Menuju konten utama

Tantangan Maurizio Sarri Terapkan Sarri-ball di Juventus

Di Juventus, Maurizio Sarri akan mendapatkan dua hal yang sangat dia dambakan: waktu dan keleluasaan membangun skuat. Namun, hal ini harus dibayar target tinggi: menjuarai Liga Champions.

Tantangan Maurizio Sarri Terapkan Sarri-ball di Juventus
Mantan pelatih kepala Chelsea yang kini melatih Juventus, Maurizio Sarri merokok di bangku cadangan setelah memenangkan pertandingan final Liga Eropa antara Chelsea vs Arsenal di stadion Olimpiade di Baku, Azerbaijan, Kamis, 30 Mei 2019. Chelsea menang 4-1. Darko Bandic / AP

tirto.id - Pep Guardiola dan Jurgen Klopp telah membuktikan bahwa untuk sukses sebagai manajer di klub Inggris, seseorang butuh dua hal sekaligus: waktu dan uang.

Klopp butuh waktu empat musim dan belanja pemain sampai 442,6 juta euro untuk mengantarkan Liverpool juara Liga Champions 2018/2019. Sementara untuk merengkuh dua gelar Premier League dan rekor poin beruntun di Manchester City, Guardiola perlu durasi tiga tahun serta belanja pemain dengan nominal tak kalah fantastis, 538,7 juta euro.

Di Chelsea, Maurizio Sarri tidak mendapat perlakuan serupa. Belum genap semusim melatih klub berjuluk the Blues, berbagai kabar tak sedap merisaknya. Mulai dari tuntutan suporter untuk tampil lebih konsisten, konflik dengan para pemainnya sendiri, sampai kabar keretakan hubungan dengan investor terbesar klub, Roman Abramovich.

Maka, usai merengkuh trofi Liga Eropa bulan lalu, bukan hal yang mengejutkan kalau Sarri ‘jual mahal’. Dia secara intens menebar kode bakal meninggalkan jabatan kepala pelatih secepat mungkin, apalagi Chelsea juga terkena larangan transfer pemain selama dua bursa transfer ke depan.

Kode-kode itu akhirnya menemui jawaban, Ahad (16/6/2019) malam waktu Indonesia, saat laman resmi Chelsea mengumumkan Sarri tidak akan lagi duduk di bench the Blues per musim depan.

“Dalam negosiasi usai final Liga Eropa, Maurizio [Sarri] menyatakan dengan jelas betapa dia ingin kembali ke negara asalnya, menjelaskan bahwa alasannya ingin kembali ke Itali sangat kuat,” tutur direktur Chelsea, Marina Granovskaia.

Pada hari yang sama, klub asal Italia, Juventus menimpalinya dengan pengumuman tidak kalah mengejutkan. Si Nyonya Tua memastikan status pengangguran Sarri cuma bertahan beberapa menit. Per musim 2019/2020, juru taktik kelahiran Naples itu bakal menjadi kepala pelatih Cristiano Ronaldo dan kawan-kawan.

“Sekarang, Maurizio Sarri telah pulang ke Italia, tempatnya menghabiskan sebagian besar waktu melatihnya. Dan mulai hari ini, dia akan mengambil alih kepemimpinan di Juventus dengan kontrak sampai 30 Juni 2022,” tulis Juventus dalam rilis resminya.

Di Juventus, Sarri hampir pasti akan memperoleh dua hal yang selalu dia dambakan: waktu dan kebebasan merekrut pemain. Setidaknya jaminan untuk itu ada jika mempertimbangkan rekam jejak Juventus dalam memperlakukan para pelatihnya. Massimiliano Allegri misalnya. Ia diberi waktu lima musim kendati tak mampu meraih gelar bergengsi Eropa. Setiap musimnya, bos Juventus, Andrea Agnelli juga terkenal sebagai pemilik yang royal menggelontorkan dana untuk memboyong pemain bintang.

Namun, tawaran menggiurkan ini harus dibayar Sarri dengan target tak kalah tinggi pula: menjadi juara Liga Champions.

Mengembalikan Sarri-ball pada Kedudukannya

Sarri memang belum pernah menjuarai Liga Champions. Bahkan trofi Liga Eropa musim ini merupakan gelar bergengsi pertamanya sejak menjadi pelatih di divisi teratas sepakbola Eropa. Kendati demikian, tanpa ragu-ragu Juventus tetap memilih mantan juru taktik Napoli itu. Alasannya sederhana: Sarri punya sesuatu yang tak dimiliki Allegri, sebuah idealisme sepakbola bernama Sarri-ball.

Sarri-ball punya karakteristik yang begitu unik, mengalirkan bola-bola lewat transisi cepat secara vertikal dengan memanfaatkan celah-celah kecil, penempatan posisi pemain, serta umpan presisi. Menggunakan skema dasar 4-3-3, saat melatih Napoli, Sarri mengaplikasikan gaya ini dengan maksimal.

Namun, hal serupa tak terjadi di Chelsea. Selama menjadi juru taktik the Blues, Sarri punya segudang masalah yang bikin Sarri-ball bak dogma usang tanpa arah tujuan yang jelas. Awalnya playmaker yang didatangkan Chelsea dari Napoli, Jorginho sempat dijadikan kambing hitam oleh media-media Inggris atas kegagalan ini. Seiring berjalannya waktu, jelas sudah bahwa kendala yang membuat Sarri-ball tersendat ada di hampir semua lini, bukan semata salah Jorginho.

“Maurizio Sarri memiliki banyak masalah di Chelsea, baik dalam hal struktur maupun pemain, dan itu cukup menjelaskan mengapa Chelsea tidak bermain menjanjikan,” tulis pengamat sepakbola Tifo, Seb Stafford-Bloor.

Di lini pertahanan, kurang percaya dirinya David Luiz dan Anthony Rudiger dalam mengirim umpan vertikal jadi akar masalah. Alih-alih membentuk pola segitiga bersama kiper—Kepa Arrizabalaga—untuk menciptakan celah umpan kepada gelandang Jorginho, Luiz dan Rudiger kerap latah mengumpan bola ke samping (full-back) lebih cepat dari yang diharapkan Sarri. Terlalu banyak mengumpan secara horizontal padahal jelas berlawanan dengan prinsip dasar Sarri-ball.

Di lini tengah, masalah Sarri di Chelsea tak kalah pelik. N’Golo Kante yang pada awal musim sempat kesulitan memainkan peran baru sebagai gelandang box-to-box memang berhasil menyempurnakan koneksinya dengan Jorginho. Namun, satu gelandang lain dalam skema 4-3-3 Sarri—Matteo Kovacic atau Ross Barkley—tidak beradaptasi dengan baik.

Diplot sebagai gelandang paling agresif, Kovacic kesulitan menghilangkan kebiasaan lamanya saat menjadi gelandang tengah murni di Real Madrid. Kondisi ini pada akhirnya bikin Eden Hazard harus bekerja lebih keras, yang kemudian juga bikin peran Gonzalo Higuain atau Olivier Giroud sebagai juru gedor tak maksimal.

Kini di Juventus, Sarri punya peluang lebih besar untuk mengatasi masalah-masalah itu.

Di lini belakang, Leonardo Bonucci dan Giorgio Chiellini bukan duet yang buruk untuk melanjutkan tongkat estafet Sarri-ball. Keduanya punya ketenangan olah bola yang tidak perlu diragukan. Saking fasihnya mengontrol bola dan mendikte permainan dari belakang, oleh media-media Italia, Bonucci bahkan kerap diidentikkan sebagai seorang defensive playmaker. Soal tingkat presisi umpan, menurut hitung-hitungan Whoscored, Bonucci punya akurasi 87 persen, sementara Chiellini bahkan menyentuh 89 persen.

Di tengah, Sarri barangkali memerlukan satu rekrutan menjanjikan untuk memainkan peran Jorginho di Chelsea maupun Napoli. Namun, untuk urusan sisanya, tampaknya dia tidak perlu melakukan banyak bongkar pasang. Tak perlu diragukan bahwa Miralem Pjanic opsi yang jauh lebih menjanjikan ketimbang Kovacic atau Barkley, sementara peran N’Golo Kante bukan tidak mungkin diisi rekannya di Timnas Perancis, Blaise Matuidi ataupun rekrutan baru Si Nyonya Tua, Aaron Ramsey.

Soal urusan menyelesaikan peluang, Sarri juga akan dikelilingi opsi-opsi menjanjikan, mulai dari Cristiano Ronaldo, Paulo Dybala, Frederico Bernardeschi, sampai Mario Mandzukic.

Tugas Penting Sarri

Walau punya modal lebih menjanjikan, tak berarti tugas Sarri di Turin terjamin lancar. Langkah pertama—secara taktikal—yang harus dilakukan Sarri adalah meluruskan pola kerja pemain Juventus.

Semasa dilatih Allegri, selain 4-2-3-1, Si Nyonya Tua juga kerap mengandalkan 4-3-3 sebagaimana Sarri di Chelsea. Namun, di klub Sarri dan Allegri, cara kerja skema 4-3-3 mereka benar-benar berlainan.

Mantan pelatih Chelsea dan Juventus, Claudio Ranieri punya pengandaian yang bagus untuk membandingkan perbedaan Allegri dan Sarri. Menurut Ranieri, Allegri adalah pelatih yang memberikan kebebasan pada para pemainnya untuk bergerak dan bermain sesuai potensi mereka masing-masing.

“Saya dan Allegri adalah pelatih yang mirip. Dia memberi kebebasan pemain untuk mengorganisasi tim secara bebas, semodern mungkin,” tuturnya pada Football-Italia.

Sebaliknya, Sarri adalah tipikal pelatih yang cenderung menekan agar pemain tampil sesuai arahannya. Jika tidak, Sarri tak akan segan membangku cadangkan pemain tersebut dan menepikannya dalam proyeksi jangka panjang. Menurut Ranieri, meski punya perbedaan secara taktikal, Sarri adalah ‘kepala batu’ sebagaimana mantan pelatih Timnas Belanda, Rinus Michels.

“Tentu saja saya juga menyukai pendekatan Sarri. Dia selalu punya tujuan membuka jalan [secara vetikal] untuk menggerakkan bola menuju jalur terciptanya gol. Tentu saya menyukainya, sebagaimana saya mengagumi Rinus Michels. Sayang, mereka tidak memenangkan apa pun,” imbuhnya.

Jika ditarik ke titik saat ini, perbedaan itu berpotensi menimbulkan masalah pelik. Juventus adalah tim mewah yang dihuni segudang pemain bintang. Mengarahkan mereka agar bermain dan punya visi sesuai dengan isi kepala Maurizio Sarri bukanlah perkara mudah.

Kolumnis sepakbola Italia yang bekerja untuk ESPN FC, Paulo Bandini adalah sosok paling pesimistis terhadap penunjukan Sarri sebagai pelatih Juventus. Menurut Bandini, para pemain Juventus punya ego tinggi dan hal itu tidak akan sesuai dengan Sarri. Melihat rekam jejak konflik Sarri dengan pemain-pemain Chelsea, Bandini ‘meramal’ Sarri bakal kesulitan selama melatih Juventus.

“Dia sangat keras kepala dan punya fokus pada diri sendiri, itu tidak cocok dengan Juventus. Saya rasa dia akan berselisih paham dengan beberapa pemain, karena idealismenya [Sarriball] sulit diterapkan ketika bertemu banyak pemain hebat dunia,” ungkap Bandini.

Kendati demikian, Bandini tidak ingin mendahului takdir dan memvonis Sarri bakal gagal. Apalagi, pelatih-pelatih macam Pep Guardiola dan Jurgen Klopp telah membuktikan bahwa idealisme dan kemewahan skuat bukanlah dua hal yang mustahil untuk berbaur. Dan di atas semua itu, Sarri tetaplah prospek menjanjikan untuk Juventus.

“Kita tidak boleh melupakan betapa hebat perjalanannya dari seorang banker menjadi pelatih salah satu klub sepakbola tersukses di Italia. Dia meraih puncak kariernya dan saya pikir Sarri layak mendapatkan itu,” imbuhnya.

Baca juga artikel terkait LIGA ITALIA atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Abdul Aziz