Menuju konten utama

Edhy Rombak Kebijakan Susi: Disyukuri Pengusaha, Dicemaskan Nelayan

Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengubah menteri lama Susi Pudjiastuti. Susi dikenal melindungi nelayan dan sumber laut Indonesia.

Edhy Rombak Kebijakan Susi: Disyukuri Pengusaha, Dicemaskan Nelayan
Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo mengamati suasana Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta, Senin (28/10/2019). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.

tirto.id - Kurang dari sebulan usia Kabinet Indonesia Maju dibentuk, Edhy Prabowo, Menteri Kelautan dan Perikanan, langsung tancap gas. Politikus dari Partai Gerindra itu mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk lima tahun ke depan.

Namun, kebijakan Edhy rupanya disorot masyarakat. Ia justru merevisi sejumlah kebijakan yang dibuat oleh Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya Susi Pudjiastuti.

Kebijakan ini di antaranya menghibahkan kapal penangkap ikan ilegal yang disita kepada nelayan, yang berbanding terbalik dengan instruksi Susi, yakni menenggelamkan kapal penangkap ikan ilegal.

Kebijakan Susi lain yang direvisi Edhy adalah larangan penggunaan cantrang atau salah satu jenis alat penangkap ikan. Alasan Edhy mencabut adalah agar tidak ada kegaduhan.

“Semua alat tangkap yang menjadi pembicaraan menjadi dilema karena ada yang setuju dan ada yang tidak... bagaimana agar bisa ada jalan tengahnya,” kata Edhy, Kamis (14/11/2019).

Ada lagi terkait kebijakan batas minimal ukuran kepiting untuk ekspor.

Pada era Susi, ukuran kepiting yang diekspor harus memiliki berat minimal 200 gram. Rencananya, Edhy akan melonggarkan aturan ekspor itu.

Rencana Edhy sejalan dengan keinginan Menko Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang meminta benih lobster dapat diekspor tanpa harus menunggu 1 tahun budidaya.

Kebijakan reklamasi di Teluk Benoa pun tidak luput.

Pemilik Susi Air itu menolak reklamasi. Sementara Edhy ketika ditanya perihal reklamasi Teluk Benoa tampak tidak tegas.

Menurut Edhy, reklamasi Teluk Benoa akan diputuskan setelah ia bertemu dengan pihak terkait, termasuk Menko Luhut Pandjaitan yang menunjukkan gelagar ngotot mereklamasi Teluk Benoa.

“Nah, Teluk Benoa kembali kami lihat stakeholder-nya seperti apa. Masyarakat bagaimana? Kami enggak bisa paksakan," kata Edhy.

Disambut Baik Pengusaha

Lantas, apakah keputusan Edhy Prabowo merombak pelbagai kebijakan Susi itu sudah tepat?

Sekjen Asosiasi Tuna Indonesia Hendra Sugandhi menyambut baik pelbagai kebijakan Edhy tersebut. Menurutnya, Edhy bisa mengembalikan gairah industri perikanan. Dia meyakini ekspor produk perikanan bisa kembali meningkat.

“Dunia usaha akan bergairah kembali dan diharapkan ekspor perikanan meningkat ketimbang era sebelumnya yang tenggelam,” ucap Hendra dalam pesan singkat kepada Tirto.

Selama ini, lanjut Hendra, asosiasi tidak sepakat atas kebijakan penenggelaman kapal ala Susi. Menurutnya, kebijakan itu hanya menghamburkan anggaran dan tak menimbulkan efek jera.

Hendra menilai banyak pencuri ikan yang masuk ke lautan Indonesia lantaran tidak ada nelayan yang memanfaatkannya. Untuk itu, seharusnya nelayan dalam negeri didorong lebih baik lagi agar dapat memanfaatkan sumber daya laut.

Kebijakan Edhy juga direspons positif oleh Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo).

Menurut Ketua Abilindo Wayan Sudja kebijakan pemerintah yang baru ini akan berdampak terhadap kepastian hukum bagi investor dan tenaga kerja di perikanan.

Selama ini, kata Wayan, asosiasi tidak sepakat atas pelarangan cantrang. Alasannya, tak ada satu pun negara yang turut menerapkan pelarangan itu. Misalnya dalam konteks pukat (trawl) udang, satu-satunya alat tangkap yang cocok untuk menangkap udang di laut yang berlumpur.

Begitu juga soal relaksasi ukuran kepiting.

Wayan meyakini relaksasi itu berdampak banyak bagi Indonesia, di antaranya mampu menghasilkan devisa sekitar 500 juta dolar AS setiap tahun, termasuk menambah lapangan kerja.

“Dengan demikian, [kebijakan Edhy] akan ada kepastian hukum bagi para investor, termasuk nakhoda, anak buah kapal, dan buruh pengolahan hasil perikanan,” ucap Wayan via pesan singkat kepada Tirto.

Dikhawatirkan Nelayan

Meski begitu, apa yang dirasakan industri mungkin berbeda dengan para nelayan.

Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati berkata khawatir atas langkah Edhy Prabowo mendorong industrialisasi perikanan.

Meskipun kebijakan Edhy berpotensi meningkatkan produksi di sektor perikanan, manfaat bagi nelayan mungkin tidak besar atau bahkan tidak ada sama sekali. Ia khawatir nelayan justru semakin miskin.

Misal kebijakan penggunaan cantrang.

Menurut Susan, jika cantrang kembali diperbolehkan, potensi kerusakan terumbu karang dan ekosistem akan lebih besar. Nelayan akan kesulitan mencari ikan dan terpaksa melaut lebih jauh lagi.

Kalaupun nelayan sudah di areal laut lebih dalam, nelayan tetap kesulitan karena harus bersaing dengan kapal-kapal besar. Selain itu, Susan menolak reklamasi Teluk Jakarta dan Teluk Benoa.

Soal kebijakan penenggelaman kapal yang dihentikan Edhy, Susan menilai pemerintah tetap perlu langkah konkret untuk mengamankan sumber laut Indonesia dari kapal penangkap ikan ilegal.

“Ini jadi pertanyaan: Watak liberalisasi besar-besaran ini bisa menjerumuskan nelayan pada kemiskinan terstruktur,” ucap Susan kepada Tirto.

Meski begitu, lanjut Susan, kebijakan yang diambil Susi juga tidak sepenuhnya dilakukan secara tepat.

Salah satu yang disorot Susan adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan era Susi kerap kali kurang berdialog dengan para pemangku kepentingan, termasuk kajian yang kurang matang.

Misalnya larangan cantrang. Kendati larangan itu positif, toh pemerintah terlambat dalam memikirkan peralihan alat tangkap, sehingga banyak diprotes nelayan karena membuat hasil tangkap menurun.

Di lain pihak, capaian Susi dalam periode pertama Presiden Jokowi juga sebenarnya terbilang positif.

Menurut Ekonomi Senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri, perikanan menjadi satu-satunya yang masih tumbuh positif.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, rata-rata pertumbuhan sektor perikanan mencapai 5,20-7,65 persen sepanjang 2011-2018. Angka ini jauh lebih tinggi dari sektor pertanian dan kehutanan.

Daya beli nelayan juga tumbuh positif, terlihat dari nilai tukar nelayan (NTN). Pada Januari 2019, NTN berada di kisaran 113,78 atau lebih tinggi dari sektor perkebunan di angka 94,73. Artinya, daya beli nelayan masih tinggi.

“Laju pertumbuhan sektor perikanan lebih tinggi dari pertanian. Perkebunan di bawahnya,” ucap Faisal.

Baca juga artikel terkait MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Ringkang Gumiwang