tirto.id - Apakah Indonesia memiliki cerita tentang mayat hidup? Tentu ada. Pocong, misalnya, disebut sebagai perwujudan demit yang hidup kembali lantaran tali pengikat jenazahnya tidak dilepas. Dalam banyak tradisi populer, perkara mayat hidup ini serupa obsesi terhadap kehidupan itu sendiri. Ia dirayakan dalam berbagai cerita, film, dan lagu.
Michael Jackson melalui "Thriller" misalnya, meski tidak secara spesifik bercerita tentang mayat hidup atau zombie, goyangan pinggul dan tangannya dalam video itu demikian ikonik sampai dianggap representasi sempurna dari sosok zombie.
Sebelumnya, Tirto sudah pernah merilis tulisan tentang George Andrew Romero yang dianggap sebagai Bapak Horor Zombie Modern. Tapi, apakah sebenarnya zombie itu? Kata ini pertama kali muncul dari penyair asal Brazil Robert Southey pada 1819. Puisi Southey bercerita tentang pemberontak Afro-Brazil bernama Zumbi.
Kamus Besar Oxford kemudian memasukkannya ke kamus sebagai kata serapan bahasa Afrika Barat, tepatnya dari bahasa Kongo, “nzambi” yang berarti tuhan atau “zumbi” yang berarti “jimat.”
Baca juga: Matinya George A. Romero, Bapak Film Zombie Modern
Pergeseran makna zumbi atau zombie dari azimat menjadi hal yang mengerikan berawal dari cerita rakyat Haiti tentang mayat yang dihidupkan dengan mantra dan sihir. Konsep ini kemudian diasosiasikan dengan voodoo, praktik spiritual pagan yang menghadirkan sihir sebagai laku ibadahnya.
Cerita ini kemudian berkembang lagi menjadi produk kebudayaan populer yang mempengaruhi banyak tradisi. Ia ada di novel, game, hingga ragam wujud gaya hidup.
Salah satu film dokumenter yang penting untuk ditonton agar bisa memahami subkultur zombie adalah Doc of the Dead(2014) yang dibuat oleh Alexandre O. Philippe. Film ini menggali bagaimana zombie mempengaruhi kebudayaan populer dan berbagai film penting yang menjadi tontonan jutaan orang.
Philippe juga mewawancarai berbagai sutradara atau mereka yang otoritatif mengenai zombie dalam kebudayaan pop. Termasuk ilmuwan untuk secara kritis menjawab apakah di masa depan manusia akan terancam dengan zombie?
Baca juga: Game Horor Mengolah Rasa Takut Menjadi Candu
Resident Evil adalah game zombie yang dibuat oleh Shinji Mikami dan Tokuro Fujiwara. Permainan ini jadi istimewa karena menghadirkan teror biologis. Horor yang tidak didasari oleh sihir atau hal yang tak masuk akal. Sebuah virus mengubah manusia menjadi zombie, lalu manusia yang terinfeksi akan menulari yang lain melalui gigitan. Setiap zombie adalah monster yang lapar, beringas, dan barbar.
Capcom, produsen pembuat Resident Evil, menjadi kaya karena seri game ini. Pada 1996, seri pertama Resident Evil hingga hari ini telah terjual lebih dari 2,75 juta keping di seluruh dunia. Seri keduanya mencapai 4,96 juta keping, sementara Resident Evil 3: Nemesis terjual lebih dari 3,5 juta keping CD dan Resident Evil 4 terjual lebih dari enam juta kopi. Sensasi inilah yang membuat banyak game Resident Evil dibuat ulang, baik dalam remake maupun sekadar rilis ulang.
Beberapa orang demikian gandrung dengan zombie, sehingga mereka memutuskan untuk melakukan aksi memerankan zombie secara terbuka. Aktivitas yang awalnya hanya sekedar iseng belaka itu, kemudian menjadi sesuatu yang besar dan rutin. Pada Agustus 2000, misalnya di Milwaukee, pada acara Gen Con—expo permainan kontemporer di Amerika Serikat—diadakan Zombie Walk. Acara ini tidak direncanakan, tapi malah menjadi besar. Saat itu ada 60 peserta yang berdandan serupa zombie.
Baca juga: Film Horor dan Kegemaran akan Ketakutan
Gerakan ini kemudian muncul di berbagai tempat di dunia, seiring populernya genre film zombie. Saat promosi film seri Walking Dead, di beberapa negara di Asia Tenggara diadakan acara yang mengundang para pecinta zombie untuk melakukan flash mob bersama di tempat umum.
Gelombang film zombie muncul sejak 1968, dimulai Night of the Living Dead dari Romero hingga kemunculan Dawn of The Dead (2978), Evil Dead (1981), Resident Evil (2002), 28 Days Latter (2003), Shaun of the Dead (2004), hingga World War Z (2013).
Meski terdengar mudah dan lucu, tapi menjadi zombie bukan perkara mudah. Ada kaidah dan juga pakem zombie yang mesti dipenuhi. Di luar perlengkapan pakaian dan make up, ada hal esensial seperti cara berjalan, berpikir seperti zombie, dan bertindak selayaknya zombie.
Ini juga perkara keyakinan, apakah kamu adalah penganut zombie aliran klasik seperti Romero yang beranggapan bahwa zombie adalah mayat hidup yang akan terus membusuk, melemah, dan tak akan menjadi sosok supercepat, dan cerdas. Atau zombie tradisi baru yang lahir dari eksperimen biologis jahat yang membuat mereka super kuat, cerdas, dan terkoordinasi?
Masing-masing zombie punya logikanya sendiri. Zombie versi Romero akan selalu berasal dari mayat hidup yang terkutuk, kamu langsung menjadi zombie hanya karena tergigit, kamu akan berjalan sangat lambat, mudah dibunuh, dan tak memahami apa itu keroyokan. Zombie dalam film Romero tak ada yang bergerak cepat, apalagi sampai lari. Mereka berjalan sangat lambat.
Sementara, di versi yang lebih tua, zombie dalam I Walked With a Zombie yang disutradarai oleh Jacques Tourner pada 1943 adalah sosok mayat hidup yang tak punya tujuan apa-apa, hanya mematuhi tuannya, tidak akan menyerangmu, dan tidak akan membuatmu menjadi zombie yang baru. Zombie jenis ini tentu membosankan dan mungkin akan mudah dilupakan.
Baca juga: Horornya Musik dalam Film Horor
Tetapi zombie yang berasal dari virus seperti Resident Evil, 28 Days Later, dan World War Z adalah jenis zombie yang tangkas. Ia tak mudah dibunuh, bergerak lincah, cepat, mereka nyaris cerdas, punya nafsu makan makhluk hidup yang demikian besar, dan yang paling mengerikan mereka bisa mengubahmu jadi zombie jika tergigit atau tak sengaja terpapar darah mereka. Zombie macam ini bisa berlari. Kamu tembak kakinya ia akan merangkak, kamu tembak tubuhnya ia akan bangkit, maka cara terbaik menyingkirkan zombie macam ini adalah dengan ditembak kepalanya.
Dalam tradisi kebudayaan populer terbaru, ada pula zombie jenis lain yang hidup dari sihir, mereka tidak akan membuatmu jadi zombie baru, bukan berasal dari kutukan, tapi dari sihir yang menghidupkan mayat kembali. Zombie macam ini muncul sekilas dalam Game of Thrones. Meski kamu hancurkan sebagian kepalanya, mereka akan tetap hidup, bahkan jika hanya tersisa tulangnya. Kamu hanya bisa membunuh zombie jenis ini jika si empu pembuat mayat hidup ini dikalahkan.
Subkultur zombie ini tidak hanya berhenti di game, film, dan lagu, tapi kini mulai masuk ke permainan langsung. Di Spanyol, pada 2014, di sebuah kota di Collado Villalba, 2.000 orang berpartisipasi dalam acara permainan kiamat zombie. Mereka mesti bertahan hidup dari serangan zombie.
Aturan permainan ini sederhana, kamu harus bisa selamat dari serangan mayat hidup sepanjang malam hingga pagi. Tidak hanya selamat, kamu tak boleh membunuh zombie, tidak boleh sembunyi terlalu lama di satu titik, dan secara berkala harus memecahkan teka-teki untuk bisa menuju tempat penyelamatan.
Baca juga: American Horror Story Lebih dari Sekadar Jerit dan Darah
Jika kamu ditemukan oleh zombie, kamu harus lari dan sembunyi. Jika kamu tergigit oleh zombie, kamu bisa melanjutkan permainan sebagai zombie. Banyak peserta yang merasa frustrasi dan kesal karena mereka tergigit dan harus menjadi zombie dalam beberapa menit setelah acara dimulai. Acara ini pada mulanya dilakukan sebagai kegiatan waktu luang pada 2012, tapi kesuksesan dan respons positif partisipan membuat acara ini semakin terkenal. Jumlah peserta dibatasi dan hingga 2015 partisipan acara Zombie Apocalypse ini telah penuh dipesan.
Tidak hanya di Spanyol, permainan live action Zombie juga diselenggarakan di Universitas Adelaide. Bagian utara kampus Universitas Adelaide diubah menjadi beberapa bagian. Manusia penyintas akan diberikan pistol mainan dengan beberapa peluru melawan zombie. Pemain akan diberikan pita merah sebagai penanda bahwa dia adalah manusia, sementara pita hijau untuk penanda zombie. Setiap pemain yang tergigit akan menjadi zombie. Peluru akan sangat dibatasi, dan mereka dibagi menjadi beberapa faksi.
Peluru juga digunakan untuk alat tukar makanan dan minuman. Strategi jadi elemen penting. Kamu tak boleh membuang peluru terlalu banyak, faksi lawan bisa membunuh dan merebut pelurumu, dan perjuangan bertahan hidup bisa begitu lama. Inilah yang membuat permainan ini jadi seru, makanan dan peluru terbatas, sementara lewat sekali tepukan, zombie akan mengubahmu jadi monster.
Jadi, kapan kita bikin kompetisi zombie di Indonesia?
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani