tirto.id - Sebulan setelah pesawat Sriwijaya Air SJ-182 jatuh dan menewaskan 62 orang di perairan Kepulauan Seribu DKI Jakarta, Komite Nasional Keselamatan Transportasi mengungkap fakta baru.
Fakta terbaru diperoleh dari data penerbangan atau FDR. KNKT telah mengunduh 370 parameter dalam FDR dengan durasi 27 jam terdiri atas 18 penerbangan, termasuk penerbangan terakhir untuk selamanya.
Pesawat berumur 26 tahun jenis Boeing 737-500 teregistrasi sebagai PK-CLC punya riwayat kerusakan komponen.
KNKT menemukan dua jenis kerusakan. Pertama pada 25 Desember 2020, indikator petunjuk kecepatan (Mach/Airspeed Indicator) di sisi kanan pada kopilot rusak. Karena penerbangan tak akan terganggu dengan kerusakan indikator, Sriwijaya Air boleh menunda perbaikan maksimal 10 hari. Pada 4 Januari 2021, indikator selesai diperbaiki dengan hasil baik.
“Petunjuk kecepatan berfungsi hanya setelah ketinggian tertentu. Petunjuk kecepatan tidak lagi pakai knot tapi mach number atau beberapa kali dari kecepakatan suara,” kata Kapten Nurcahyo Utomo, ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT, Rabu (10/2/2021).
Kerusakan komponen kedua SJ-182 setelah 25 Desember terjadi pada 3 Januari 2021. Autothrottle, sistem otomatis pengontrol mesin pesawat ditemukan tidak berfungsi. Di hari sama langsung diperbaiki dan berfungsi lagi dengan baik.
Pada 4 Januari 2021, autothrottle kembali tidak berfungsi. Saat diperbaiki pada hari sama belum berhasil, sehingga masuk dalam daftar penundaan (deferred maintenance item/DMI) seperti kerusakan pada indikator petunjuk kecepatan. Pada 5 Januari 2021, autothrottle akhirnya bisa diperbaiki dengan hasil baik.
“Setelah itu tidak ada lagi catatan DMI di buku catatan perawatan sampai tanggal 9 Januari,” imbuh Nurcahyo.
Nurcahyo menyebut, temuan awal data perawatan ini wajar dan biasa. Menurut dia, autothrottle bukanlah komponen signifikan dan utama pesawat, sehingga saat terjadi kerusakan masih diizinkan terbang maksimal 10 hari.
Dengan demikian pada hari keberangkatan, pesawat ini laik terbang sebagaimana pernah dinyatakan oleh Kementerian Perhubungan dan Sriwijaya Air. PK-CLC akhirnya berangkat pada 9 Januari 2021 dari Bandar Soekarno Hatta ke Bandara Supadio Pontianak dengan durasi 3 jam 50 menit.
Kronologi Pesawat Jatuh Berdasar FDR
Tinggal landas mulai pukul 14.36.46 WIB, pilot melapor ke pemandu udara (ATC) Bandara Soetta. FDR merekam sistem autopilot dinyalakan saat pesawat sampai ketinggian 1.980ft (603 meter).
Pada saat melewati ketinggian 8.150 ft (2.484 m), menurut Nurcahyo, throttle (pengatur kecepatan mesin pesawat) kiri mundur, sehingga tenaga mesin atau putaran mesin ikut berkurang. Sedangkan throttle kanan tetap.
Pada pukul 14.38.51 WIB, pesawat meminta izin berbelok 75 derajat dan diizinkan dengan alasan menghindari cuaca. Pascakejadian, BMKG menganalisis cuaca di rute tersebut. Hasilnya pesawat tidak melalui area awan yang signifikan, bukan area hujan serta bukan area dalam awan yang berpotensi menimbulkan guncangan.
Pukul 14.39.47 WIB, pesawat di ketinggian 10.600ft (3.230 m) dengan arah berada di 46 derajat mulai berbelok ke kiri. Throttle sebelah kiri kembali bergerak mundur dan kanan tetap.
Menara ATC meminta pilot naik ke ketinggian 13.000ft (3.962 m) dan dijawab pada pukul 14.39.59 WIB.
“Ini adalah komunikasi terakhir pilot yang terekam di ATC Bandara Soetta,” ungkap Nurcahyo.
Pukul 14.40.05 WIB, FDR merekam ketinggian tertinggi 10.900ft (3.322 m), kemudian pesawat mulai turun, autopilot tak aktif ketika arah pesawat di 16 derajat, hidung pesawat mengarah naik dan miring ke kiri. Tuas kiri mundur lagi, kanan tetap.
Pada 14.40.10 WIB, autothrottle tidak aktif dan posisi pesawat menunduk. Sekitar 20 detik kemudian, ketinggian dan kecepatan turun tajam hingga FDR berhenti merekam data penerbangan SJ-182 untuk selamanya.Pesawat ditemukan hancur di perairan antara Pulau Laki dan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu DKI setelah sekitar 4 menit tinggal landas. Ini jadi kecelakaan pesawat penumpang sipil kedua dalam dua tahun terakhir di Indonesia.
Fokus Selidiki Anomali Autothrottle
Nurcahyo menyatakan, penyebab throttle kiri bergerak mundur belum bisa diketahui. KNKT harus meneliti 13 komponen yang berkontribusi terhadap gerakan autothrottle. Yang kini terungkap baru sebatas fakta adanya anomali throttle.
“Anomali throttle kiri mundurnya terlalu jauh. Kanan tidak bergerak seperti macet. Kita tidak tahu mana yang rusak, kiri atau kanan. Ini yang belum bisa kami jelaskan, apakah ada kerusakan autothrottle,” ucapnya.
Saat ini KNKT sudah mengirim lima komponen termasuk autothrottle ke Amerika Serikat dan Inggris untuk diperiksa dan mencari penyebab anomali throttle karena “gejalanya mungkin di autothrottle tapi kerusakan di tempat lain.”
“Saat ini kami tidak bisa menjawab. CVR juga belum ditemukan. Salah satu upaya adalah mengirim komponen tadi untuk mencari jawaban,” katanya.
Pada saat tuas kiri bergerak sendiri, KNKT menemukan mesin kiri normal. Artinya kecepatannya turun. Kalau pun satu mesin mati “logikanya pesawat masih bisa terbang dengan satu mesin.” Hal ini memantik pertanyaan bagi KNKT mengapa pesawat naik dan turun tajam dalam 4 menit pertama tapi tidak bisa dikendalikan secara manual oleh pilot ketika autothrottle dan autopilot mati.
Pertanyaan tersebut perlu dikonfirmasi dengan data CVR atau perekam data kokpit. Hingga hari ini, CVR belum ditemukan. Kepala KNKT, Soerjanto Tjahjono mengatakan akan berusaha maksimal dan “sangat menyedihkan bila tidak ditemukan”.
“Apapun caranya CVR harus ditemukan. Saya belum berpikir sampai kapan mencarinya. Sepanjang masih sanggup, akan kita lakukan dibantu dari Kemenhub, Basarnas, masyarakat Pulau Seribu. Kami akan cari terus,” ujarnya.
Tanpa CVR, analisis penyebab kecelakaan pesawat hasilnya tidak bisa menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi di kokpit pesawat, dan anomali throttle tak sepenuhnya terungkap.
Penulis: Zakki Amali
Editor: Rio Apinino