Menuju konten utama

Conte yang Kotor, Guardiola yang Agung

Sebagai pemain, Conte dan Guardiola sama-sama bermain sebagai gelandang. Mengapa pendekatan Conte dan Guardiola berbeda saat melatih?

Conte yang Kotor, Guardiola yang Agung
Pelatih Chelseaa Antonio Conte (kiri) dan pelatih Manchester City Pep Guardiola.Clive Brunskill/Getty Images

tirto.id - Ketika diumumkan menjadi manajer Manchester City, sebagian besar penggemar sepak bola—tidak hanya fans City—menantikan bagaimana sepakbola Inggris akan disuguhi racikan atau resep ala Josep Guardiola.

Juara dengan cara fantastis ala Guardiola, siapa yang sudi melewatkannya?

Sayang, baru setengah musim kompetisi berjalan, Guardiola terlihat kesulitan menghadapi bola-bola udara di Inggris. Gerigi-gerigi taktiknya seperti kurang pelumas. Bola sudah dikuasai, jalur serangan sudah berpindah dari satu flank ke flank lain, tapi kenapa lawan mendadak begitu tangguh?

Kondisi yang berbeda terjadi di kota London. Dengan ekspektasi yang tidak berlebihan, Roman Abramovich menyambut kedatangan Antonio Conte dengan —dibandingkan Guardiola di City— biasa saja. Harapan sama besar, tapi tidak seberbunga-bunga atawa setinggi Guardiola di City.

Cukup juara saja, Conte. Tidak harus dengan cara-cara dahsyat.

Maklum. Tidak ada yang kelewat istimewa dari karier seorang Conte sebelum datang ke tanah Britania. Raja di Serie A Italia bersama Juventus tidak membuat namanya begitu seram. Bahkan dibandingkan Jurgen Klopp, nama Conte masih terbilang “hijau” dan biasa saja. Dia pelatih hebat di Italia, tapi di Eropa level reputasinya masih rata-rata.

Bandingkan dengan Guardiola sebagai jenius dari Barcelona. Menjuarai semua gelar dengan gaya yang memikat dan atraktif. Dibesarkan dan dididik langsung oleh Johan Cryuff membuat Guardiola percaya, tidak ada kemenangan tanpa penguasaan bola.

Sedangkan Conte lahir dari rahim yang sebaliknya. Dididik sepakbola khas Italia, cara bermain Conte tak ubahnya baju zirah bagi fantasista Zinedine Zidane di Juventus. Pertahanan adalah kunci semuanya. Tidak akan ada kemenangan jika gawang Anda kebobolan lebih banya dari lawan. Kendati sama-sama berkarakter defensif sebagai gelandang, namun gaya Guardiola lebih tenang, elegan dan kadang flamboyan.

Keduanya memang Dilahirkan dari kultur sepak bola berbeda (total football vs catenaccio). Hal yang kemudian—secara tidak langsung—bisa digunakan untuk membaca cara Guardiola dan Conte memahami sepakbola.

Pertemuan Regista yang Berkebalikan

Sebentar, sebelum melangkah lebih jauh, apa yang dimaksud dengan “regista”?

Secara sederhana, regista adalah sebutan khas untuk peran pemain dalam sepakbola. Peran yang sama saja dengan profesi sutradara dalam dunia film atau teater. Regista adalah penentu arah cerita film, pengatur jadwal pengambilan gambar, sampai penentu mau dibawa ke mana visi sebuah film akan diproduksi.

Regista merupakan sosok yang membawa peta lapangan permainan secara utuh di kepalanya, kakinya adalah petunjuk jalur termudah ke tujuan (baca: gawang lawan), dan gerakan tanpa bolanya adalah trik-trik sihir penuh tipu-tipu.

Gianni Rivera dan Johan Cryuff adalah nama teratas untuk memberi gambaran bagaimana seorang regista memimpin 10 orang rekannya bergerak menjadi satu tubuh di atas lapangan. Dan, puji Tuhan, keduanya pernah bertemu di lapangan yang sama dalam panggung paling bergengsi di Eropa. Final Piala Champions 1969 antara AC Milan melawan Ajax Amsterdam.

Pada masa itu, sebagai sesama regista, Rivera dan Cryuff, punya posisi yang mirip. Keduanya berada di belakang penyerang utama tim, kita lebih familiar dengan istilah trequastita saat ini. Distributor lapangan tengah ke depan yang—awalnya—merupakan habitat asli seorang regista.

Peran regista di Italia seperti Rivera kemudian ditelan sejarah karena gaya bermain dengan tekanan yang lebih tinggi mulai berkembangan pada periode akhir 1980-an sampai pertengahan 1990-an. Bahkan, saat menghadapi Cryuff di Final Piala Champions, embrio dari gagasan bahwa regista tidak masalah berdiri di garis pertahanan sendiri sedikitnya sudah bisa terlihat.

Sebagai orang Italia tulen, Rivera tidak keberatan jika harus ikut bertarung di posisi tidak idealnya. Ia rela melakukannya karena lawan yang ia hadapi adalah seorang Cryuff, regista dan fantasista terbaik yang pernah ada dalam sejarah.

Sayangnya, tidak seperti Rivera yang rela bergelimang lumpur, Cryuff mana sudi melakukan hal yang sama seperti Rivera. Alih-alih ikut bertahan, Cryuff malah memimpin anak-anak asuh Rinus Michel ini untuk semakin menaikkan lini pertahanan. Menekan habis pertahanan Milan dengan begitu dahsyat.

Hal yang kemudian membuat “lahan bermain” Rivera jadi begitu luas dan—sebaliknya—mempersempit ruang bagi seorang Cryuff karena di hadapkan pada hampir semua pemain Milan.

Skor 4-1 untuk kemenangan Milan menunjukkan sebuah pertandingan bisa benar-benar hanya ditentukan bagaimana pertarungan antar regista menentukan hasil akhir pertandingan. Dan bisa menjadi pelajaran, bahwa tidak selamanya sering membawa bola itu bagus.

Sekalipun berhasil mengalahkan Cruyff, nama Rivera memang masih tidak bisa dibandingkan dengan kebesaran nama seorang Cryuff. Namun sebagai seorang regista, Rivera membawa perubahan besar di Italia dalam mengembangkan gagasan pentingnya kaitan antara peran dan posisi dalam sepakbola.

Peran yang sempat hilang saat Arrigo Sacchi merevolusi sepakbola Italia dengan high pressure-nya pada periode 1980-an ke 1990-an. Sistem yang tidak mengakomodasi seorang “regista”, karena sistem Sacchi memaksa seluruh gelandang harus punya kemampuan ganda. Jago menyerang dan kuat bertahan sama baiknya. Sistem yang kemudian mengancam eksistensi regista dan menelannya menjadi sejarah.

Pada periode lanjutannya, muncul trequartista-trequatista terbaik dunia yang menggantikan peran regista di Serie A. Para fantasista flamboyan yang muncul pada sosok Diego Maradona, Roberto Baggio, Fransesco Totti, Rui Costa, sampai Zinedine Zidane. Sosok yang mampu menghasilkan umpan-umpan brilian di barisan depan atau kadang muncul sendirian sebagai pemecah kebuntuan.

Para trequartista ini semakin membuat Italia tidak lagi membutuhkan regista. Gelandang-gelandang pelindung dengan fisik kuat lebih dipilih. Totti bermain dengan perlindungan Eusebio di Fransesco, Damiano Tomassi, dan Emerson. Zidane dilindungi Conte, Edgar Davids, dan Didier Deschamps.

Tugas trequartista tidak sekompleks regista, itulah kenapa posisi mereka jauh di depan dan jarang melakukan build-up dari bawah. Situasi ini tidak berubah sampai kemudian datanglah Carlo Ancelotti dengan ide brilian yang diejawantahkan melalui sosok Andrea Pirlo.

