tirto.id -
Dalam wawancara kepada South China Morning Post, Susi mengatakan, Gellwynn merupakan pejabat yang meneken Memorandum of Understanding (MoU) dengan pemerintah Cina sebelum dirinya resmi berkantor di KKP pada Oktober 2014.
MoU itu pada dasarnya mengizinkan sekitar 1.000 kapal bertonase besar asal Cina untuk mengambil ikan di Indonesia dan menggunakan cantrang. Dampak MoU antara KKP dengan pemerintah Cina itu terlihat dari anjloknya hasil tangkapan nelayan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Nilai Tukar Nelayan (NLN) yang merupakan tolak ukur daya beli pekerja di sektor tersebut, sempat turun tajam dari sekitar 106 pada Oktober 2014 menjadi sekitar 102,5 di Desember 2014.
MoU yang diteken Gellwynn tentu bertentangan dengan kemauan Susi mencegah pencurian ikan dan pengerukan sumber daya laut oleh kapal asing.
Laut Indonesia, menurut Susi, tengah mengalami gejala overfishing karena praktik-praktik illegal, seperti pencurian ikan dan transshipment di tengah laut, penyelundupan benih lobster, hingga penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Ancaman tersebut dipicu kondisi sektor perikanan global, di mana beberapa negara mengalami penurunan stok ikan, pengurangan armada kapal penangkapan ikan akibat pembatasan pemberian izin penangkapan di tengah makin meningkat permintaan produk perikanan.
Data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menunjukkan, lebih dari sepertiga stok ikan komersial dunia berkurang dengan laju yang tidak berkelanjutan.
Cina, sebagai produsen ikan terbesar di dunia, ikut mengalami penurunan produksi dan karena itu terdorong untuk menangkap ikan di perairan jauh yang melampaui zona ekonomi ekskulisfnya (ZEE) sendiri.
Bahkan, kata Susi dalam sebuah diskusi bersama pemimpin media massa di Jakarta, cantrang yang digunakan telah dimodifikasi hingga jaringnya bisa direntangkan hingga puluhan bahkan ratusan kilometer, dan melampaui batas ZEE tersebut.
Lantaran itu, Susi menganggap bahwa sikap pelelangan kapal ikan ilegal bukan lah sikap umum pemerintah. Dalam wawancara eksklusif bersama Tirto, pada 1 Agustus 2017, ia bercerita bahwa penenggelaman kapal merupakan instruksi langsung dari Presiden.
Untuk dapat mengeksekusinya, Susi bahkan harus menunggu hingga reshuffle kabinet dilakukan dan Perpres 44 tahun 2016 keluar.
"Pak Presiden menyetujui. Tapi Presiden bilang tiga kali, belum ada yang mau nenggelamin kapal. Pak Presiden ngomel-ngomel, kan? Pidato: 'Saya sampai tiga kali perintahkan.' Kita rapat pagi, siang, malam, dengan panglima, polisi, semua," ucapnya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abullah mengatakan, sikap tegas yang telah dimulai oleh Susi Pudjiastuti wajib diteruskan karena dampaknya telah dirasakan oleh nelayan.
Sejak penenggelaman kapal dilakukan, NTN nelayan tampak membaik di kisaran 106 dan menyentuh pada Februari 2015. Meskipun sempat turun lagi selama Maret-Mei 2015, NTN nelayan terus mengalami tren kenaikan hingga 113,27 di 2018.
Dengan kata lain, nelayan semakin sejahtera meskipun posisinya tidak jauh dari ambang batas tidak sejahtera. “Dampaknya positif sekali, tangkapan nelayan bertambah. NTN itu naik,” ucap Rusli saat dihubungi reporter Tirto, Senin (25/11/2019).
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadlian Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan, Edhy tak boleh terus menunjukkan langkah mundur. Terutama dalam memilih staf atau pejabat yang bakal bekerja di bawah arahannya.Mencermati rekam jejak orang yang dipilih, menurutnya, penting jika Edhy ingin menghasilkan capaian lebih besar dari Susi. Jangan sampai, kata Susan, hal itu justru meperlemah kebijakan dan merusak capaian positif pemerintah di sektor perikanan sebelumnya.
Apalagi, sebelumnya Edhy sudah memutuskan untuk menghibahkan kapal pencuri ikan ketimbang menenggelamkannya, serta meninjau kembali pelarangan alat tangkap seperti cantrang hingga membolehkan kembali pertukaran muatan kapal di tengah lautan.
"Seharusnya dia tidak boleh ada pelemahan dalam proteksi laut. Kalau semua dilemahkan kita sudah tahu ini arahnya ke mana," ucap Susan.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana