meraih kesuksesan di Liga Champions Eropa—tanggung jawab yang kelewat besar.
Meski demikian, mengingat reputasi Pirlo sebagai pemain, tak sedikit pula yang mendukung keputusan Juventus. “Andrea mempunyai kapasitas untuk melampaui prestasi Zidane,” kata Alessandro Del Piero.
Sementara itu, Andrea Galliani—mantan bos Pirlo di Milan—menyebut Pirlo sebagai sosok yang cerdas sehingga merupakan pilihan paling tepat bagi Juventus. Dukungan paling bertenaga datang dari Renzo Ulivieri, direktur kegiatan kepelatihan di Coverciano—tempat Pirlo mengambil kursus kepelatihan sekaligus tempat kursus pelatih ternama di Italia.
“Pirlo mampu mengetahui apa yang tidak diketahui oleh pelatih lainnya,” kata Ulivieri kepada Calciomercato dan dikutip laman Pandit Football. “Aku sangat yakin bahwa Pirlo adalah salah satu orang yang mempunyai pikiran paling mendalam tentang sepakbola.”
Terlepas dari pro dan kontra tersebut, apakah Pirlo mampu membawa kesuksesan untuk Si Nyonya Tua?
Tidak ada yang tahu, tentu saja. Namun, karier panjang Pirlo sebagai pemain setidaknya bisa sedikit menggambarkan bagaimana kiprah Pirlo sebagai pelatih nanti.
Sprezzatura
Pirlo punya banyak julukan saat masih aktif sebagai pemain. Dia pernah dikenal sebagai Metronom, Mozart, Profesor, maupun Arsitek. Namun, di antara banyaknya julukan tersebut, ada satu julukan yang paling mengena: Sprezzatura.
Menurut James Horncastle, dalam “The Coolest Footballer Ever? Why Andrea Pirlo Remains a Style Icon”, sprezzatura merupakan istilah yang lazim digunakan di ranah fesyen Italia. Ia kurang lebih berarti kemampuan seseorang untuk tampil elegan—baik segi setelan busana maupun perilaku, meski dia tak menyadari itu. Mula-mula, istilah ini digunakan untuk menggambarkan sosok Baldassare Castiglione, sahabat kental salah satu pelukis ternama Italia Raphael.
Imaji sprezzatura dapat ditangkap dari salah satu lukisan potret Raphael yang terkenal. Lukisan potret tersebut menggambarkan Castiglione sedang duduk, tangan bersedekap di depan, dan mata birunya menatap ke depan dengan tajam. Wajah Castiglione barangkali sangat biasa saja, tapi Raphael meleburnya dengan sikap yang menarik dan setelan pakaian yang pas. Efek yang dihasilkan ternyata sebaliknya: lukisan itu jadi lebih sedap dipandang.
Pirlo, menurut Horncastle, tak jauh beda dengan imaji Castiglione itu. Di antara pesepak bola segenerasinya, Pirlo bukan yang paling ganteng atau modis. Pirlo selalu terlihat seperti sehabis bangun tidur. Dia bahkan tak peduli dengan tren fesyen.
Namun, meminjam kata-kata perancang busana Giorgio Armani, keanggunan itu bukan semata tampilan luar yang tampak trendi, melainkan karakter yang selalu diingat.
“Anda tidak akan pernah melihatnya mengenakan sepatu Balenciaga yang tampak seperti kaus kaki. Dia sama sekali tak tertarik gabung dengan kolaborasi Fila dan Fendi yang memproduksi setelan olah raga mewah. Anda juga tak akan pernah melihatnya wara-wiri mengenakan sepatu Adidas Yeezy atau Off-White x Converse. [...] Pirlo lebih menyukai sesuatu yang bersahaja dan tak lekang waktu,” tulis Horncastle.
Seperti Castiglione, Pirlo tidak hanya menerjemahkan sprezzatura lewat setelan busana, melainkan juga lewat perilakunya. Meski ekspresi wajah dan nada bicaranya hampir selalu datar—sok misterius, Pirlo adalah pribadi yang luwes. Gennaro Gattuso yang galak dan menakutkan itu bisa lumer di tangan Pirlo. Dia bahkan terang-terangan mengakui bahwa Pirlo adalah sahabat kentalnya.
Lantas, mengapa I Think Therefore I Play bisa terjual laris manis di pasaran Inggris dan AS? Sebabnya sederhana saja—karena Pirlo mampu bercerita secara jujur, imajinatif, dan berkepribadian menarik.
Mina Rzouki, dalam sebuah tulisannya di lamanBBC, menilai bahwa sikap Pirlo itu setidaknya akan memperbaiki suasana ruang ganti Juve yang tampak kaku di era Sarri. Komunikasi tak kalah penting ketimbang pengalaman. Pun, berbeda dengan Sarri, Pirlo pandai menempatkan diri. Ronaldo, kata Rzouki, tak akan memalingkan wajah ketika berbicara dengan Pirlo. Begitu pula Giorgio Chiellini, Leonardo Bonucci, Gianluigi Buffon, dan pemain-pemain Juventus lainnya.
Pirlo bukan Sarri yang menganggap melatih Juventus sebagai sebuah mimpi. Pirlo juga memulai langkah sebagai pelatih Juventus layaknya seorang pemenang.
“Aku perlu menjelaskan apa sebenarnya arti Juventus kepada para pemain,” kata Pirlo seperti dikutip laman Sky Sport. “Setiap tim yang melawan kami selalu ingin menang dan kami harus selalu membuktikan diri lebih hebat.”
