tirto.id - Kerinci merupakan gunung tertinggi di Sumatra sekaligus tanah leluhur orang Melayu di Jambi. Tinggalan-tinggalan arkeologis yang paling awal di Nusantara, terutama di era peralihan dari masa prasejarah ke masa sejarah, jamak dijumpai di gunung setinggi 3.805 mdpl ini.
Dominik Bonatz dalam 4000 tahun Jejak Permukiman Manusia Sumatera (2015), mengatakan bahwa Kerinci bersama dengan wilayah dataran tinggi Sumatra Barat dan sekitaran Danau Toba, telah dihuni oleh manusia paling tidak sejak 7000 tahun yang lalu. Pada Situs Bukit Arat di Kerinci, dijumpai banyak sekali artefak tembikar selama penggalian yang dilakukan oleh Bonatz.
Menurut penanggalan thermoluminescence pada tembikar-tembikar tersebut, barang-barang itu paling tidak sudah ada sejak 1400-900 SM. Hal itu menimbulkan asumsi bahwa pada masa itulah pertama kali daerah ini dijadikan lahan pertanian sekaligus hunian pada masa neolitik.
Kebudayaan logam di Indonesia, salah satu buktinya yang paling awal juga dijumpai di Kerinci. H.R. van Heekeren dalam The Bronze-Iron Age of Indonesia (1958) memublikasikan pertama kali soal temuan artefak-artefak perunggu dari Kerinci.
Temuan itu di antaranya berupa nekara, bejana, perhiasan, dan figurin. Khusus bejana yang ditemukan di Kerinci, produk ini bisa dikatakan istimewa karena benda hampir serupa juga ditemukan di beberapa daerah di luar Pulau Sumatra, seperti Kalimantan, Jawa Barat, dan Madura.
Bejana perunggu Kerinci pertama kali ditemukan pada tahun 1922 di Mendapo Lolo, Kerinci. Diperkirakan berasal dari masa paleometalik dan memiliki dimensi 50,8 cm x 37 cm.
Seluruh permukaan artefak dihiasi dengan pola yang sama di kedua sisinya, terbagi dalam empat sekat. Sekat pertama di mulut dihiasi segitiga. Sekat kedua di leher memiliki motif 'J'. Sekat ketiga antara leher dan mulut dihiasi persegi panjang bergaris bergerigi. Sementara sekat keempat pada badan adalah yang paling beragam, menampilkan motif 'J', spiral, mata kapak, persegi, dan segitiga. Uniknya, motif persegi terdiri dari garis luar yang rata dan garis dalam yang bergerigi.
Menurut Hafiful Hadi Suliensyar pada “Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara: Pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss” (2017), motif segitiga bergerigi yang ada pada bejana itu merupakan bentuk awal dari motif pecak rebung yang umum dijumpai pada wastra di Indonesia. Sementara lengkungan mirip huruf ‘J’ pada bejana itu merepresentasikan tumbuhan paku yang jamak dijumpai di daerah pergunungan.
Dan motif persegi pada bejana itu merepresentasikan konsep parbokalo bungkan yang barempat, merujuk pada empat orang di dalam dewan adat Kerinci yang bertahan sampai sekarang. Berbagai simbolitas yang ditunjukkan pada bejana perunggu itu menurut Sunliensyar erat hubungannya dengan sistem spiritual masa awal di Kerinci.
Kebudayaan Lokal dan Interaksi Asing
Menurut Mai Lin Tjoa-Bonatz dalam “The Megaliths and the Pottery: Studying the Early Material Cultural of highland Jambi” (2009), tinggalan megalitik di Kerinci memiliki ciri kebudayaan India yang kuat.
Sebuah relief manusia membawa senjata berupa pedang dan tameng di daerah Benik, Keliling Danau, Kerinci, menurut Tjoa-Bonatz mungkin sekali merupakan pengadaptasian Dwarapala—figur mitologis penjaga gerbang bangunan suci Hindu atau Buddha—dalam kebudayaan kuno Kerinci.
Berbeda dengan figur Dwarapala lain yang sering kali digambarkan duduk bersimpuh dengan wajah garang dan tubuh gempal, Dwarapala di Benik cenderung ramping dan diposisikan berdiri sambil menari. Corak kebudayaan secara jelas berbeda dengan bentuk kebudayaan Sriwijaya/Melayu yang direpresentasikan oleh Kompleks Percandian Muaro Jambi.
Pendapat lain muncul dari tulisan J.G. de Casparis yang berjudul “An Ancient Garden in West Sumatra” (1990), yang menelusuri asal mula nama Kerinci. Menurutnya, Kerinci merupakan sebutan orang luar terhadap wilayah tersebut, sementara orang asli Kerinci menyebut daerah mereka sebagai “Kurinci”.
Kata “Kurinci” diperkirakan berasal dari bahasa Tamil, merujuk pada suatu bunga yang hanya tumbuh di daerah dataran tinggi setahun sekali. Kurinci di sisi yang lain menurut Casparis terikat dengan mitologi Tamil yang menganggap bahwa dunia ini dibagi menjadi 5 bagian, yang salah satunya disebut sebagai Kurinci.
Pengaruh Tamil dalam penafsiran Casparis ini bukanlah hal yang mengejutkan, mengingat pengaruh Tamil setidak telah masuk ke Pantai Barat Sumatra sejak abad ke-14 M. Oleh karena itu, besar kemungkinan Kerinci yang berada di tengah-tengah Pulau Sumatra mendapat pengaruh tersebut.
Naskah Melayu Kuno Tertua
Selain berbagai temuan di atas, hal penting dalam khazanah kebudayaan kuno di Kerinci adalah penemuan naskah Undang-undang Tanjung Tanah. Naskah beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuno ini pertama kali diumumkan oleh Uli Kozok dalam publikasinya yang berjudul Undang-undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua (2006), walaupun sebenarnya Kozok melanjutkan penelusuran ahli bahasa kolonial yang bernama Peter Voorhoeve.
Dalam uraian Kozok, naskah Undang-undang Tanjung Tanah pertama kali ditemukan di Mendapo Seleman, yang berjarak kurang lebih 15 km dari ibu kota Kerinci, Sungai Penuh. Saat ditemukan, naskah itu berbahan dasar daluang. Berdasarkan tinjauan penanggalan karbon yang telah dilakukan, kemungkinan naskah tersebut dibuat pada abad ke-14 dan baru berhasil diselesaikan pada abad ke-15.
Sebagaimana terdapat dalam teks yang disusun Kozok, disebutkan bahwa naskah itu ditulis pada masa Kerajaan Melayu sewaktu berkuasa di Dharmasraya pada era rezim Raja Adityawarman.
Undang-undang Tanjung Tanah secara umum berisi peraturan adat yang berlaku bagi masyarakat Kurinci dan ditulis oleh seseorang bernama Dipati Kuja Ali, atas restu dewan kerajaan yang berkedudukan di “Palimbang” (bukan Palembang sekarang, melainkan daerah hulu Sungai Batanghari sekarang).
Peraturan-peraturan tersebut isinya sangat kompleks, meliputi hukuman bagi para pencuri, perusak lingkungan, pelaku keributan, dan lain sebagainya. Uniknya, di bagian akhir teks muncul seloka puji-pujian kepada para dewa berbahasa Sansekerta yang disambung dengan terjemahan berbahasa Melayu Kuno.
Melalui Undang-undang Tanjung Tanah, Kerinci bisa dikatakan sebagai skriptorium Melayu paling lestari sampai saat ini, yang menyimpan pengetahuan orang pergunungan akan dunia antarbangsa sezamannya.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































