Menuju konten utama

Apakah Anda Kurang Piknik, Tuan Jose Mourinho?

Mourinho yang juara tidak pernah mempermalukan para pemainnya di hadapan khalayak. Ia selalu melindungi timnya dari ekspos media berlebihan, ia menjadikan dirinya sebagai sasaran tekanan. Tapi akhir-akhir ini, seperti di bulan-bulan terakhirnya yang remuk-redam di Chelsea, ia seperti kehilangan sesuatu yang elegan dalam dirinya.

Apakah Anda Kurang Piknik, Tuan Jose Mourinho?
foto/shutterstock

tirto.id - Alih-alih bersuka-cita, ia malah menunjukkan mood aneh di hari timnya memastikan gelar juara Liga Inggris 2014/2015. Di acara jumpa pers setelah kemenangan penting 1-0 Chelsea atas Crystal Palace pada 3 Mei 2015 itu, Jose Mourinho sama sekali tak terlihat seperti merayakan sesuatu.

"Bagi saya," katanya, seperti menggerutu, "Saya bukanlah orang paling pintar dalam memilih klab atau negara. Saya bisa saja memilih klab lain di negara lain di mana menjadi juara jauh lebih mudah."

Ia tidak menyebutkan siapa yang dimaksud. Tapi semua wartawan yang hadir di sana paham, ia sedang menyerang Joseph Guardiola yang pada 2013 bergabung dengan superklab Jerman, Bayern Muenchen, di mana tantangannya bukan "Siapa yang akan menjuarai liga?" melainkan "Berapa gelar juara yang bisa diraih Pep bersama Bayern?".

"Saya berani ambil risiko," lanjutnya. "Saya sangat, sangat, sangat senang saya meraih lagi gelar Liga Primer sepuluh tahun setelah gelar pertama saya. Saya juara di setiap klab yang saya latih. Saya datang ke Inter [Milan], Real Madrid, dan Chelsea untuk menjadi juara. Setiap gelar penting. Di Spanyol 100 poin yang saya raup mengalahkan tim terbaik Barcelona merupakan prestasi besar yang sangat saya nikmati."

Pada 2008, ketika mencari pelatih pengganti Frank Rijkaard, CEO Barcelona ketika itu, Ferran Soriano, dalam bukunya The Ball Doesn't Go In by Chance, menjelaskan pilihannya ada dua: antara Guardiola atau Mourinho. Pengalaman Guardiola masih sangat minim, ia baru semusim bertanggung jawab melatih Barcelona yunior. Sementara Mourinho telah memenangkan gelar liga di Inggris dan Portugal, serta meraih trofi Liga Champions bersama Porto. Namun Barcelona akhirnya lebih memilih Guardiola, alasannya untuk mempertahankan filosofi sepakbola mereka dan agar tidak terseret dalam berbagai skandal dan keributan di media.

Keputusan itu terbukti benar, Guardiola memenangi tiga gelar liga berturut-turut dan dua Liga Champions.

Mourinho hijrah ke Inter Milan dan memenangkan dua gelar Serie A berturut-turut. Dan yang lebih signifikan, pada 2010, ia memenangkan Liga Champions dengan mengalahkan Guardiola Barcelona di semifinal.

Laga keduanya di Camp Nou pada leg kedua semifinal tersebut, menampilkan kinerja defensif luar biasa dari Inter. Hanya dengan 10 pemain selama lebih dari satu jam, mereka terus menahan gempuran Lionel Messi dkk dan hanya kalah 1-0 sehingga menang agregat 3-2. Mereka lolos ke babak final walaupun hanya mencatatkan 19% penguasaan bola, lalu menjadi juara.

Pertandingan itu, menurut ahli taktik Jonathan Wilson, merupakan salah satu laga paling berpengaruh abad ini. Ia menunjukkan bahwa Barcelona bisa dikalahkan, menawarkan templat bagaimana menggagalkan serangan bertubi-tubi tim Guardiola. Ia juga menunjukkan garis batas yang terang bagaimana penguasaan bola radikal ala Guardiola dan anti-penguasaan bola radikal yang dikembangkan Mourinho bertarung. Mourinho seolah-olah mendefinisikan dirinya sebagai musuh abadi dari tradisi Barcelona: klub yang telah menolaknya, dan pada gilirannya Mou juga menolak filsafat bola mereka.

Karena keberhasilan Inter, Presiden Real Madrid Florentino Perez membujuk Mourinho untuk bergabung ke Santiago Bernabeu pada musim berikutnya. Perseteruan Mou dan Pep terus memanas. Laga keduanya selalu diwarnai macam-macam pelanggaran, diving, saling jegal, pertengkaran, dan segenap upaya mempengaruhi keputusan wasit.

Mou sepertinya masih menyimpan dendam kesumat untuk Pep.

"Mungkin di masa depan saya harus lebih pintar memilih klab lain di negara lain di mana semua orang bisa juara," ujarnya, meneruskan gerundelan. "Mungkin saya akan pergi ke sebuah negara di mana seorang pegawai bengkel bisa menjadi pelatih dan memenangkan liga. Mungkin saya harus lebih pintar, tapi saya masih menikmati tantangan-tantangan di sini. Saya pikir saya berada di tempat yang tepat. Saya di sini sampai Abramovich menyuruh saya pergi."

Ini aneh bahkan untuk standar Mourinho. Mengapa seorang pelatih yang baru saja mengangkat trofi lebih memilih merendahkan rivalnya, yang melatih di negara lain? Untuk apa pula mengucapkan "di sini sampai Abramovic meyuruh pergi?" Ia lebih terdengar seperti pecundang bermulut besar daripada reputasinya sebagai pelatih hebat yang suka ceplas-ceplos.

Apakah Anda kurang bahagia, Tuan Mou?

Apa yang terjadi setelah itu benar-benar menjadi bencana. Mourinho seperti kehilangan semua fitur terbaiknya sebagai pelatih hebat. Juara bertahan Chelsea tampil seperti mobil bekas yang hobi mogok tanpa aba-aba, menelan kekalahan demi kekalahan memalukan, ruang ganti tidak kondusif lagi, Mou mulai serang sana serang sini. Tidak seperti biasanya, yang selalu melindungi anak-anak asuhnya, Mou mulai menyalahkan para pemainnya.

Pada 17 Desember 2015, ia dipecat dari kursi kepelatihan Chelsea.

Harapan barunya tumbuh pada awal musim 2016/2017, ia kembali ke panggung sepakbola yang mewah, ditunjuk sebagai pelatih Manchester United menggantikan Louis van Gaal. Semuanya berjalan baik, ia membawa timnya memenangi tiga laga pembuka. Sampai kemudian ia harus menghadapi musuh lamanya, Pep Guardiola.

Pada 10 September 2016, timnya dikalahkan di kandang sendiri, di Old Trafford, dengan skor 1-2 oleh Manchester City asuhan Guardiola. Kekalahan ini seperti begitu membekas, di dua pertandingan berikutnya, anak-anak asuh Mou lupa cara memenangkan laga. Melawan Feyenoord di fase grup Liga Eropa (16/9) mereka kalah 0-1, berikutnya takluk di Liga Inggris melawan tim kecil Watford dengan skor 1-3.

Ini kekalahan tiga kali berturut-turut pertama Mourinho dalam 14 tahun. Terakhir ia mengalaminya di musim pertama bersama Porto pada 2002, itu pun dua di antaranya di tangan tim besar Real Madrid di Liga Champions. Catatan ini sekaligus merupakan rekor awal musim terburuknya sejak meniti karier sebagai pelatih di União de Leiria pada 2001.

Lagi-lagi Mourinho menyalahkan anak asuhnya. Menyusul kekalahan dari City, ia mengatakan: "Beberapa pemain terlalu terbebani dimensi pertandingan. Semuanya—derbi, Man United, Man City, sorot kamera, ribuan pasang mata." Ia kemudian mempermasalahkan penampilan dua bek tengahnya, Eric Baily dan Daley Blind yang memang melakukan beberapa kesalahan fatal.

"Beberapa pemain mungkin merasakan tekanan dan tanggung jawab terlalu besar," katanya setelah kekalahan dari Watford. Ia menunjuk hidung bek kirinya, Luke Shaw, sebagai orang yang bertanggung jawab atas gol kemenangan Watford. Ini mengingatkan pada masa keruntuhan rezim kepelatihannya di Chelsea, ketika ia hobi sekali menyalahkan beberapa pemain.

Kritik pun mengalir. Tidak seharusnya seorang pelatih menumpahkan kekesalan kepada pemainnya di muka publik. Ia yang punya otoritas memilih pemain, berhak memarahi pemain mana pun di tempat latihan atau di ruang ganti, tidak perlu mempermalukan anak buahnya.

Tapi sepertinya Mourinho tidak suka semua kritik itu.

Ia menemukan momen untuk menampar para pengkritiknya setelah di EFL Cup Manchester United mengalahkan Northampton Town dari League One, liga kelas tiga di Inggris, dengan skor 3-1. "Saya kenal beberapa Einstein sepakbola—sepakbola saat ini dipenuhi Einstein. Saya tahu mereka mencoba menghapus 16 tahun karier saya," katanya di MUTV. "Mereka juga mencoba menghapus sejarah luar biasa Manchester United dan fokus pada pekan yang buruk dengan tiga hasil buruk. Begitulah sepak bola baru, dipenuhi Einstein."

Di satu sisi, tentu saja, José Mourinho benar. Satu pekan yang buruk, tiga hasil buruk, tidak bisa dibandingkan dengan sekujur kariernya yang fantastis. Tapi gaya Mourinho dalam menangani kritik belakangan semakin mengkhawatirkan.

Sebelumnya, di banyak kesempatan di masa jayanya, ia memang bisa terlihat lepas kontrol dan emosinya meledak-ledak, tapi kemudian kita paham itu adalah bagian dari strategi manipulasi. Mourinho yang juara selalu melindungi timnya dari ekspos media berlebihan, ia menjadikan dirinya sebagai sasaran tekanan. Dan ia selalu berhasil mengendalikan narasi media tentang dirinya dan timnya, dengan atau tanpa pernyataan pedas.

Tapi kali ini, seperti di bulan-bulan terakhirnya yang remuk-redam di Chelsea, ia seperti kehilangan sesuatu yang elegan dalam dirinya.

Baca juga artikel terkait JOSE MOURINHO atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Olahraga
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti