tirto.id - Masyarakat Indonesia lebih mengenal Bacharuddin Jusuf Habibie daripada istrinya, Hasri Ainun Habibie. Sebagaimana ibu pejabat kebanyakan, Ainun memang tidak terlalu menonjol di luar bidang pekerjaan sosial. Kisah hidupnya yang jarang diketahui itu baru benar-benar dikenal publik sejak ia meninggal pada tahun 2010.
Cerita keduanya dimulai sejak Ainun mendapatkan gelar dokter secara susah payah. Sehabis itu, ia disunting oleh Habibie, seorang mahasiswa teknik yang hidup pas-pasan di Jerman. Hanya berbekal dua koper pakaian, mereka bertolak dari tanah air pada 1962.
Dengan suka rela Ainun meninggalkan pekerjaan sebagai asisten di bagian kesehatan anak Fakultas Kedokteran UI yang sudah ditekuni hampir dua tahun. Setelah tiba di Jerman pun ia memilih tidak bekerja. Meski pun sempat hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit, pilihan hidupnya untuk menjadi istri dan ibu seutuhnya tidak pernah goyah.
Keputusan Ainun justru terlihat mengherankan untuk ukuran perempuan yang punya cita-cita tinggi seperti dirinya. Ketika ditanya alasan di balik keputusannya untuk tidak kembali menjadi dokter dalam sebuah wawancara majalah Femina edisi 6 Desember 1983, Ainun enggan berpanjang lebar.
“Saya lebih dibutuhkan di belakang layar,” jawabnya singkat.
Film Habibie & Ainun 3 dibawakan dengan tujuan memperkuat pengorbanan yang dilakukan Ainun itu. Perjuangan perempuan menjadi dokter di tahun 1950-an tentu lebih sulit dilakukan dibandingkan sekarang. Ainun berhasil melaluinya, tetapi memilih mengorbankannya demi suatu hal yang lebih besar, yakni mendukung cita-cita Habibie.
Seri film ketiga dari kisah Habibie & Ainun (2012) kali ini bertindak sebagai prekuel yang berputar di sekitar masa muda dan perjuangan Hasri Ainun menjadi dokter. Hanung Bramantyo kembali menorehkan namanya pada posisi sutradara setelah prequel lainnya, Rudy Habibie meraup sukses pada 2016 lalu.
Kisah tentang Emansipasi
Hasri Ainun (Maudy Ayunda) lahir dari seorang ibu yang berprofesi sebagai bidan. Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, ia kerap mendampingi sang ibu (Marcella Zalianty) membantu persalinan warga desa tempat mereka mengungsi.
Kendati paham tata cara pertolongan dalam persalinan, Ainun ternyata menolak menjadi bidan. Kepada ayah dan ibunya, Ainun mengutarakan ingin melanjutkan sekolah ke Fakultas Kedokteran UI agar bisa menolong lebih banyak orang.
Pak Besari (Lukman Sardi) mendukung cita-cita putrinya itu. Ia juga berpesan, meski negara sudah merdeka, tetapi masih banyak pikiran rakyatnya yang belum merdeka. Sang ayah takut, budaya kolot yang masih mengekang perempuan di tahun 1950-an justru akan menyulitkan putrinya menjalani profesi dokter yang masih dianggap sebagai pekerjaan laki-laki.
Nasihat sang ayah benar belaka. Jalan Ainun menjadi dokter perempuan dipenuhi pandangan-pandangan miring. Salah seorang senior congkak bernama Agus Sumarhadi (Arya Saloka) bahkan tak segan mengolok-olok Ainun dan mahasiswa perempuan lainnya bahwa mereka lebih pantas di bekerja dapur ketimbang menjadi dokter.
Selain Agus, cobaan Ainun di kampus juga datang dari dosennya sendiri. Profesor Husodo Notosastro (Arswendi Nasution) dikenal sebagai dosen killer yang suka menerapkan metode belajar sangat keras. Menurutnya, ilmu kedokteran tidak cocok untuk perempuan karena mereka memiliki sifat perasa yang sangat kuat sehingga sulit diberi tekanan.
Untuk ukuran film biopik Indonesia, Habibie & Ainun 3 sangat jauh dari kesan dramatisasi perjuangan yang menggebu. Tidak ada obrolan tentang nasionalisme yang terkesan menggurui di sini. Malah sebaliknya, untaian cerita dibeberkan secara sederhana agar bisa mengajak penonton mulai berpikir bahwa sifat sensitif itu identik dengan kebaikan.
Dalam perjuangan meraih gelar dokter, Ainun tidak ditunjukan menahan atau bahkan membuang sifat bapernya. Perasaan perempuan ini justru diolah menjadi ciri yang membedakan Ainun dari calon dokter lainnya. Dalam sebuah adegan penilaian praktik menangani pasien, Ainun bisa unggul dari Agus juga berkat sikapnya yang lembut.
Dari awal kisah, Agus sudah diperkenalkan bakal menjadi antagonis utama di jalan perjuangan Ainun. Segala narasi klise berupa sifat ambisius, sombong, dan meledak-ledak yang ada dalam tokoh ini dimunculkan semata-mata agar penonton tahu kepada siapa seharusnya rasa simpati itu diberikan.
Sosok Ainun berhasil terbungkus rapi ke dalam citra perempuan lemah lembut tetapi berkemauan keras. Hal ini ditunjukan dalam sebuah adegan ketika Ainun merasa kasihan kepada anak yang terkena penyakit disentri di sebuah pemukiman kumuh yang kemudian malah mendorongnya memberi pengobatan gratis di sana.
Dalam narasi film Habibie & Ainun 3, perempuan lembut, sensitif, dan biasa menangis bukan berarti ia sedang tertindas. Sikap naif juga tidak selalu menjadi kelemahan yang berakhir pada kegagalan. Dalam kisah Ainun, kondisi demikian justru menjadi kekuatan.
Bahtera Itu Bernama Indonesia
Tidak bisa dibantah, kisah perjalanan cinta Ainun muda menjadi unsur yang paling dinanti dari Habibie & Ainun 3. Selayaknya film pertama dan keduanya, kisah cinta yang dibungkus dengan pesan nasionalisme berhasil membuat film ini terhindar dari kesan klise yang biasanya mengakar dalam film romantis Indonesia.
Sebelum menikah dengan Habibie, Ainun punya kisah cinta lain bersama pemuda bernama Ahmad (Jefri Nichol). Ahmad digambarkan sebagai sosok pemuda cerdas yang punya segudang keraguan terhadap bangsa dan negaranya sendiri. Ia menganggap orang Indonesia memiliki banyak keboborokan mentalitas, mulai dari masalah sepele seperti suka berprasangka buruk hingga kecurangan dalam hal politik.
Ahmad adalah bukti bahwa keraguan atas negara itu nyata. Sosoknya menjadi begitu masuk akal begitu penonton menyadari bahwa prasangka itu diungkapkan oleh Ahmad dalam suasana politik Orde Lama yang yang kian memanas di pengujung dekade 1950-an.
Visualisasi historis semacam ini ditempelkan dengan seksama sedari awal film, seperti pamflet Pemilu 1955 yang menempel di setiap dinding gang hingga peristiwa repatriasi orang-orang Belanda yang beberapa kali muncul dalam wujud eksposisi.
Perjalanan asmara Ainun dan Ahmad ini dituturkan oleh Rudy Habibie tua yang diperankan dengan cukup meyakinkan oleh Reza Rahadian. Sambil bercerita tentang mantan pacar mendiang istrinya itu di hadapan cucu-cucunya, Rudy mengenang kembali pertemuan pertamanya dengan Ainun.
Meskipun hanya muncul tidak sampai seperempat film, Rudy menaruh pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan sosok Ainun. Cita-cita Rudy mempersatukan Indonesia menggunakan pesawat terbang yang ia utarakan kepada Ainun dalam pesta perpisahan SMA secara tidak langsung membuat Ainun merasa takjub.
Ainun kembali mengingat sosok Rudy--yang sudah menjadi mahasiswa konstruksi pesawat terbang di Aachen, Jerman Barat--ketika mendengar pidato Sukarno yang disiarkan dari Jerman. Berkat Rudy pula, Ainun mulai mempertanyakan ideologi Ahmad. Hubungan asmara ketiganya dibawakan dengan sangat dewasa tanpa ada pertentangan receh khas cerita asmara anak remaja.
Di pengujung film, Rudy mengakhiri kisahnya dengan senyum. Ia layaknya Rose yang mengenang kembali pertemuan pertama dan terkahir dengan Jack dalam film Titanic. Bedanya Habibie dan Ainun tidak tenggelam, mereka justru mengudara di atas bahtera bernama Indonesia.
Editor: Eddward S Kennedy