tirto.id - Dalam beberapa tahun terakhir, pertarungan di industri ponsel pintar semakin sengit. Semua pemain bersaing menggaet perhatian calon pembeli dengan beragam inovasi dan strategi pemasaran. Namun, di balik ketatnya persaingan, mereka tampaknya sepakat pada satu hal: kenaikan harga ponsel.
Awal Maret ini, Samsung meluncurkan seri flagship atau seri unggulan ponsel pintar mereka, yakni Samsung Galaxy S10e, S10, dan S10+ di Indonesia. Tidak ada yang sungguh-sungguh mengejutkan dalam acara peluncurannya. Seperti biasa, Samsung membanggakan kecanggihan ponsel-ponsel seri papan atasnya.
Kepala IT dan Pemasaran Produk Mobile PT Samsung Electronics Indonesia (SEIN) Denny Galant mengatakan ponsel pintar Samsung dilengkapi sejumlah fitur canggih. Tak hanya teknologi layar baru yang disebut Samsung sebagai infinity-O, seri ponsel tersebut juga dilengkapi sejumlah fitur canggih seperti pemindai sidik jari ultrasonik, fitur Wireless PowerShare, dan kemampuan kamera yang meningkat.
Namun, alih-alih terpukau dengan teknologi yang disematkan, saya tercengang oleh rentang harga yang dipatok Samsung. Varian termurah mereka S10e secara resmi dijual pada harga Rp10.499.000. Harga tersebut kemudian terus naik hingga Rp23.999.000 untuk varian tertingginya yakni S10+ dengan RAM 12GB dan memori 1TB. "Namanya juga S Series ... 'Sultan' series," canda teman saya.
Yang menarik, Denny mengatakan semua varian S10 telah terjual habis bahkan sebelum masa pre-order selesai. Sebagai catatan, masa pre-order varian Samsung S10 berlangsung dari 22 hingga 28 Februari 2019. Melihat tingginya permintaan, SEIN akhirnya membuka penjualan langsung perdana di tiga kota: Jakarta, Medan, dan Surabaya pada 8 hingga 10 Maret lalu.
Denny mengatakan hasil penjualan selama masa pre-order lebih baik dibandingkan dengan masa pre-order Galaxy S9. “Sampai satu setengah kali lipatnya,” sebut Denny dalam acara peluncuran Galaxy S10, Rabu (6/3).
Mengingat harga S10 yang ditawarkan lebih mahal dibandingkan S9, tentu saja hal ini cukup mengejutkan.
Alasan Klasik Komponen
Seperti dilaporkan BGR, menurut data kuartal III/2018 dari perusahaan tukar tambah ponsel AS HYLA Mobile Inc., orang menunggu lebih lama untuk meng-upgrade ponsel pintar mereka karena harga yang kian melambung.
Data HYLA Mobile menunjukkan rata-rata konsumen menunggu hingga 2,83 tahun pada 2018 sebelum mereka memutuskan untuk mengganti ponsel mereka. Angka tersebut naik dari 2,39 tahun pada 2016. Untuk pengguna iPhone, angka tersebut malah lebih tinggi lagi. Rata-rata konsumer iPhone menunggu hingga 2,92 tahun untuk meng-upgrade ponsel mereka.
Fenomena ini tidak muncul begitu saja. Para pelaku industri kerap beralasan bahwa harga ponsel pintar semakin mahal karena kian tingginya biaya komponen serta penelitian dan pengembangan untuk teknologi ponsel pintar itu sendiri.
Sebagaimana dilansir Wired, Apple, misalnya, mengeluarkan biaya produksi sebesar $43 untuk layar iPhone 7. Angka tersebut diperkirakan naik sebesar 60 persen untuk harga layar iPhone generasi setelahnya, iPhone 8 dan iPhone X.
Naiknya harga komponen ini kemudian berimbas pada bertambahnya kualitas dan masa pakai ponsel pintar tersebut. Orang bersedia mengeluarkan biaya lebih untuk ponsel pintar karena mendapat teknologi yang dapat dipakai lebih lama.
“Jika menilik jumlah penjualan kami, orang sepertinya paham barang yang bagus memang harus dibayar mahal,” ujar co-founder OnePlus Carl Pei.
Sebagai catatan, harga ponsel-ponsel pintar produksi OnePlus juga selalu naik tiap tahunnya. Harga OnePlus One (ponsel pertama produksi OnePlus) hanya sekitar $300 ketika diluncurkan pada 2014. Harga ponsel ponsel terbaru mereka, OnePlus 6T, dimulai dari $549.
Belum lagi biaya riset dan pengembangan teknologi. Penciptaan komponen layar yang dapat dilipat seperti pada Galaxy Fold dari Samsung tentunya membutuhkan biaya yang sangat mahal. Harga ponsel layar lipat Fold diprediksi akan mencapai sekitar $2.000.
Bukan Faktor Tunggal
Namun, kenaikan harga komponen sesungguhnya bukan faktor tunggal penyebab mahalnya ponsel pintar dalam satu dekade terakhir. Ada sejumlah faktor utama lainnya, termasuk usaha pelaku industri untuk mengeruk keuntungan di tengah semakin jenuhnya pasar ponsel pintar.
Dilansir Cnet, analis Creative Strategies Carolina Milanesi mengatakan ada elemen lain yang membuat harga ponsel melambung tak terkira: strategi marketing.
“BOM (Bill of Materials/Biaya Komponen) memang terus naik untuk perangkat-perangkat ini. Namun, saya pikir ada marjin premium yang diterapkan oleh sejumlah jenama untuk produk andalan mereka karena produk tersebut adalah simbol status,” sebutnya.
Apple dan Samsung memang tengah mengejar penjualan yang mulai stagnan sejak 2018 lalu. Namun, keduanya masih mampu mengambil keuntungan yang besar dari penjualan. Apple, misalnya, mampu menjadi perusahaan bernilai triliunan karena mampu mengambil marjin keuntungan penjualan melalui iPhone sebagai produk unggulan.
The Verge melaporkan, dengan stagnasi pasar yang ada, perusahaan-perusahaan ponsel pintar membutuhkan strategi penjualan yang dapat membuka pasar baru.
Contohnya Apple yang sempat mengalami penurunan penjualan pada 2016. Agar angka penjualan kembali positif Apple harus mengambil salah satu pilihan: menjual lebih banyak iPhone atau menjual iPhone dengan harga yang lebih mahal. Sebagai catatan, saat itu iPhone menyumbang sekitar 65 persen dari total penjualan Apple.
Pilihannya sudah terbukti, Apple menjual iPhone dengan harga lebih mahal dan memperluas cakupan pasarnya. Namun, untuk dapat menjual ponsel pintar dengan harga yang lebih mahal, dibutuhkan pula poin-poin penjualan yang dapat menarik perhatian pembeli. Di sinilah inovasi teknologi memegang peranan penting.
“Jika Anda menciptakan nilai yang cukup [dalam sebuah ponsel pintar], maka konsumen akan siap untuk membayarnya,” kata Justin Denison, SVP ponsel Samsung, Desember lalu, masih dari Cnet.
Tapi tak dapat dipungkiri bahwa Apple berperan penting mengerek harga ponsel pintar secara umum. Kepala Analis Riset CSS Insight Ben Wood mengatakan bahwa gelombang kenaikan harga ponsel secara signifikan dimulai sejak Apple menjual iPhone X seharga $1.000.
“Mereka membantu industri secara keseluruhan,” kata Wood. “[Tindakan Apple] memberi semua produsen lain ruang untuk bernapas dan saya bisa membayangkan ada kegembiraan di Samsung, Huawei dan [produsen] lainnya.”
Dus, ponsel pintar seharga $1.000 ke atas sekarang menjadi titik normal baru dalam industri ponsel pintar. Namun, konsumen sesungguhnya tidak terlalu membutuhkan segala teknologi fancy pada ponsel premium. Pada dasarnya, ponsel pintar dengan harga terjangkau saat ini sesungguhnya sudah cukup mampu menyokong segala aktivitas harian penggunanya dengan baik.
Sayangnya, konsumen dapat terjebak dalam situasi yang dilematis. Dengan kecepatan perkembangan teknologi yang terjadi saat ini, teknologi pada ponsel pintar kelas menengah akan lebih cepat usang sehingga masa pakainya lebih pendek. Terlebih, perangkat lunak teranyar jauh lebih ramah pada perangkat keras yang mumpuni.
Walhasil, apapun pilihannya, pada akhirnya konsumen tetap harus mengeluarkan uang lebih.
Editor: Windu Jusuf