Andrea Pirlo adalah penjelasan, bahwa ada perbedaan besar antara peran dan posisi dalam sepakbola Italia. Berada di posisi gelandang bertahan, peran Pirlo malah jauh dari peran pertahanan. Dalam sepakbola modern yang membuat lapangan tengah begitu penuh, sangat sulit menjadi regista yang mengatur permainan dalam kepungan lawan begitu banyak.

Pada akhirnya, daripada memaksakan mengatur dari posisi itu, Ancelotti menggeser sang “sutradara” keluar dari medan pertempuran di lapangan tengah. Dari posisi luar itulah kemudian Pirlo menjadi jenderal permainan Milan yang begitu digdaya sejak periode 2000-an. Antonio Conte kemudian melanjutkan fungsi Pirlo sebagai regista yang bekerja di luar medan pertempuran bersama Juventus.

Ball Playing Defender dan Keberhasilan Conte

Sadar bahwa sebentar lagi pemain seperti Pirlo atau Xavi Hernandez tidak akan punya tempat lagi bagi sepakbola modern yang menuntut kemampuan kompleks seorang pemain, Guardiola dan Conte merevolusi ulang pemahaman Ancelotti bahwa regista harus dibawa keluar lagi dari medan pertempuran agar bisa tenang bekerja.

Akhirnya muncullah dua nama ini: Jarome Boateng di Bayern Munich dan Leandro Bonucci di Juventus. Dua ball playing defender yang dikembangkan untuk mampu mengkreasi permainan dari posisi jauh di belakang. Lebih jauh ke belakang dari posisi Pirlo.

Sebelum nama Boateng muncul, Guardiola memang sudah berhasil mengembangkan kemampuan Gerard Pique sebagai pemain bertahan yang mampu melakukan build-up. Gejala yang tidak hilang saat Guardiola ke City dan menuntut visi pemain bertahan dengan membeli mahal John Stones dari Everton untuk mengisi peran dan posisi itu. Sayangnya, Stones sampai sekarang belum memenuhi ekspetasi Guardiola.

Infografik Rekor Kekalahan City & Guardiola

Hal berbeda dilakukan Conte. Karena kesulitan mendapatkan Bonucci, Conte lebih sanggup beradaptasi dengan menyambut kembali kepulangan David Luiz. Pemain yang sempat dianggap habis karena terlalu agresif dan sering kecolongan, disulap Conte jadi bek tengah sekaligus berperan sebagai gelandang bertahan.

Peran ganda yang sampai saat ini dijalankan dengan sempurna oleh Luiz. Conte paham betul berbahayanya Luiz jika diposisikan di area paling belakang. Maka meskipun secara posisi berada di bek tengah, daerah operasi David Luiz adalah bersama N’golo Kante dan Najema Matic di area sedikit tengah.

Itulah yang kemudian membuat posisi Cecs Fabregas sedikit demi sedikit tergusur. Conte sadar, di Inggris mencoba mengontrol pertandingan tidak harus dengan membawa bola terlalu sering. Karena sepengalamannya di Italia, fungsi utama sebuah taktik bisa berjalan adalah bukan saat bola berhasil dikuasai secara terus-menerus, melainkan saat taktik lawan bisa dikendalikan. Baik saat menguasai bola maupun tidak.

Sebagai sesama orang Italia yang mampu beradaptasi dengan situasi tidak bersahabat, Conte sama saja seperti Rivera. Rela melakukannya dengan berlumpur-lumpur untuk mengalahkan lawan.

Sedangkan Guardiola?

Sebagai murid Cruyff yang agung, mana sudi dia melakukannya. “Anda tahu kenapa? Karena dalam tujuh tahun terakhir, saya berhasil memenangi 21 gelar,” kata Guardiola mulai menggali kuburannya sendiri.

Baca juga artikel terkait CHELSEA atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Olahraga
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS