Menuju konten utama

Mengapa Hampir Tidak Ada Masa Depan bagi Partai Masyumi Baru

Partai Masyumi baru dianggap tak punya masa depan. Mereka dinilai sulit memenuhi syarat administratif, apalagi menarik perhatian pemilih.

Mengapa Hampir Tidak Ada Masa Depan bagi Partai Masyumi Baru
Tasyakuran dan deklarasi kebangkitan Partai Masyumi yang diselenggarakan di Masjid Al-Furqon, Jakarta Pusat, Sabtu (7/11/2020). FOTO/Dokumentasi Panitia/Fitriah Abdul Aziz.

tirto.id - Sejumlah orang mendeklarasikan pendirian Partai Masyumi 7 November lalu. Cholil Ridwan, Ketua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Pendirian Partai Islam Ideologis (BPU-PPII), dalam deklarasi yang berlangsung secara virtual, mengatakan ia dan para pendiri "mendeklarasikan kembali aktifnya partai politik Islam Indonesia yang dinamakan Masyumi."

Deklarasinya dihadiri oleh Masri Sitanggang, Ketua Panitia Persiapan Pendirian Partai Islam Ideologis (P411); Abdullah Hehamahua yang pernah aktif di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); Amien Rais, pendiri Partai Aman Nasional (PAN) dan inisiator Partai Ummat; dan Bachtiar Natsir. Orang-orang ini kerap bersikap kontra terhadap pemerintahan Joko Widodo.

Masri Sitanggang, Bachtiar Natsir, MS. Kaban, hingga Ahmad Cholil Ridwan menjadi anggota Majelis Syuro Masyumi. Sementara Abdullah Hehamahua Ketua Majelis Syuro. Ahmad Cholil Ridwan bahkan menjadi anggota Dewan Pembina PP Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), sebuah organisasi Islam yang dibentuk dan diketuai pertama kali oleh Mohammad Natsir, elite Masyumi lama.

Cholil mengatakan Partai Masyumi, sebagaimana yang lama, akan berjihad demi terlaksananya ajaran dan hukum Islam. "Semoga Allah meridai perjuangan Masyumi hingga meraih kemenangan di Indonesia," kata Cholil.

Sejak didirikan pada 7 November 1945, Masyumi memang memiliki visi menerapkan ajaran dan hukum Islam. Dalam buku Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal Atas Konstituante 1956-1959, pengembangan dari disertasi ahli hukum Adnan Buyung Nasution, perwakilan Masyumi sempat mengusulkan konsep negara Islam lewat Konstituante yang ditugaskan merancang konstitusi baru. Badan ini akhirnya dibubarkan lewat Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 tanpa membuahkan hasil.

Di era Sukarno, Masyumi merasakan masa keemasan. Mereka berada di urutan kedua partai dengan pemilih terbanyak dalam Pemilu 1955. Di era Sukarno pula Masyumi mengalami perpecahan internal, salah satunya karena beberapa petingginya terlibat PRRI Permesta. Akhirnya partai ini dibubarkan Sukarno.

Ketika Soeharto jatuh dan era Reformasi bergulir, Masyumi disebut-sebut bangkit dari kubur lewat Partai Bulan Bintang (PBB). Tapi PBB gagal mengikuti jejak Masyumi. Pada Pemilu 1999, PBB hanya mendapatkan 13 kursi di DPR. Lima tahun berikutnya, jumlah kursi berkurang menjadi 11. Pada Pemilu 2009, suara mereka anjlok lebih dari satu juta sehingga tak lolos ambang batas parlemen. Situasi ini terus berlanjut hingga pemilu terakhir.

Ragam Masalah Partai Ideologi Islam

Membentuk apalagi membesarkan partai dengan basis agama, termasuk Islam, faktanya tidak mudah di Indonesia. Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra mengakui itu. "Membuat partai baru bagi saya sangatlah berat," kata Yusril merespons deklarasi Masyumi, Senin (9/11/2020).

Salah satu masalah utama partai berideologi Islam adalah kekurangan uang. "Yang punya dana besar itu para cukong, para pengusaha. Sepanjang pengalaman saya, tidak ada cukong dan pengusaha besar yang sudi mendanai partai Islam. Makanya, partai-partai Islam itu hidupnya ngos-ngosan."

Partai bisa saja didanai anggotanya sendiri, tapi menurutnya itu juga sulit. "Zaman sekarang sangat jarang ada anggota partai membayar iuran anggota seperti zaman dulu. Dunia sudah berubah," katanya.

Oleh karena itu meski mengaku menghormati segala macam usaha para pendiri Masyumi baru, ia mengingatkan Cholil dan para pendiri yang lain harus bekerja keras untuk membangun cabang-cabang di daerah dan merekrut anggota, "agar dapat disahkan sebagai partai yang berbadan hukum oleh Kemenkumham, lalu ikut verifikasi lagi oleh KPU untuk bisa atau tidak ikut Pemilu 2024." Selain perkara uang, juga kendalanya adalah pandemi COVID-19.

Ia lantas berefleksi dari situasi partainya sendiri yang menurutnya sulit dipertahankan meski "sudah menjangkau seluruh provinsi dan kabupaten/kota di tanah air." "Karena itu, saya justru berpikir bagaimana caranya partai-partai Islam yang ada ini dapat bersatu; memikirkan bagaimana caranya agar partai Islam ini tetap eksis di negara mayoritas muslim ini."

Hingga Selasa (10/22/2020) malam, salah satu anggota Majelis Syuro Partai Masyumi, MS. Kaban, tak merespons panggilan wartawan Tirto untuk dimintai penjelasan terkait partainya, termasuk apakah ia dan inisiator lain telah melakukan riset terlebih dulu untuk memetakan basis organisasi atau apakah mereka memiliki target pendukung khusus.

Peneliti politik Islam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati memprediksi Masyumi baru tak bakal punya masa depan, mirip seperti Partai Masyumi Baru yang muncul di Pemilu 1999 dan hanya mendapatkan satu kursi saja di DPR RI dan setelahnya tenggelam. Malah mungkin lebih parah karena sistem pemilu sekarang jauh lebih ketat dan kompleks ketimbang 1999.

"Saya pikir Masyumi yang sekarang tak jauh berbeda, mengingat kantong-kantong suara pemilih muslim sendiri terpecah antara ke kubu partai nasionalis—PDIP, Golkar, Gerindra—dan juga partai Islam seperti PKS dan PKB," kata Wasisto, Selasa sore. "Selain itu, perlu diingat Bung Karno membubarkan Masyumi juga karena isu separatisme. Hal ini tentu menimbulkan stigma kurang baik di mata pemilih."

Baca juga artikel terkait PARTAI MASYUMI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino