Menuju konten utama

Menelusuri Penyebab Produk Halal Tercemar Kandungan Babi

Pengujian kandungan halal seharusnya tidak dilakukan saat mau disertifikasi saja, agar keamanan pangan tetap terjaga.

Menelusuri Penyebab Produk Halal Tercemar Kandungan Babi
Produk halal yang mengandung babi. (FOTO/bpjph.halal.go.id)

tirto.id - Sekira 9 produk olahan pangan baru-baru ini ditemukan mengandung unsur babi. Di saat masyarakat mengandalkan label halal dalam produk makanan, nyatanya produk-produk tersebut belum terjamin keamanannya secara syariat Islam.

Hasil pengawasan peredaran Obat dan Makanan terkait klaim kehalalan produk yang dilakukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bersama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan 7 produk yang mengandung unsur babi sudah bersertifikat dan berlabel halal, sementara dua produk lain tidak memiliki label halal.

Kepala BPJPH, Ahmad Haikal Hasan, berujar, temuan kandungan babi itu dilakukan melalui pengujian laboratorium untuk parameter uji DNA dan/atau peptida spesifik porcine.

"Terhadap tujuh produk yang telah bersertifikat dan berlabel halal, BPJPH telah memberikan sanksi berupa penarikan barang dari peredaran," kata Haikal dalam keterangan yang diterima Tirto, Senin (21/4/2025).

Sementara untuk dua produk yang tidak bersertifikat halal dan terindikasi memberikan data yang tidak benar saat registrasi, BPOM mengaku telah memberikan sanksi berupa peringatan serta menginstruksikan pelaku usaha untuk segera menarik produk dari peredaran.

Produk Makanan Mengandung Babi

Produk Makanan Mengandung Babi. foto/https://bpjph.halal.go.id/

Sejumlah produk yang ditemukan terdapat unsur babi itu kebanyakan merupakan manisan kenyal atau marshmallow, seperti Corniche Fluffy Jelly Marshmallow (Marshmallow Aneka Rasa Leci, Jeruk, Stroberi, Anggur), Corniche Marshmallow Rasa Apel Bentuk Teddy (Apple Teddy Marshmallow), ChompChomp Car Mallow (Marshmallow Bentuk Mobil), ChompChomp Flower Mallow (Marshmallow Bentuk Bunga), dan ChompChomp Marshmallow Bentuk Tabung (Mini Marshmallow).

Makanan seperti itu umumnya dikonsumsi anak-anak dan bisa jadi memicu kekhawatiran di kalangan orang tua, dan bukan tidak mungkin–meresahkan umat Muslim lebih luas.

Mengenai hal ini, BPJPH dan BPOM menegaskan pihaknya terus mengawasi produk di lapangan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. BPJPH dan BPOM pun mengimbau masyarakat untuk turut berpartisipasi aktif dalam pengawasan produk yang beredar.

"Siapa saja yang menemukan produk yang mencurigakan di peredaran atau diduga tidak memenuhi ketentuan regulasi yang berlaku, dapat menyampaikan laporan/aduan melalui email layanan@halal.go.id," sebut Haikal.

Haikal mengimbau pihak terkait supaya menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurutnya, sertifikat halal adalah representasi standar halal yang tertuang dalam sistem jaminan produk halal yang harus diimplementasikan dalam proses produk halal secara konsisten, sehingga produk benar-benar terjaga kehalalannya dari waktu ke waktu

Masalahnya, temuan ini menjadi ironis ketika BPJPH menjadi otoritas utama dalam menyelenggarakan jaminan produk halal di Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Berdasarkan aturan itu, BPJPH punya kewenangan untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan Jaminan Produk Halal (JPH), menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH, serta menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk.

Kekeliruan Pengujian atau Perubahan Formula?

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, mengungkap temuan unsur babi dalam produk makanan halal bisa jadi disebabkan oleh adanya kekeliruan dalam proses pengujian laboratorium saat sertifikasi awal.

Selain itu, kemungkinan lainnya yakni ada perubahan formula yang tidak dilaporkan oleh produsen. Dengan demikian, ketika diuji ditemukan zat lainnya yang mana itu bertentangan dengan syariat Islam.

“Karena badan sertifikasi halal biasanya punya prosedur verifikasi yang ketat, termasuk inspeksi fasilitas produksi, pengujian bahan baku. Nah tapi karena sertifikasi halal ini sekali terbit itu tidak ada batas waktu yang pasti, sehingga ya nggak akan disertifikasi ulang jika ada perubahan formula,” kata Eliza saat dihubungi jurnalis Tirto, Selasa (22/4/2025).

Lebih jauh, Eliza menggarisbawahi soal perlunya pengujian atau inspeksi acak berkala. Pengujian seharusnya tidak dilakukan saat mau disertifikasi saja, agar keamanan pangan tetap terjaga.

“Sertifikasi halal meski tetap berlaku terus, harus tetap ada audit berkala untuk memastikan yang disertifikasinya itu tidak melakukan perubahan apapun. Selama ini kan BPOM dan BPJPH mungkin kewalahan juga untuk melakukan inspeksi atau audit berkala, jadi ya perlu ada pelibatan industri pemastian,” imbuh Eliza.

Ia pun menekankan pentingnya kolaborasi antar kementerian/lembaga (K/L) pemerintah dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau swasta agar bisa melakukan audit rutin.

Wakil Kepala BPJPH, Afriansyah Noor

Afriansyah Noor

Di sisi lain, BPJPH sendiri mengaku tidak kecolongan dan menyatakan kalau pengeluaran sertifikat halal dari pihaknya sudah sesuai prosedur dan memenuhi kriteria produk. Wakil Kepala BPJPH, Afriansyah Noor, mengungkap saat pertama dilakukan audit, dalam produk-produk tersebut tidak ditemukan kandungan porcine atau unsur babi.

“Tapi setelah kita lakukan pengawasan pada tahun 2024 dan kita uji di awal tahun 2025, terbukti positif mengandung porcine,” kata pria yang akrab dipanggil Ferry itu, saat dikonfirmasi Tirto, Selasa (22/4/2025).

Memang, pada 2024 BPJPH menggandeng BPOM untuk meningkatkan koordinasi, sinkronisasi, dan kerja sama yang sinergis dalam pengawasan jaminan produk halal di bidang obat dan makanan.

Hal itu tertuang dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) Nomor 10 Tahun 2024 (BPJPH) dan Nomor KS.01.01.2.06.24.05 (BPOM) tentang Pengawasan Jaminan Produk Halal di Bidang Obat dan Makanan.

Menurut Ferry, titik kritis kehalalan suatu produk yang bisa mengakibatkan adanya kontaminasi/temuan kandungan babi di produk yang bersertifikat halal bisa terletak pada penggunaan bahan (bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong) yang digunakan dalam produksi, distribusi bahan (pre market) atau produk (post market), dan komitmen pelaku usaha dalam menerapkan implementasi Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH).

“Terkait penggunaan bahan, sangat ditentukan oleh komitmen pelaku usaha. Oleh karena itu komitmen ini menjadi poin penting dalam menjaga kehalalan produk dan Penyelia Halal berperan untuk bertanggungjawab menjaga implementasi SJPH ini di perusahaan. Ini sebagai bentuk BPJPH menjalankan amanah UU, menegakkan UU dalam bentuk pengawasan JPH di lapangan,” imbuh Ferry.

Ferry mengungkap agar tidak terjadi lagi kasus serupa, pihaknya berupaya untuk meningkatkan koordinasi dengan BPOM, dan beberapa kementerian lain seperti Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).

“Serta meminta pihak perusahaan untuk me-review kembali SOP [Standar Operasional Prosedur]-nya, mereka harus evaluasi kembali implementasi SJPH di perusahaannya,” kata Ferry.

Pentingnya Pengawasan Pasar dan Membangun Ekosistem Halal

Jika memang ada permainan di level pascaproses sertifikasi, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, Irfan S Beik, mendorong adanya penguatan sisi market surveillance alias pengawasan pasar.

“Jadi bagaimana BPJPH meningkatkan pengawasan market dan kemudian meningkatkan cek cepat kandungan haram, kandungan yang tidak halal. Sekarang sudah berkembang beberapa teknologi, bahkan beberapa yang membuat adalah orang Indonesia yang ada di luar negeri,” sebut Irfan ketika berbincang lewat telepon, Selasa (22/4/2025).

Bersamaan dengan pengawasan itu, layanan-layanan aduan dari masyarakat juga harus dibuka kalau ternyata pada prakteknya ada produsen halal yang ternyata mempermainkan aspek kehalalannya.

“Karena saya menduga begini, nggak mungkin ini ketahuan kalau nggak ada insider information. Dari mana tahu kalau misalnya proses market surveillance tidak dilakukan, maka dari mana ini kemudian bocor dan ketahuan,” imbuh Irfan.

Kata Irfan, kemungkinan besar ada orang-orang di dalam perusahaan yang mungkin merasa tidak nyaman dengan tindakan yang tidak benar, kemudian melaporkan. Dengan demikian, urgen pula untuk memperkuat ruang-ruang pengaduan masyarakat.

“Ya sehingga masyarakat yang menyampaikan informasi itu juga merasa nyaman dan aman. Nyaman dan aman artinya dia bisa melaporkan, tapi juga dia aman karena kondisinya atau statusnya anonim misalnya, tidak diketahui. Nah itu yang menurut saya menjadi penting. Jadi bagaimana me-manage pasca sertifikasi halalnya, supaya ini berjalan dengan baik dan kita juga terus melakukan pembinaan kepada para produsen halal, bahwa jangan sampai mereka melakukan itu,” jelas Irfan.

Logo label halal

logo label halal terpampang di restoran, jakarta. tirto/andrey gromico

Apabila aspek-aspek itu dipenuhi, maka produsen sendiri yang akan berhadapan dengan risiko reputasi dan risiko tidak dipercaya oleh publik. Poin lain yang juga signifikan menurut Irfan yaitu ketegasan penegakan hukum jika ditemukan pelanggaran.

“Karena begini, kalau akhirnya penegakan hukumnya nggak jelas juga, kan itu nanti akan memberi satu anggapan, persepsi kepada masyarakat, khusus para produsen, oh ternyata bisa dipermainkan gitu. Tinggal bayar oknum pejabatnya misalnya. Nah supaya itu nggak terjadi, maka penegakan hukum terhadap kejadian-kejadian seperti ini harus tegas,” imbuhnya.

Sepenurutan Irfan, langkah awal yang mesti dilakukan adalah diinvestigasi dan menyampaikan secara terbuka hasil investigasinya. Sebab, peringatan atau penarikan produk dianggap terlalu lunak.

“Harusnya sih masukkan juga pasal penipuan kan. Kan bisa pasal penipuan, banyak lah pasal yang bisa dikenakan yang ujungnya bisa memberikan tambahan hukuman. Karena khawatirnya yang lain akan begitu juga. Tarik produk-produk merek A, tapi begitu dia ganti merek, ya sama aja bohong kan gitu,” ungkap Irfan.

Irfan menekankan bahwa adanya unsur kesengajaan bisa dikenakan pasal penipuan dan hal itu sudah masuk ranah pidana. Untuk mengatasi dan mencegah berulangnya kasus ini, ia menekankan pentingnya edukasi dan sosialiasi kepada pelaku usaha.

“Kemudian yang kedua, kita harus membangun ekosistem halal yang terintegrasi. Jadi bukan hanya bicara sertifikasi. Sertifikasi itu adalah salah satu bagian saja. Tapi yang terbesar adalah ekosistem. Nah ekosistem halal ini kan berarti kita bicara dari hulu ke hilir,” jelas Irfan.

Artinya, dari mulai aspek produksi sampai kepada pasar mesti diperhatikan. Jangan sampai otoritas hanya berfokus pada sertifikasi halal lalu mengabaikan pengawasan-pengawasan setelahnya. Tak lupa, sekali lagi, penegakan hukum pun tak boleh kendor, sebab hal ini menyangkut hajat hidup orang banyak.

Baca juga artikel terkait HALAL atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang