tirto.id - 4 April 1968. Malam itu George Andrew Romero dan beberapa rekannya mengendarai mobil dari Pitsburg ke New York demi satu misi: bertemu dengan beberapa studio film yang mau membeli hak cipta atas Night of the Flesh Eaters, film horor yang ia tulis naskahnya, bintangi, sutradarai, dan edit sendiri.
Meski tak ada studio yang tertarik, Romero tetap mengusahakan agar filmnya bisa ditonton oleh khalayak ramai. Judulnya diganti menjadi Night of the Living Dead. Setelah sempat dimainkan di beberapa bioskop kecil, film layar lebar pertama Romero itu lama-lama mampu mendatangkan banyak penonton, demikian dicatat LA Times.
Orang-orang, mulai dari kalangan pecinta film kelas berat hingga kalangan masyarakat awam, terpikat dengan kengerian maksimal yang tak disangka-sangka terkandung dalam karakter antagonisnya. Sebentuk monster baru, sesosok mayat hidup yang gemar menyantap otak manusia, yang meski tak disebutkan di judul, tapi terkenang kuat di hati para penggemar film horor hingga kini: zombie.
Kata “zombie” dalam bahasa Inggris tercatat muncul pertama kali dalam puisi penyair asal Brazil Robert Southey pada 1819 yang mengacu pada pemberontak Afro-Brazil bernama Zumbi. Kamus Besar Oxford kemudian memasukkannya ke kamus sebagai kata serapa bahasa Afrika Barat, lebih tepatnya bahasa Kongo “nzambi” yang berarti tuhan atau “zumbi” yang berarti “jimat.”
Konsep awal zombie kerap dikaitkan dengan cerita rakyat Haiti sebagai mayat yang dihidupkan dengan kuasa mantra dan kekuatan sihir. Konsep ini kemudian diasosiasikan dengan voodoo, yang sebagaimana diketahui, adalah tradisi keagamaan spiritis-animis yang melibatkan metode guna-guna kepada orang lain melalui boneka. Meski berkaitan, konsep zombie sendiri tidak berperan penting dalam praktik voodoo.
Di dalam dunia sinema, zombie yang terinspirasi dari kepercayaan voodoo muncul beberapa kali sepanjang dekade 1930-an hingga 1960-an. Beberapa yang dipandang bermutu serta menarik penonton untuk datang ke bioskop antara lain I Walked with a Zombie (1943) dan Plan 9 from Outer Space (1959).
Kedua film klasik tersebut, dan setumpuk film-film monster lain, adalah tontonan favorit Romero selama menghabiskan masa kecil di kota kelahirannya, New York, Amerika Serikat. Dalam wawancaranya bersama NPR, Romero mengaku minatnya untuk membuat film tentang zombie muncul usai membaca I Am Legend, novel laris tentang kiamat zombie karya Richard Mathenson yang dirilis pertama kali pada 1954.
Bersama sembilan temannya, Romero membentuk rumah produksi Image Ten Production di penghujung 1960 untuk membuat Night of the Living Dead. Dibantu kawannya John A. Russo dalam proses penulisan naskah, Romero mendeskripsikan karakter zombienya sendiri yang berbeda dengan zombie voodoo, yakni mayat hidup kanibal dengan cara jalannya yang khas dan hanya bisa mati dengan cara dipenggal kepalanya.
Ide orisinal itulah yang membuat Night of the Living Dead abadi sepanjang masa. Film tersebut memulai masa keemasan bagi karakter zombie ala Romero di dalam film-filmnya yang lain maupun ratusan film zombie lain dari para sineas yang muda pengagumnya. Mereka yang tak ragu menyematkan status “Godfather of the Dead” atau “Father of the Zombie Film” pada Romero.
Film dengan biaya produksi sebesar $114 ribu itu sukses secara finansial dengan pendapatan kotor mencapai $12 juta di dalam negeri dan $18 juta di level global. Night of the Living Dead menjadi film cult dan telah masuk ke dalam Library of Congress sebagai koleksi National Film Regisrty sebab “signifikan secara estetik, kultural, dan historis.”
Horor Tetangga yang (Disangka) Politis
Keberhasilan Night of the Living Dead dalam menakut-nakuti penonton dideskripsikan Robert Ebert dari Chicago Sun-Times sebagai efek dari ketidaktahuan penonton bahwa film ini tak seperti film horor kebanyakan. Penontot tercekat sejak pertengahan film hingga akhir saat adegan kanibalistik diperlihatkan. Anak-anak dalam pantauan Robert bahkan ada yang sampai menangis di bioskop.
Mengapa? Merujuk cerita Romero kepada NPR, “Aku tak menyangkanya [respons penonton] sama sekali, benar-benar kaget. Yang kulakukan hanyalah membuat mereka [para zombie] tak lagi eksotis, dari tempat yang terpencil, tapi kubuat sebagai tetangga mereka sendiri. Kupikir tak ada yang lebih menakutkan ketimbang tetanggamu sendiri!”
Ada hal lain yang membuat Night of the Living Dead melampaui zamannya. Alih-alih hanya berfokus pada tujuan menakut-nakuti penonton, Romero juga tergolong berani menjadikan aktor kulit hitam, Duane Jones, sebagai aktor utamanya. Keputusan ini tergolong langka mengingat tensi politik antar-ras di AS kala itu sedang panas-panasnya.
“Saat kami berkendara dari New York ke Pittsburg, kami mendengar berita bahwa Martin Luther King tewas dibunuh. Kami puya aktor kulit hitam di film ini, barangkali itu pula yang membuat filmnya diketahui lebih banyak orang. Dia [Duane] adalah aktor terbaik di antara teman-teman kami. Kami tak ubah ceritanya saat Duane sepakat memerankan karakter itu,” jelasnya.
Romero tak pernah berpikir filmnya itu rasis. Melalui film zombie, ia ingin menyampaikan bahwasanya pertentangan berbau ras itu tak ada apa-apanya dibanding bahaya mengancam nyawa sebagaimana yang dibawa zombie. Bahwa yang orang-orang pertentangkan itu sesuatu yang kecil, sesuatu yang remeh dibanding cara untuk bertahan hidup.
Romero mengaku cukup bangga, sebab kesuksesan Night of the Living Dead dalam membawa teror monster baru ke dalam benak para penonton membuat perkara warna kulit Duane menjadi persoalan yang remeh. “Meski dimainkan oleh orang keturunan Afrika-Amerika, kau tak menyadarinya benar-benar,” jelasnya.
Barangkali penonton abai. Romero dan rekan-rekannya juga tak memusingkannya sama sekali. Namun kekhawatiran itu rupanya tetap hadir untuk Duane sendiri. Duane tetap menganggapnya sebagai sebuah perkara yang bisa mematikan karier, bahkan hidupnya.
“Ada sebuah adegan di mana Duane harus menembak aktris kulit putih Barbara, dan dia bilang padaku 'Kau tahu kan apa yang akan terjadi saat aku berjalan ke luar bioskop jika aku melakukan adegan penembakan itu?' Duane benar-benar sangat khawatir akan hal itu,” kata Romero.
Untungnya, apa yang dikhawatirkan Duane tak benar-benar terjadi. Kariernya sebagai aktor terus berlanjut hingga ia meninggal pada 1988. Romero juga sempat membuat film non-horor lain, tapi karena kurang laris, ia pun kembali ke jalur zombienya. Selain Dawn of the Dead (1978) yang menuai lebih banyak pujian, ia juga membidani lahirnya Day of the Dead (1985), Land of the Dead (2005), Diary of the Dead (2007), dan Survival of the Dead (2009).
Pada 2009, ia menjadi warga Kanada sekaligus AS, dan di tahun-tahun setelahnya mulai digerogoti penyakit kanker paru-paru. Perjuangannya mencapai titik akhir pada Minggu (16/7/2017) kemarin. Romero menutup usia di Toronto, Ontario, Kanada, saat sedang menonton salah satu film favoritnya, The Quiet Man (1959), bersama istrinya Suzanne Desrocher Romero dan anaknya Tina Romero.
Kabar tersebut memancing pernyataan duka dari sejumlah sineas. Edgar Wright, pencipta serial zombie laris Walking Dead mengunggah foto diri bersama Romero di akun Instagramnya dan menuliskan Romero sebagai sahabat, mentor, dan inspirasi utamanya. Sementara itu, aktor kulit hitam yang menyutradarai film horor satire Get Out (2017), Jordan Peele, mengunggah foto aktor Duane Jones di akun Twitternya dengan kutipan “Romero-lah yang memulainya.”
Sebagai legenda, Romero akan selalu dikenang atas jejak orisinal yang ia wariskan bagi para sineas muda penggemar genre thriller maupun horor. Quentin Tarantino, misalnya, adalah pengagum berat sosok Romero. Saat sedang menganugerahkan penghargaan Mastermind Award di ajang Scream 2009, Tarantino berkata:
“Sepanjang perhatianku, huruf 'A' di tengah nama lengkap Romero itu singkatan untuk 'A fucking genius'!”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani