tirto.id - Maurizio Sarri bergegas menuju ke ruang ganti setelah Juventus menang 2-0 atas Sampdoria. Dia tersenyum, sejenak mengedarkan pandang ke tribun Stadion Allianz yang nyaris kosong melompong, lalu menghilang dari pandangan. Dia masih ingat betul kritik yang ditujukan padanya di momen pertama datang ke stadion itu setahun lampau. Sarri sama sekali tak peduli.
Di ruang ganti, para pemain Juventus sudah menunggunya. Sarri memandangi wajah mereka satu per satu, seakan tak percaya bahwa ia memiliki pemain-pemain hebat sekaliber mereka. Dan tersenyumlah ia.
“Jika kalian berhasil meraih gelar bersamaku yang belum pernah meraih apa-apa,” katanya, sambil bercanda, “itu artinya kalian adalah pemain-pemain istimewa.”
Seketika pemain-pemain Juventus bertepuk tangan sebagai wujud terima kasih kepadanya. Bagi mereka Sarri juga bukan pelatih semenjana. Wojciech Szczesny, kiper utama Juventus, lalu mengulurkan sebungkus rokok kepadanya sebagai hadiah—Sarri memang seorang perokok berat.
“Anda memang layak mendapatkan gelar,” kata Szczesny.
Lagi-lagi Sarri hanya bisa tersenyum. Sementara ia mengeluarkan korek dari saku, sebatang rokok sudah berada di ujung bibirnya. Seraya menyulut rokok, boleh jadi ia teringat satu puisi Charles Bukowski—penulis favoritnya—yang paling terkenal.
Lighting new cigarettes,
pouring more
drinks.
It has been beautiful
fight.
Still
is.
Gagal Tampil Meyakinkan
Saat Juventus gagal juara Coppa Italia, Tuttosport langsung mengkritiknya dengan membuat headline berjudul “Bencana Sarri”. Setelah resmi menjadi pelatih anyar Juventus pada musim panas 2018, Sarri menyatakan ingin membawa perubahan. Jika sebelumnya Juventus hanya peduli dengan kemenangan, Sarri ingin Juventus menang secara meyakinkan.
Sayang, pembuktiannya jauh panggang dari api. Menurut media asal Turin itu, canangan Sarri tetap jauh dari kenyataan sampai Juventus berhasil mengunci scudetto-nya yang ke-36.
James Horncastle dalam sebuah artikelnya di laman The Athletic(21 Juni 2020) menilai kritikan Tuttosportitu berlebihan. Terlebih sepakbola Italia baru saja bergulir kembali pasca-lockdown. Dalam konteks itu, James menulis, “Mengharapkan Juventus langsung tampil bagus adalah sesuatu yang tidak realistis.”
Jika menilik statistik di laman Whoscored, penampilan Juventus musim ini sebenarnya mengalami peningkatan signifikan. Dalam aspek menyerang, anak asuh Sarri malah bisa dibilang jauh lebih bagus ketimbang musim sebelumnya.
Beberapa parameter lain pun menunjukkan hal senada. Misalnya, urusan penguasaan bola. Rata-rata penguasaan bola Juventus musim lalu mencapai 54,9 persen. Jika diperingkatkan, perolehan itu hanya hanya berada di peringkat keempat—masih kalah dari Inter, Napoli, dan Atalanta. Sedangkan pada musim ini rataan Juventus naik menjadi 56,3 persen dan berada di posisi kedua setelah Napoli.
Pada musim ini, Juventus juga lebih tajam di depan gawang lawan. Hingga liga memasuki pekan ke-36, Juventus berhasil mencetak 75 gol. Secara statistik, artinya mereka mampu mencetak rata-rat 2,1 gol per pertandingan. Sedangkan pada musim lalu, Juve hanya mampu mencetak 70 gol dalam seluruh pertandingan atau rata-rata 1,8 gol per pertandingan.
Apakah hitung-hitungan statistik nirkonteks itu mampu membuktikan bahwa Sarri mampu membuat Juventus tampil meyakinkan?
Abhishek Amol Mishra dalamJuventus Offensive Structural Dilemmamenjelaskan bahwa Juventus sebetulnya punyai banyak kendala dalam membangun serangan. Alih-alih mampu menyerang secara dinamis dan kohesif, para pemain Juventus bahkan seringkali kesulitan untuk sekadar mengalirkan bola ke lini depan. Penyebabnya, menurut Mishra, terang belaka: pendekatan taktik Sarri.
Selain memainkan formasi 4-3-3 (17 kali), Sarri juga sering menerapkan formasi 4-3-1-2 (15 kali). Formasi itu bertujuan untuk mengoptimalkan peran Ronaldo dan Paulo Dybala di lini depan dengan Federico Bernardeschi atau Gonzalo Higuain sebagai pendukungnya. Sementara posisi penyerang tengah sering diisi Ronaldo, Higuain, dan Dybala, posisi penyerang lubang lebih sering dimainkan oleh Bernardeschi.
Dengan formasi itu Sarri ingin Juventus bermain cair, tapi hasilnya justru sebaliknya. Juventus hampir selalu bermain kaku dengan tempo yang sangat lambat.
Masih menurut Mishra, salah satu penyebab permainan lambat Juventus adalah sering berjubelnya pemain Juve di lini tengah. Itu membuat opsi umpan jadi terbatas karena terkadang tiga bahkan sampai empat orang pemain Juventus berdiri sejajar—di satu garis vertikal atau horisontal—dengan jarak berdekatan. Formasi itu seringkali juga bikin pemain kesulitan memindah bola dari satu sisi ke sisi lainnya.
Selain itu, pendekatan ini menjadi kian rumit karena Sarri membatasi pergerakan kedua full-back Juventus. Saat menyerang, duet full-back Juventus yang biasanya dihuni Juan Cuadrado dan Alex Sandro, tak boleh banyak bergerak ke depan demi menjaga kedalaman. Bahkan, salah satu di antara mereka tak jarang bergerak ke tengah lapangan, berperan sebagai inverted wing-back.
Sebagai gantinya, Sarri menugaskan dua penyerang tengahnya untuk lebih sering bermain melebar. Selain untuk menjaga sisi lapangan, pergerakan tersebut juga dimaksudkan untuk memberi ruang kepada pemain tengah agar mau muncul dari lini kedua. Namun, dalam posisi inilah serangan Juventus setidaknya menemui dua kendala besar.
Pertama, saat dua penyerangnya bermain melebar, Juventus seringkali kalah jumlah pemain di daerah pertahanan lawan. Hal ini membuat umpan-umpan pemain tengah sering mampat di daerah sepertiga akhir.
Kedua, dua penyerang tengah Juve di sisi lapangan juga amat jarang mendapatkan dukungan—terutama dari kedua full-back mereka. Maka, ketika mereka tak punya kesempatan melakukan penetrasi langsung ke kotak penalti lawan, tak jarang bola dioper kembali ke belakang dan memperlambat tempo permainan.
Dengan pendekatan seperti itu, Juventus kemudian hanya mampu mencetak 40 gol dari situasi open-play—raihan yang sedikit lebih jelek ketimbang musim sebelumnya. Si Nyonya Tua bahkan hanya berada di peringkat ketujuh Serie A dalam soal torehan gol ini. Ia kalah dari Atalanta, Sassuolo, Inter, hingga Napoli.
Saat publik sepakbola Italia menilai bahwa permainan Juventus membosankan, mereka punya alasan masuk akal: selain melalui serangan balik (6 gol), sebagian besar gol Juventus tersebut seringkali lahir lewat aksi individu Ronaldo, Dybala, dan Higuain. Hingga Februari 2020, sekitar 84 persen gol Juventus dicetak oleh ketiga pemain tersebut.
Masalah Struktural
Terlepas dari kendala-kendala itu, Sarri mempunyai alasan masuk akal soal pilihan taktiknya. Dia tahu bahwa pemain-pemain depan Juventus—seperti Ronaldo, Higuain, dan Dybala—gagap dalam melakukan melakukan pressing. Itu sebabnya dia memainkan jenis four-band system (4-3-1-2, 4-1-4-1, 4-2-3-1, dan lain-lain) yang dinilainya bisa mempermudah Juve dalam bertahan.
Setidaknya, saat bermain dengan formasi tersebut, mereka hanya kebobolan 16 gol dalam 15 laga. Sedangkan saat bermain dengan formasi 4-3-3, Juventus kebobolan empat gol lebih banyak.
Contoh kinerja buruk Juventus saat bertahan dalam formasi 4-3-3 terjadi dari pekan ke-30 hingga pekan ke-35. Dalam periode tersebut—menghadapi AC Milan, Atalanta, Sassuolo, Lazio, serta Udinese, anak asuh Sarri kebobolan 12 gol atau hampir sepertiga jumlah gol yang disarangkan lawan ke gawang Juventus dalam semusim. Dari 12 gol tersebut, hampir semuanya mempunyai ciri seragam: lini pertahanan Juventus tidak mendapatkan perlindungan yang baik.
Gol kedua Milan, misalnya. Saat itu gelandang Milan Franck Kessie muncul dari lini kedua dan Rodrigo Bentancur tidak melakukan track-back. Akibatnya, Juventus kalah kuantitas pemain dibanding Milan di dalam kotak penaltinya sendiri. Leonardo Bonucci, yang seharusnya menjaga Anto Rebic, lantas berusaha menutup ruang gerak Kessie. Namun, ia terlambat dan salah mengambil perhitungan.
Lain itu, masih ada gol kedua Atalanta yang dicetak oleh Ruslan Malinovsky: sebelum melakukan tendangan keras dari dalam kotak penalti, gelandang asal Ukraina tersebut berdiri bebas persis di depan kotak penalti.
Menilik proses gol-gol itu, Lorihanna Shushkova dari Total Football Analysis menilai bahwa Juventus sebetulnya mempunyai masalah struktural.
“Saat pemain bertahan berhasil dieksploitasi lawan, hal tersebut biasanya terjadi karena komunikasi yang buruk antara pemain bertahan dan pemain-pemain yang berada di depannya. Pemain tengah seharusnya ikut mundur untuk menjaga kedalaman, tapi pemain-pemain tengah Juventus tidak melakukannya. Mereka seharusnya sadar bahwa unggul kuantitas pemain adalah salah satu hal mutlak dalam seni bertahan,” tulis Shushkova.
Meskipun demikian, keberhasilan Sarri bersama Juventus jelas patut dirayakan. Terlepas dari penampilan Juventus yang belum meyakinkan, Sarri setidaknya mampu beradaptasi sekaligus menerapkan taktik alternatif sehingga timnya berhasil menyabet scudetto yang ke-9 secara beruntun. Terlebih, gelar juara itu dirainya di tengah gempuran kritik yang nyaris tanpa jeda di musim pertamanya melatih.
Namun Mishra tak luput mengingatkan. Di bawah Sarri, tulis Mishra, “Juventus bukan sepenuhnya tim cacat […] Namun, jika tidak segera melakukan perubahan, Sarri bakal lebih sering menemui masalah ketimbang membuat Juventus meraih banyak gelar.”
Editor: Fadrik Aziz Firdausi