Lain itu, kemampuan Pirlo mengamalkansprezzatura di atas lapangan juga bisa jadi patokan prediksi kariernya nanti. Seperti Sarri, dia berjanji akan membuat Juventus selalu menang dengan meyakinkan. Sarri gagal memenuhi janjinya. Sementara itu, Pirlo setidaknya pernah membuktikan diri bisa menciptakan revolusi di sepakbola Italia saat sukses bermain sebagai regista kala peran itu sudah dianggap sebagai legenda.
Soal ini, Horncastle menulis, “Banyak yang mengira regista adalah relik kuno. Tidak ada yang mampu bermain sepakbola seolah-olah sedang duduk di kursi sutradara [...] Kecepatan sepakbola terlalu tinggi dan intens. Tapi Pirlo tetap mampumenentukanmomentum dan tak pernah gagal menemukan ruang. Semua tampak lambat di hadapan kejeniusannya.”
Saat Pirlo bermain sebagai regista, Juventus yang sempat meredup pasca skandal calciopoli kembali bangkit dan menjadi penguasa sepakbola Italia. Selama empat musim membela Si Nyonya Tua, Pirlo mempersembahkan tujuh gelar: empat scudetto, satu Coppa Italia, dan dua Piala Super Italia.
Si Jenius
Salah satu momen kejeniusan Pirlo terjadi pada babak semifinal Piala Dunia 2006, saat Italia bertemu tuan rumah Jerman. Pada menit ke-119—menjelang akhir babak perpanjangan waktu, Pirlo menerima bola liar persis di depan kotak penalti Jerman. Seketika pemain-pemain Jerman langsung memburunya, tapi Pirlo tetap tenang seolah-olah ia masih punya banyak waktu untuk melakukan sesuatu.
Pirlo lantas melakukan tiga sentuhan pendek, bermaksud mencari ruang untuk dirinya sendiri maupun rekan-rekannya. Empat pemain Jerman yang berada di dekatnya panik. Gara-gara terlalu fokus menjaganya seorang, mereka luput memerhatikan pergerakan pemain Italia lainnya. Saat itulah dia mengirim umpan ke arah Fabio Grosso.
“Pirlo tahu betul di mana harus menempatkan bola: ke sebelah kaki kiri Grosso. Itu adalah assist sempurna, di dalam kotak penalti yang padat, dalam hitungan sepersekian detik. Sekali Grosso menendangnya dan masuklahia ke gawang Jerman,” dan tulis John Foot, penulis spesialis sepakbola Italia kawakan.
Para penggemar sepakbola Italia tahu belaka, Pirlo sering mempertontonkan permainan yang tak tertebak. Dia bisa berkelit dari keroyokan lawan hanya dengan satu sentuhan, mengumpan ke arah yang berlawanan dari sudut pandangnya dengan presisi, hingga membidikkan bola ke arah gawang dari jarak yang menurut banyak orang tidak memungkinkan. Semua itu, seperti diutarakan Ulivieri, bisa terjadi karena satu hal: Pirlo paham luar dalam soal sepakbola.
Perubahan peran Pirlo dari trequartista ke registajuga bisa jadi contoh. Keduanya pada dasarnya mempunyai tugas yang sama, yakni sebagai playmaker tim. Namun, jika trequartista cenderung hanya menjembatani lini tengah dan lini depan, regista memiliki jangkauan tugas yang lebih luas. Karena beroperasi persis di depan garis pertahanan, ia harus mampu mengatur permainan tim secara keseluruhan sekaligus mampu menyuplai bola langsung ke pemain-pemain depan.
Regista juga lebih rumit karena ruang geraknya terbatas—tidak sepertitrequartistayang bebas bergerak dengan jangkauan tugas lebih luas. Seorang registajuga harus memahami ruang dan taktik tim secara keseluruhan. Artinya, ia tak cukup hanya mengandalkan teknik individu di atas rata-rata.
Pirlo mampu mengemban peran itu dengan sempurna. Sejak bermain sebagai regista bersama AC Milan pada musim 2002-2003, dia sama sekali tak pernah menengok lagi ke belakang dan meraih hampir semua piala yang tersedia—dari gelar scudetto, Liga Champions Eropa, hingga Piala Dunia.
Penulis sepakbola asal Amerika Brian Phillips menilai Pirlo adalah pesepakbola dengan kecerdasan di atas rata-rata. Di balik setiap aksinya, ada perhitungan matang, kecepatan dan ketepatan pengambilan keputusan, serta tujuan. Maka, saat banyak orang terpesona saat Pirlo menguasai bola, Phillips memilih menikmati permain Pirlo dengan cara agak lain.
“Untuk benar-benar menikmati permainan Pirlo, kamera seharusnya menyorotnya ketika melakukan pergerakan tanpa bola—bahkan saat bola tidak berada di dekatnya sekali pun. Itu akan menunjukkan cara Pirlo bergerak dan melihat, menilai dan memutuskan, seolah-olah semua tindakannya itu adalah jalan pikirannya,” tulis Phillips.
“Kemudian [...] saat ia mengirimkan umpan menakjubkan ke lini depan, kamera tak perlu mengikuti bola, tetap sorotlah Pirlo. Sebab, sebuah gol sudah tercipta ketika Pirlo megirimkan umpan tersebut.”
Menilik semua pertimbangan itu dan terlepas dari sukses atau gagal, kiprah Pirlo sebagai pelatih sangat patut dinantikan. Dia mampu menjadi pemain hebat berbekal kecerdasannya. Barangkali, buah pikirnya juga akan menghasilkan prestasi di ranah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi