tirto.id - Pencarian Sriwijaya Air SJ-182 yang hilang kontak pada Sabtu (9/1/2021) pukul 14.40 masih terus diupayakan. Hingga Senin kemarin pukul 9 pagi, Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri telah mengantongi 40 sampel DNA dari keluarga korban, 16 kantong jenazah, dan tiga kantong properti. Dari sana korban pertama telah berhasil diidentifikasi.
Selain itu, analisis mengapa pesawat bisa jatuh pun terus berjalan. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) telah mengirimkan dua orang untuk mengumpulkan rekaman berikut transkrip pembicaraan antara pilot dengan pengatur lalu lintas udara yang bertugas ketika pesawat jatuh. Mereka juga telah mendapatkan data mentah radar pergerakan pesawat. Sementara Basarnas telah menyerahkan komponen yang berhasil ditemukan, yakni Ground Proximity and Warning System (GPWS), radio altimeter, dan alat peluncur darurat.
Salah satu indikasi kuat yang muncul dalam kecelakaan ini adalah pesawat mungkin tidak meledak di udara.
"Saya menduga, jika terjadi ledakan di atas, pasti serpihan berada dalam radius yang sangat luas. Kemungkinan besar pesawat jatuh masih dalam kondisi utuh," kata Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung Hari Muhammad kepada reporter Tirto, Senin.
Berdasar data di Posko SAR Jakarta International Container Terminal II Tanjung Priok, per Senin, tim SAR menyisir titik jatuhnya pesawat dalam radius 25 NM garis pantai di enam sektor dengan luas area pencarian masing-masing 37 NM persegi. Pencarian dilakukan di sekitar Pulau Lancang, Pulau Laki, dan Tanjung Kait. Jangkauan pencarian belum masuk dalam kategori yang Hari sebut "radius yang sangat luas."
Semua itu akan diketahui lebih jelas jika kotak hitam pesawat yang berisi Flight Data Recorder (FDR) dan Cockpit Voice Recorder (CVR) ditemukan dan datanya dianalisis. Lewat FDR, sikap pesawat, ketinggian, kecepatan, kondisi mesin, dan bidang kendali pesawat bisa diketahui. Bisa diketahui pula, misalnya, apakah mesin atau sistem kendali pesawat bermasalah.
Sementara lewat analisis CVR, yang merekam percakapan pilot dan kopilot, dapat diketahui apakah misalnya seluruh orang dalam pesawat hilang kesadaran karena pesawat terbang menukik dengan kecepatan tinggi.
Misalnya semua mesin pesawat itu mati tapi pilot masih sadar, mereka masih dapat menerbangkan pesawat dengan cara gliding. Bila Sriwijaya SJ-182 telah mencapai 10 ribu kaki, pilot dapat gliding hingga mencapai Bandara Soekarno-Hatta atau Halim Perdanakusuma. Pun jika terpaksa, dapat mendarat dan mengapung di laut (ditching). Ditching dalam kondisi seperti ini tidak akan memecahkan pesawat.
Bisa juga mesin Sriwijaya SJ-182 masih menyala dan berkekuatan penuh, akan tetapi terbang menukik ke bawah dengan kecepatan tinggi. "Kalau hal itu terjadi, dengan kecepatan sebesar itu, akan remuk," katanya. Hari mengatakan beban percepatan yang bisa ditanggung oleh pesawat komersial adalah 2,5G. Sebagai gambaran, pesawat tempur didesain untuk bermanuver hingga 9G. "Lebih dari itu struktur [pesawat komersial] bisa rontok."
Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono pun membenarkan dugaan ini. Dia bilang pesawat mungkin tak meledak di udara, tapi hancur karena benturan air. Hal ini sementara disimpulkan dari serpihan yang berhasil ditemukan. Menurutnya, serpihan itu tidak hancur mencurigakan, tapi "natural karena benturan ke air."
Jatuh dalam Kecepatan Tinggi
Pesawat rute Jakarta-Pontianak ini diperkirakan jatuh di sekitar perairan Pulau Laki dan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pesawat mengangkut 62 orang, terdiri dari: 6 awak pesawat dan 56 penumpang (43 dewasa, 7 anak-anak, dan 3 bayi). Jenis pesawat adalah Boeing 737-500 yang digunakan untuk penerbangan jarak pendek hingga menengah, telah beroperasi sejak 13 Mei 1994.
Berdasarkan data dari flightradar24.com, pesawat jatuh atau terbang merendah namun dalam kecepatan tinggi.
Dari data yang berbasis Automatic Dependent Surveillance–Broadcast (ADS–B), pesawat itu diketahui lepas landas dari Soekarno–Hatta pada 07:35 UTC atau 14.35 WIB. Lantas pesawat berbelok ke kanan dan mendaki di ketinggian 10.175 kaki ketika melintasi garis pantai pada 14:39 WIB.
Detik-detik setelah 14:40 WIB (07:40 UTC) menjadi bagian krusial bagi Boeing 737-524 dengan registrasi PK-CLC itu. Pesawat berbelok tajam ke arah kanan. Perlahan ketinggian maupun kecepatannya menurun dalam hitungan detik, rinciannya:
-Detik 08,287 knots 10.725 kaki.
-Detik 14,224 knots 8.950 kaki.
-Detik 16,192 knots 8.125 kaki.
-Detik 20,155 knots 5.400 kaki.
Kemudian, pada 14:40:27 WIB (07:40:27 UTC), pesawat yang pernah dioperasikan Continental Airlines dan United Airlines ini mencapai kecepatan tertinggi selama penerbangan, 358 knots. Dalam kecepatan maksimal tersebut, pesawat justru terbang rendah sekali, hanya 250 kaki.
Dalam bahasa yang lebih awam, dalam waktu 19 detik, pesawat turun curam dari ketinggian 10.725 kaki menuju 250 kaki.
Flight Instructor & Citation V Jet Captain Gema Goeryadi menyebut data-data ini menunjukkan sejumlah kejanggalan. Selain drop dari 10.900 kaki jadi 4.500 kaki, kejanggalan lain adalah pesawat terus berputar ke kiri dan menukik hingga -30,000 kaki per menit; lalu pesawat mencoba untuk naik di 22 ribu kaki per menit sebelum menyentuh air. "Semua perubahan tersebut hanya terjadi dalam satu menit," katanya.
Kemudian, kejanggalan lain, "dari yang seharusnya track jalur 23 derajat, miring 6 derajat dan dalam hitungan detik menjadi 339 derajat. Di sini diketahui bahwa pesawat ketika jatuh dalam kondisi berputar ke kiri."
Dari data-data itu dia bilang "muncul dugaan adanya loss of aircraft control" yang benar atau tidaknya "harus dibuktikan melalui FDR dan CVR maupun metode lain secara menyeluruh."
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino