tirto.id - Dalam sebuah wawancara pada 2014 lalu, Repubblica Sport, salah satu media asal Italia, bertanya kepada Maurizio Sarri: “Buku apa yang Anda baca?” Sarri, yang saat saat itu masih melatih Empoli, kemudian menjawab,”[Buku] Charles Bukowski, ia mempunyai gairah luar biasa.”
Sebelum menjadi penulis terkenal, karya-karya Bukowski hampir selalu ditolak oleh majalah, penerbit, hingga agen. Kata mereka, tulisan Bukowski sangat buruk, mentah, menjijikkan, juga bejat. Namun, saat label pecundang mulai menghiasi hari-hari penulis kelahiran Jerman tersebut, seorang editor dari penerbit independen ternyata mau menampung karya-karya Bukowski dengan satu syarat: penerbit itu tidak menjanjikan Bukowski banyak uang.
Bukowski yang masih bekerja di kantor pos menerima tawaran itu dengan senang hati. Katanya, ”Saya harus memilih satu dari dua pilihan – tetap bekerja di kantor pos dan menjadi gila... atau keluar dari Kantor Pos, mulai menjadi penulis dan kelaparan. Saya akhirnya memilih untuk menjadi kelaparan.”
Sejak saat itu, dimulai dengan novelnya yang berjudul Kantor Pos, Bukowski berhasil menulis enam novel lainnya dan ratusan puisi. Karya-karya Bukowsi ternyata lari manis, terjual sekitar 2 juta kopi. Reputasinya menanjak pesat, melebihi harapan orang-orang juga harapannya sendiri. Bukowski yang sebelumnya menjadi orang paling buruk untuk dimintai nasihat, kemudian menjadi contoh bagi orang Amerika kebanyakan: ia adalah seseorang yang selalu berjuang untuk meraih keinginannya, yang tidak pernah menyerah, hingga meraih keinginannya itu.
Kisah Bukowski tersebut ditulis Mark Manson dalam bukunya yang berjudul “The Subtle Art of Not Giving a F*ck, A Counterintiutive Approach to Living a Good Life”. Saat Maurizio Sarri memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan mapan sebagai seorang bankir pada 2002 lalu agar dapat fokus menjadi pelatih sepakbola, dengan caranya sendiri, ia seperti sedang mereka ulang kisah hidup salah satu penulis favoritnya tersebut.
Saat itu Sarri masih menjadi pelatih di level amatir. Saat keputusan itu diambil, ia mengatakan, “Saya akhirnya memutuskan untuk fokus pada dunia kepelatihan jika ingin meraih hasil.” Ia lalu menambahkan, “Saya bertekad untuk mencari nafkah dari gairah saya tentang sepakbola.”
Sekitar 13 tahun setelah memutuskan mencari nafkah dari sepakbola, Sarri menjadi pelatih Napoli, salah satu tim raksasa di Italia. Bekerja di klub asal kota kelahirannya itu selama tiga musim, meski belum menghasilkan prestasi yang menyenangkan, reputasi Sarri menanjak pesat. Kini ia terbang ke London, menjadi pelatih Chelsea, dan bersiap adu pintar dengan para pelatih terbaik di dunia, dari Pep Guardiola, Jose Mourinho, Mauricio Pochettino, hingga Juergen Klopp.
“Lima tahun lalu [2013] saya masih di Italia, di Serie B,” tutur Sarri, dilansir dari Telegraph. “Chelsea adalah salah satu klub paling penting, di liga paling penting di Eropa. Di Premier League terdapat pelatih-pelatih penting di Eropa, bahkan di dunia. Akan sangat menyenangkan bertanding melawan Guardiola, Pochettino, Mourinho, dan bertanding melawan Klopp. Saya ingin bertanding di Stamford Bridge; bagi saya itu adalah sebuah mimpi.”
Pelatih Revolusioner
Saat Manchester City akan menjamu Napoli dalam gelaran Liga Champions Eropa pada 18 Oktober 2017 lalu, Pep Guardiola tak bisa menyembunyikan antusiasmenya. Kepada para wartawan dan para penggemar City, ia memberi pesan bahwa mereka harus datang ke pertandingan untuk menyaksikan tontonan luar biasa. Alasannya, City dan Napoli mempunyai gaya main yang sama: high pressing, selalu menginginkan bola, umpan-umpan pendek, dan mempunyai lini depan yang dinamis.
Oh, satu alasan lagi: Guardiola akan menghadapi Maurizio Sarri, seorang pelatih yang sangat ia dambakan.
Dalam pertandingan itu, City dan Napoli benar-benar bermain luar biasa. Pada awal-awal laga, City terlihat akan menang besar. Raheem Sterling dan Gabriel Jesus sudah membuat City unggul 2-0 pada 13 menit pertama. Dua-duanya berkat serangan super cepat. Meski begitu, pemain-pemain Napoli tak terlihat panik. Mereka terus memainkan gaya kesukaan mereka: terus menekan, menekan, dan menekan saat kehilangan bola.
Berkat kemampuan mengumpan Ederson, City tampak baik-baik saja dengan tekanan pemain-pemain Napoli. Mereka terus memainkan umpan-umpan pendek di tengah-tengah serbuan anak-anak Naples. Namun, mereka mulai kesulitan mengumpan ke depan. Umpan-umpan pendek yang mereka lakukan seolah tak ada artinya dan Napoli mulai menguasai jalannya pertandingan.
Pada babak kedua, pemain-pemain Napoli gantian mempermainkan pemain-pemain City. Saat anak asuh Guardiola terus memburu bolah seolah tidak akan menemu hari esok, pemain-pemain Napoli terlihat santai dalam memainkan umpan-umpan pendek -- mereka seperti sedang melakukan permainan “hide and seek”. Sayangnya, anak asuh Sarri tersebut kurang jeli dalam memanfaatkan peluang. Napoli, yang selama babak kedua berhasil unggul penguasaan bola [51,6% berbanding 48,4%], hanya mampu mencetak satu gol. Dengan susah payah, City pun menang 2-1.
Setelah pertandingan, Guardiola tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Ia mengatakan, “Hari ini kami menang melawan tim yang luar biasa dan untuk meraih kemenangan itu Anda juga harus tampil secara luar biasa. Jika kami tidak memainkan sepakbola pada level tertinggi, kami tidak akan memenangkan pertandingan.”
“Mereka merupakan tim terbaik yang saya hadapi, yang membuat saya merasa bangga setelah mengalahkan mereka. Ini adalah kemenangan sempurna. Adalah mustahil untuk mengalahkan mereka jika kami tidak tampil bagus, kami berhasil melakukannya, dan saya bahagia karenanya.”
Di bawah Sarri, Napoli memang terlihat seperti tim planet lain. Saat kebanyakan tim Italia masih menyembah dogma bahwa bermain bertahan adalah kunci kemenangan, Napoli berontak: mereka memilih untuk bermain menyerang. Saat tim-tim di Italia bermain dengan garis pertahanan rendah, Sarri justru membuat garis pertahanannya berada 40 meter di depan gawangnya. Untuk itu, selain Guardiola, pelatih-pelatih lainnya pun tak bisa menutupi kekagumannya terhadap Sarri.
Jauh hari sebelum Guardiola kagum terhadap Sarri, Arrigo Sacchi, pelatih legendaris AC Milan, sudah mengidolakannya.
“Saat Anda melihat tim asuhan Sarri bermain, Anda bisa tahu bagaimana cara mereka berlatih,” ujar Sacchi saat Sarri masih menjadi pelatih Empoli di Serie B. “Dia [Sarri] benar-benar jenius. Saat saya masih menjadi direktur teknik timnas Italia usia muda, saya selalu melihat para pemain muda di Serie B, dan saya langsung terkesan saat melihat Sarri melatih di Empoli. Dia benar-benar menjaga para pemain dan para pemain memahaminya.”
Setelah itu, pada tahun 2015 lalu, Sacchi pun merekomendasikan Sarri kepada Silvio Berlusconi, bos AC Milan. “Saya mengatakan kepadanya [Berlusconi]: ‘Silvio, jika Anda ingin mengulang kesuksesan Milan 25 tahun yang lalu saya akan memberikan satu nama kepada Anda [Sarri]. Orang itu tidak akan menghabiskan uangmu, tapi dia adalah pelatih yang Anda butuhkan [...]’,” ujar Berluconi, dilansir dari Marca.
Sayangnya, saran itu tidak diterima oleh Berlusconi dan kelak ia akan menyesalinya.
Fabio Capello, mantan pelatih Milan, tak kalah gamblang dari Sacchi dalam memberikan pujian. Saat ia menghadiri konferensi pelatih di Amerika Selatan, ia merekomendasikan kepada pelatih-pelatih asal Amerika Selatan untuk melihat secara langsung metode pelatihan Sarri.
“Ada sesuatu yang baru di dalam sepakbola karena Sarri. Sesuatu yang sangat menarik. Setelah Ajax [era Rinus Michels] ada era Sacchi di AC Milan, lalu ada Guardiola, yang membuat [revolusi taktik] sepakbola tertidur sebentar setelahnya. Hebatnya, Sarri membangunkannya lagi,” kata Capello.
Capello tidak sedang membual. Gaya bermain Napoli di bawah asuhan Sarri memang terkesan nyentrik di Italia, tetapi Sarri sebetulnya memang sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Saat masih menjadi pelatih Sansovino [saat itu bermain di divisi keenam liga Italia] pada tahun 2000 hingga 2003 lalu, ia mendapatkan julukan “Mister 33” dari pemainnya. Julukan itu datang karena Sarri melatih 33 cara untuk memanfaatkan situasi mati. Cara ini ia terapkan lagi saat melatih Empoli.
Bersama Empoli, selain melatih skema set piece, Sarri juga menerapkan metode latihan lain yang tak kalah unik. Untuk meningkatkan kinerja para pemain belakangnya, agar mereka mampu bergerak secara kohesif, ia menggunakan drone untuk merekam pergerakan mereka dari udara. Dengan begitu, ia dapat melakukan analisis lebih mudah.
Karena metode latihan Sarri tersebut, Empoli yang sebelumnya diprediksi akan kembali ke Serie B pada musim 2014-2015 pun berhasil bertahan di Serie A. Mengandalkan para pemain muda, Empoli finis di urutan ke-15 dan hanya kebobolan 52 gol, salah satu yang terbaik di antara tim-tim kecil Serie A lainnya.
Menyoal metode kepelatihan Sarri, Gianluca Vialli tak mau ketinggalan memuji pelatih berusia 59 tahun tersebut. Mantan pemain Chelsea itu mengatakan kepada La Gazetta dello Sport, “Datang ke Castelvortuno [tempat latihan Napoli] itu seperti datang ke Palo Alto [bagian dari Silicon Valley di Amerika]. Ada inovasi, ada kreativitas.”
Kemenangan Bukan Hal Utama
Saat Sarri pertama kali datang ke Napoli, Maradona, legenda Napoli, tidak yakin dengan kemampuan Sarri. Ia berpendapat, “Kita tidak akan menjadi pemenang dengannya [Sarri],” ujar Maradona. “Saya ingin Benitez bertahan. Sarri orang baik, tetapi dia tidak cukup bagus untuk Napoli.
Yang menarik, para penggemar Napoli pun setuju dengan pendapatnya. Mereka tidak bergairah menyambut pelatih barunya itu. Sarri bukan siapa-siapa, tak lebih dari seorang mantan bankir yang tak pernah menjadi pesepakbola profesional. Per Agustus 2015, tiket musiman Napoli terjual tidak seberapa, hanya sedikit lebih baik dari Carpi yang tiketnya terjual paling sedikit di Serie A.
Namun, di tengah-tengah lesunya para penggemar Napoli, Sarri ternyata berhasil membuat Napoli lebih gagah dari musim-musim sebelumnya: ia mengembalikan Napoli ke jajaran top liga Italia. Pada musim perdananya, Sarri membuat Napoli bermain atraktif, dan membawanya finis di urutan kedua. Setelah itu, lolos ke Liga Champions Eropa hal biasa. Sementara pada musim 2016-2017 Napoli finis di urutan ketiga, pada musim 2017-2018 Napoli nyaris menjadi juara; berada di urutan kedua, hanya terpaut tiga angka dari Juventus yang berhasil meraih gelar.
Berkat kinerjanya itu, gairah kembali memayungi para penggemar Napoli. Maradona pun menarik kata-katanya. Meski begitu, kritik Maradona sebelumnya ternyata ada benarnya: di bawah asuhan Sarri, Napoli tak pernah menjadi pemenang.
Sarri adalah seorang pelatih yang lebih mementingkan filosofi permainan daripada kemenangan. Asalkan timnya mampu bermain “indah”, baik saat kalah maupun menang, ia akan sama gembiranya. Komentarnya saat Empoli kalah dari Juventus pada 2015 lalu bisa menjadi bukti.
Saat itu, Sarri mengatakan, "Kami telah bekerja sama selama tiga tahun, sehingga kami telah memiliki identitas. Meskipun kami berakhir di posisi juru kunci, kami harus memainkan filosofi permainan kami sendiri." Tak heran saat ia mendapatkan gelar pelatih terbaik Serie A pada tahun 2017 lalu, para juri kemudian memujinya dengan meminjam kutipan dari Dostoevsky: “Keindahan akan menyelamatkan dunia.”
Namun, Sarri tentu tidak bisa bertingkah seperti itu di Chelsea. Roman Abramovic, bos Chelsea, tidak bisa menolelir kegagalan. Ia memang akan memberikan kesempatan kepada Sarri untuk membuat Chelsea bermain menyenangkan, yang mampu menghibur para penggemar Chelsea, Sarri, maupun bagi dirinya sendiri, tetapi dengan satu catatan: Chelsea harus selalu menang dan mampu meraih gelar.
Untuk itu, saat Sarri merokok seperti cerobong asap, Chelsea harus tetap melaju sekencang kereta.
Editor: Zen RS