tirto.id - Sepi dan hampa. Itulah yang dirasakan BJ Habibie setelah ditinggal pergi istri tercintanya, Hasri Ainun Habibie. Untuk mengisi rongga dalam batinnya, maka di sela-sela acara takziah sekitar bulan Juni 2010, Habibie menyampaikan kepada jemaah bahwa ia akan menulis buku khusus mengenai mendiang istrinya.
Menurut jurnalis senior sekaligus sahabat keluarga Habibie, Andi Makmur Makka, buku persembahan tersebut awalnya hanya akan bercerita tentang Ainun saja. Akan tetapi, ketika naskah sudah jadi sebagian, Habibie mengubah pendiriannya dan mulai mengimbuhkan pula kepingan ingatan tentang semua kisah suka dan duka berdua.
“Judul Ainun digantinya menjadi Habibie & Ainun. Karena dalam kisah yang disusun, mustahil tanpa keterlibatan dirinya,” tulis Makmur Makka dalam kumpulan tulisan Ainun Habibie: Kenangan Tak Terlupakan di Mata Orang-Orang Terdekat (2012: hlm. 154).
Buku Habibie & Ainun diluncurkan pada 30 November 2010 dalam sebuah acara yang dihadiri sahabat dan tokoh-tokoh terkemuka. Belum lewat satu pekan, buku setebal 322 halaman ini sudah terjual sebanyak 12 ribu eksemplar. Pada awal bulan Desember di tahun yang sama, Habibie & Ainun kembali dicetak ulang sebanyak 50.000 eksemplar, dua kali lipat dari jumlah cetakan sebelumnya.
Habibie mungkin awalnya tidak menduga kisah cintanya bersama Ainun bakal mendapat apresiasi banyak orang. Ia barangkali juga tidak menyangka, buku kenangan yang ia tulis sebagai penawar rindu dan sepi itu justru melahirkan film adaptasi yang panjangnya berjilid-jilid.
Film Habibie & Ainun 3 yang rilis pada 19 Desember lalu merupakan seri film ketiga sekaligus yang paling baru, setelah Habibie & Ainun (2012) dan Rudy Habibie (2016). Produser Manoj Punjabi dari MD Pictures, perusahaan film yang memegang paten film-film Habibie, mengatakan bahwa tidak menutup kemungkinan pihaknya akan membuat film-film Habibie yang disebutnya sebagai Habibie Universe.
“Dalam lima tahun harus komplet 10 film (dalam brand Habibie & Ainun),” kata Manoj optimistis. “Nantinya, cerita tak hanya fokus pada Habibie, tapi juga orang lain di sekitarnya. Bisa jadi tentang almarhumah Ainun atau teman-teman Habibie yang kisah hidupnya inspiratif,” imbuhnya.
Rencana itu terdengar ambisius, tapi juga terkesan aji mumpung. Di tengah demam drama biopik tokoh-tokoh pejuang Indonesia, kisah asmara seumur hidup Habibie dan Ainun memang paling mudah menarik hati penonton awam, khususnya generasi muda yang sedang kasmaran dan bingung memilih pasangan hidup.
Dimulai dari Pengorbanan
Saat menulis buku Habibie & Ainun, Habibie banyak berkonsultasi dengan Makmur Makka mengenai gaya pengungkapan dalam buku tersebut. Mantan pimpinan redaksi harian Republika itu menilai gaya narasi Habibie sangat lancar. Selain berhasil mengungkap reportase sejarah hidupnya serta hubungannya dengan sang istri, Habibie juga mengimbuhkan pandangan religi tentang manusia dan kematian yang dikaitkan melalui sudut pandang Iptek.
Citra diri Habibie yang menggabungkan imtak (iman dan takwa) dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) sudah melekat semenjak ia dipilih menjadi Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) di tahun 1991. Namun, tidak banyak yang tahu jika citra itu sebenarnya tidak datang dari Habibie sendiri, melainkan gabungan dengan pengaruh yang diberikan Ainun.
Kepada Makmur Makka pula, Habibie mengaku bahwa dalam berumah tangga dia lebih condong sebagai “iptek”, sedangkan Ainun adalah “imtak”. Suara ketukan tuts mesin tik di ruang kerja Habibie yang beradu dengan lantunan bacaan Al-Quran milik Ainun adalah rutinitas yang sudah berlangsung selam 48 tahun usia pernikahan keduanya. Sudut pandang religius Ainun diakui sangat berpengaruh dalam pembentukan diri Habibie.
“Tanpa bantuan Ainun, saya kira saya susah mencapai apa yang saya capai atau menjalankan tanggung jawab saya,” aku Habibie.
Ainun pun sadar suaminya adalah orang yang gila kerja, punya idealisme tinggi, dan mementingkan cita-cita. Oleh karena itu, ia mengimbanginya dengan menjadi pendorong semangat demi terlaksananya semua tujuan itu. Agar semua berjalan baik, Ainun harus banyak berkorban, bahkan mengabaikan kepentingan-kepentingannya sendiri seperti melepas pekerjaannya sebagai dokter.
“Kalau istri banyak ngomel, rewel, dan cerewet, suami jadi tidak luwes bergaul. Akhirnya, suami tidak maju dalam pekerjaan. Sedapat mungkin suami harus bebas dari keruwetan rumah tangga agar bisa leluasa berpikir tentang pekerjaan,” kata Ainun dalam sebuah wawancara majalah Femina (6/12/1983).
“Kalau orang menikah kan harus ‘the big you and the small I’, ya, toh?” lanjutnya.
Tidak bisa dibantah, Ainun adalah cerminan perempuan ideal yang dahulu sangat dianggung-agungkan pemerintah Orde Baru melalui Panca Dharma Wanita. Kehadiran sosok perempuan yang memiliki kemampuan memotivasi dari belakang sudah mendapat tempat khusus di balik kesuksesan para pemimpin, bahkan Presiden Sukarno pun mengakuinya.
Dalam kisah yang dikumpulkan oleh Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002: hlm. 391), Sukarno sempat menasehati Soedjatmoko yang kala itu masih membujang agar memilih calon istri yang tidak memaksakan kemampuan intelektualnya. Menurut Sukarno, dalam sebuah rumah tangga tidak boleh ada dua kapten yang memimpin.
“Perempuan itu harus penurut, tidak cerewet, tidak suka membantah, tetapi santun dan sayang. Politisi dan pemikir itu hidup dalam serba ketegangan. Sehabis kerja satu hari mereka memerlukan suasana yang membikin kendor uraf saraf,” kata Sukarno.
Dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2018: hlm. 71) Sukarno pun mengaku bahwa di antara istri-istrinya, Inggit Garnasih merupakan satu-satunya sosok yang senantiasa mendorongnya di masa-masa perjuangan.
Seperti halnya Ainun bagi Habibie, Inggit hadir dalam romantika kehidupan Sukarno yang masih serba susah dan penuh pengorbanan, sebelum ia terjun dalam rutinitas nan glamor di Istana Presiden.
Perwujudan Cinta Altruistik?
Film Habibie & Ainun merupakan bentuk romantisasi segala pengorbanan cinta itu. Melaluinya, cinta sejati seolah harus selalu menguras air mata saat detik-detik terakhir maut memisahkan. Pada titik tersebut pula, kepercayaan akan konsep cinta sejati sebagai cinta yang dibawa sampai mati masih terus dipelihara.
Menurut psikolog Krystine I. Batcho, tidak ada penjelasan ilmiah untuk "cinta sejati". Sejumlah penelitian hanya berhasil memetakan enam bentuk cinta antar manusia: eros atau romantis, ludus atau permainan, storge atau pertemanan, pragma atau logis, mania atau posesif, dan agape atau altruistik. Keenamnya absah, tergantung pada karakteristik individu dan situasi di mana sebuah hubungan dimulai.
Masih mengutip Batcho, sikap altruistik menunjukan bentuk cinta yang paling mendekati dengan konsep cinta sejati. Alih-alih peduli dengan bagaimana hubungan dapat menguntungkan diri sendiri, agape atau cinta yang didasari sikap altruistik hanya fokus memenuhi kepentingan dari orang yang dicintai.
“Peneliti mengidentifikasi gaya ini sebagai kondisi ketika seseorang selalu berusaha membantu kekasih mereka melalui masa-masa sulit, mengorbankan keinginan mereka sendiri agar kekasih mereka bisa mencapai cita-citanya,” tulis Batcho.
Bentuk cinta altruistik itulah yang ditunjukan oleh Ainun kepada Habibie, juga oleh Inggit kepada Sukarno. Namun, tentu tidak semua perempuan bisa tiba di titik ke lapangan hati yang demikian. Tidak semua lelaki pula punya mimpi besar menjadi pelopor pembuatan pesawat terbang di negaranya atau bahkan mempersatukan sebuah bangsa.
Melalui film, cinta sejati menjadi terlihat seolah mudah digapai oleh semua orang. Padahal justru sebaliknya, hubungan Habibie dan Ainun bukan soal cinta saja, tetapi juga soal pengorbanan dan berusaha memberi. Jika tidak dibarengi dengan sikap yang demikian, maka cinta sejati hanya akan jadi mitos belaka.
Editor: Eddward S Kennedy