Menuju konten utama

Mengapa Indonesia Langganan Kecelakaan Pesawat?

Sebagai negara kepulauan, warga Indonesia bergantung pada transportasi udara. Tapi, standar keamanan maskapai penerbangan Indonesia belum memuaskan.

Mengapa Indonesia Langganan Kecelakaan Pesawat?
Pesawat Sriwijaya Air saat lepas landas di Bandara Rendani Manokwari, Provinsi Papua Barat, beberapa waktu lalu. (FOTO ANTARA/Toyiban)

tirto.id - Dua tahun silam, publik dikejutkan oleh kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 di perairan Karawang, Jawa Barat. Kita kembali harus berduka sebab tragedi jatuhnya pesawat Sriwijaya SJ 182, pada Sabtu (9/1/2021) lalu. Kecelakaan ini sekaligus menambah panjang catatan kecelakaan udara di Indonesia.

“Dalam satu dekade terakhir, ada 697 korban jiwa akibat kecelakaan udara fatal yang melibatkan pesawat sipil maupun militer,” demikian data yang disampaikan Aviation Safety Network sebagaimana dikutip oleh Reuters.

Nyatanya kualitas keselamatan penerbangan Indonesia memang masih buruk. Bahkan, kantor berita Inggris itu sampai berani menyematkan julukan “pasar penerbangan paling mematikan di dunia” untuk Indonesia—bersama dengan Rusia, Iran, dan Pakistan.

Data Aviation Safety Network menunjukkan, akumulasi kecelakaan udara fatal di Indonesia mencapai 153 kasus sejak 1919. Terhitung dari tahun yang sama, total korban jiwa yang jatuh mencapai 3.037 orang. Lalu, dalam sepuluh tahun terakhir (2011-2021), jumlah kecelakaan udara fatal mencapai 18 kasus.

Sementara Rusia memiliki rekor kecelakaan mematikan hingga 600 kasus dengan jumlah korban 9.333 jiwa sejak 1919. Dalam satu dekade terakhir, negara ini mencatat kecelakaan udara fatal hingga 36 kasus.

Sekarang, mari kita tilik faktor apa yang mungkin berpengaruh dalam rentetan kecelakaan udara di Indonesia. Skor dan poin-poin Program Audit Pengawasan Keselamatan Universal dari The International Civil Aviation Organization (ICAO) pada 2017 bisa jadi patokannya.

Standar Keselamatan Belum Memadai

Penilaian organisasi ini berfokus pada derajat kemampuan suatu negara dalam mengawasi keselamatan industri penerbangannya. ICAO punya delapan poin audit untuk memastikan efektivitas dan konsistensi penerapan sistem pengawasan keselamatan penerbangan di suatu negara.

Poin-poin penilaian itu di antaranya mencakup peraturan penerbangan sipil, struktur organisasi penerbangan, lisensi personalia, kelaikan pesawat, hingga layanan navigasi udara.

Dalam program audit itu, Indonesia menempati peringkat 55 dari 191 negara. Setelah dianalisis, Indonesia mendapat skor di bawah rata-rata global dalam dua poin penilaian. Poin pertama adalah tingkat legislasi alias aturan penerbangan. Jika rata-rata global menunjukkan angka 75,25 persen, Indonesia mendapat nilai 71,43 persen.

Skor Indonesia juga di bawah rata-rata untuk poin organisasi penerbangan. Indonesia hanya mencapai skor 69,2 persen, sementara skor global adalah70,9 persen.

Dalam poin penilaian lain—seperti tingkat operasi, kelaikan udara, investigasi kecelakaan, layanan navigasi udara, dan audit aerodrome, Indonesia dapat melampaui skor global. Sesuai penjelasan umum ICAO, skor yang kurang itu menunjukkan bahwa otoritas Indonesia belum sepenuhnya menerapkan standar keselamatan secara memadai. Kesimpulannya, standar penerbangan di Indonesia masih memerlukan perbaikan di sektor aturan dan organisasi.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia amat bergantung pada moda transportasi udara untuk mobilitas horizontal antar wilayah. Oleh karena itu, perkara keamanan transportasi udara mestinya tak boleh ditawar. Tapi, harus diakui bahwa standar penerbangan di Indonesia belum cukup stabil.

Terlebih, jika disandingkan dengan tingginya tingkat perjalanan. Pada periode 2007-2018, Uni Eropa sempat mencekal penerbangan Indonesia lantaran serangkaian kecelakaan, pengawasan, serta pemeliharaan maskapai yang buruk. Uni Eropa menganggap risiko keselamatan penumpang pada maskapai Indonesia terlalu tinggi.

Seturut laporan Reuters, Amerika Serikat lewat The US Federal Aviation Authority (FAA) juga turut memposisikan Indonesia pada Kategori 2 dalam evaluasi keselamatan penerbangan periode 2007-2016. Artinya, penerbangan Indonesia tidak memenuhi standar penerbangan internasional karena sistemnya tidak memadai.

Meski industri penerbangan Indonesia terus berbenah dan memperoleh skor di atas standar global di beberapa poin audit ICAO 2017, hal tersebut tidak mengeliminasi tingginya risiko kecelakaan udara.

“Boeing baiknya memandu Indonesia yang punya catatan keselamatan udara tidak stabil supaya kepercayaan terhadap industri penerbangannya pulih,” ujar Kepala Konsultan Penerbangan Endau Analytics, Malaysia, Shukor Yusof.

Infografik Kecelakaan Pesawat di Indonesia

Infografik Kecelakaan Pesawat di Indonesia. tirto.id/Quita

Pilih-pilih Maskapai

Mobilitas warga tentu tak bisa menunggu hingga standar keselamatan penerbangan Indonesia “sempurna”. Sembari menanti momen itu tiba, mari memilah maskapai yang sekiranya paling aman di antara maskapai-maskapai lain. Patokannya bisa kita lihat dalam situs web tinjauan keselamatan dan penilaian maskapai penerbangan Airline Ratings.

Airline Ratings telah mendaftar beberapa maskapai yang beroperasi di Indonesia dan menilai keamanannya. Nilai keamanan terbaik adalah tujuh bintang. Di antara maskapai-maskapai Indonesia, Garuda Indonesia dan Citilink mendapat lima bintang, disusul Express Air dengan 4 bintang, AirAsia Indonesia 3 bintang, dan Sriwijaya Air 1 bintang.

“Kriteria keamanan diukur dari empat poin: kecelakaan fatal, pilot, audit dari badan pengatur penerbangan dunia ICAO dan IATA, serta kepatuhan terhadap standar kesehatan COVID-19,” demikian paparan kriteria penilaian Airlines Ratings.

Jika sebuah sebuah maskapai tidak pernah mengalami kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa dalam sepuluh tahun belakangan, ia akan diganjar tiga bintang. Garuda Indonesia, Citilink, dan Express Air mendapat bintang penuh dalam penilaian ini. Menurut Airline Ratings, setidaknya butuh satu dekade bagi sebuah maskapai untuk memperbaiki standar keselamatannya.

“Sepuluh tahun untuk mengganti pesawat yang tua, memperbaharui avionik (sistem elektronik penerbangan), atau sistem yang berkontribusi pada kecelakaan,” tulis Airline Ratings.

Kemudian, dua bintang lagi akan ditambahkan jika maskapai tidak pernah mengalami insiden serius yang berkaitan dengan pilotnya. Citilink, AirAsia Indonesia, dan Express air masing- masing mendapat satu bintang, sementara Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air tidak mendapat bintang sama sekali.

Poin penilaian Airline Ratings selanjutnya adalah hasil audit The IATA Operational Safety Audit (IOSA), ICAO, EU, dan FAA. Jika maskapai lolos semua audit internasional ini, poin keamanan akan bertambah satu bintang. Namun, audit ini tidak bersifat wajib sehingga ada maskapai yang tidak tersertifikasi karena gagal atau memilih tidak ikut. Dalam penilaian audit ini, hanya Garuda Indonesia dan AirAsia Indonesia yang lolos dan mendapat satu bintang.

Sementara itu, aspek kepatuhan terhadap protokol kesehatan terkait COVID-19 memasukkan lima standar, yakni info website mengenai COVID-19, penjarakan fisik, pembersihan armada, pemakaian masker, dan adaptasi layanan konsumsi. Lagi-lagi Garuda Indonesia mendapat satu bintang bersama Citilink dan AirAsia Indonesia.

Meski memimpin skor keamanan di antara maskapai Indonesia lain, Garuda Indonesia juga belum bisa dibilang “terbaik” jika disandingkan maskapai Asia lain.

Ambil contoh industri penerbangan Malaysia. Salah satu maskapainya Malindo Air mendapat bintang penuh dalam penilaian keamanan. Maskapai dengan penilaian paling rendah adalah Malaysia Airlines dengan skor tiga bintang. Posisi Indonesia jelas belum memuaskan karena banyak negara bisa meraih tujuh bintang dalam penilaian. Terlebih, Indonesia punya satu maskapai dengan perolehan hanya satu bintang, yakni Sriwijaya.

Baca juga artikel terkait SRIWIJAYA AIR SJ182 atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi