Menuju konten utama
Byte

Menebar Benih Budaya Digital di Gurun Saudi

Arab Saudi makin serius menancapkan pengaruhnya di kancah teknologi. Setelah ikut di konstelasi AI global, kali ini mereka mencoba mencengkeram dunia gim.

Menebar Benih Budaya Digital di Gurun Saudi
Sebuah ponsel pintar dengan logo Electronic Arts terlihat di depan grafik saham yang ditampilkan dalam ilustrasi ini yang diambil pada 16 September 2021. REUTERS/Dado Ruvic/Ilustrasi

tirto.id - Senin, 29 September 2025, malam waktu Amerika Serikat, industri gim global diguncang oleh kabar mencengangkan. Electronic Arts (EA), salah satu penerbit gim paling berpengaruh di dunia, resmi diakuisisi oleh Public Investment Fund (PIF) Arab Saudi bersama Silver Lake dan Affinity Partners dalam kesepakatan senilai 55 miliar dolar AS.

Transaksi itu mencatatkan rekor. Ia menjadi akuisisi dengan pembiayaan utang (leveraged buyout/LBO) terbesar dalam sejarah industri gim, sekaligus salah satu yang terbesar dalam sejarah dunia keuangan modern. EA pun terpaksa angkat kaki dari bursa saham dan menjadi perusahaan privat; PIF memegang kendali mayoritas sedangkan Affinity menguasai sekitar 5 persen saham.

Reaksi dunia gim dan keuangan bercampur aduk antara keterkejutan, kekaguman, dan kecemasan. Di satu sisi, Saudi telah berinvestasi secara bertahap di sektor ini sejak 2021. Namun, pengambilalihan EA--pemegang lisensi global untuk waralaba, seperti EA Sports FC (sebelumnya FIFA), Madden NFL, The Sims, dan Battlefield--adalah langkah yang mengubah posisi Riyadh dari investor strategis menjadi aktor utama dalam infrastruktur budaya digital Barat.

Di balik angka fantastis dan tetek bengek finansial, akuisisi EA adalah pernyataan politik, ekonomi, dan kultural. Ini bukan transaksi biasa, melainkan sebuah langkah strategis untuk menguasai arena permainan global.

Pandemi sebagai Titik Balik

Pandemi COVID-19 menjadi titik balik bagi industri gim dunia. Ketika jutaan orang terkurung di rumah, gim tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga ruang sosial, ekonomi, dan budaya. Konsumsi melonjak, penjualan perangkat keras meningkat, dan perusahaan-perusahaan gim mendadak berada di pusat ekonomi digital global. Momentum inilah yang ditangkap oleh kepemimpinan Arab Saudi, yang sejak beberapa tahun sebelumnya tengah mendorong diversifikasi ekonomi melalui program Vision 2030.

Pada 2021, pemerintah Arab Saudi membentuk Savvy Games Group sebagai kendaraan utama untuk mengimplementasikan ambisi tersebut. Entitas ini didanai dan dikendalikan langsung oleh PIF, dengan mandat menjadikan Arab Saudi sebagai pusat industri gim dan e-sports dunia dalam waktu kurang dari satu dekade. Dari situlah rangkaian langkah strategis dimulai: investasi bertahap, akuisisi perusahaan penting, dan pembangunan infrastruktur kompetitif yang menjadikan Arab Saudi sebagai pemain aktif.

Langkah awal yang paling mencolok terjadi pada 2022, ketika PIF mulai membeli saham minoritas di sejumlah penerbit besar, seperti Activision Blizzard, Take-Two Interactive, dan Nintendo. Nilainya memang tidak seberapa dibandingkan akuisisi EA. Namun tujuannya jelas: menancapkan posisi Saudi di ekosistem global melalui kepemilikan strategis, sekaligus membangun kepercayaan sebagai investor serius.

Tak lama kemudian, Savvy mengakuisisi ESL dan FACEIT, dua operator turnamen e-sports paling berpengaruh di dunia, dalam satu paket besar. Dengan akuisisi itu, Saudi menguasai sebagian besar infrastruktur kompetisi internasional, dari turnamen skala besar hingga liga profesional.

Menyusul kepemilikan saham strategis di sejumlah penerbit besar dan akuisisi operator turnamen e-sports global pada 2022, Arab Saudi mulai memasuki fase ekspansi lebih luas dan ambisius. Fokusnya tak lagi sekadar menanamkan modal, tetapi membangun struktur vertikal yang menghubungkan penerbitan, kompetisi, distribusi, dan teknologi.

Pada 2023, Savvy Games Group membeli Scopely, penerbit gim mobile asal AS, dengan nilai kesepakatan sekitar 4,9 miliar dolar AS--salah satu akuisisi terbesar dalam sejarah sektor mobile. Langkah ini memberi Saudi pijakan kuat dalam pasar mobile global, segmen yang kini menjadi sumber pendapatan utama industri gim. Di tahun yang sama, investasi ratusan juta dolar ke Hero Esports (sebelumnya VSPO) memperluas jangkauan ke ekosistem kompetitif Asia, khususnya Tiongkok, wilayah dengan basis pengguna dan liga e-sports yang masif.

Tahun berikutnya, 2024, menjadi momen konsolidasi di arena kompetitif. Festival Gamers8 berevolusi menjadi Esports World Cup, yang menjadikan Riyadh tuan rumah tetap dalam kalender kompetisi global. Tim lokal bernama Twisted Minds muncul sebagai simbol ambisi Saudi untuk membangun kekuatan kompetitif domestik yang mampu bersaing di panggung internasional. Pada saat sama, Saudi mengakuisisi divisi gim Niantic untuk memperluas kemampuan teknologi berbasis lokasi dan membuka jalur distribusi konten di luar format tradisional.

Rangkaian langkah itu menunjukkan bahwa ekspansi Saudi tidak sporadis. Ia dirancang untuk memperluas jangkauan dari hulu ke hilir; dari penerbitan, teknologi, kompetisi, hingga distribusi global. Menjelang pertengahan dekade, orientasinya makin jelas: ia bukan sekadar menjadi investor, melainkan arsitek ekosistem budaya digital dengan daya jangkau lintas benua.

Mengapa Harus EA?

Pengambilalihan Electronic Arts menjadi titik kulminasi dari seluruh strategi Saudi di industri gim. Setelah kesepakatan itu diumumkan pada akhir September 2025, sorotan publik bergeser dari mekanisme pembiayaan ke pertanyaan strategis yang lebih dalam: mengapa EA yang dipilih dan apa konsekuensi kepemilikan itu terhadap budaya digital global?

EA menempati posisi nyaris tak tergantikan dalam ekosistem gim global. Mereka mengontrol kekayaan intelektual (intellectual property/IP) yang membentuk kebiasaan bermain dan konsumsi lintas generasi.

EA Sports FC (sebelumnya FIFA) dan Madden NFL bukan hanya gim olahraga biasa, melainkan ritus global penghubung komunitas sepak bola dan olahraga lintas negara. Begitu juga dengan The Sims, yang telah menjadi ruang eksplorasi identitas dan representasi sosial selama lebih dari dua dekade, serta Battlefield si penyandang beban simbolik sebagai representasi konflik geopolitik modern. Oleh karena itu, pengambilalihan EA menandakan bahwa Saudi telah memegang kendali atas kanal budaya global.

Game EA Sports FC 24

Game EA Sports FC 24. foto/www.ea.com

Signifikansi khusus terletak pada sepak bola. Dalam konteks ini, EA Sports FC menjadi sarana soft power yang sangat efektif. Terlebih, Arab Saudi telah menginvestasikan miliaran dolar dalam sepak bola internasional, mulai dari membeli klub, menggelar turnamen, hingga mengontrak pemain bintang.

Kontrol atas waralaba gim sepak bola terbesar dunia memperluas jangkauan pengaruh Saudi ke ranah digital, menjangkau ratusan juta pemain yang setiap tahun membeli dan memainkan gim itu. Dengan kata lain, EA Sports FC menjadi perpanjangan tangan dari proyek citra Saudi di lapangan hijau dan dunia virtual.

Namun, langkah itu tidak bebas dari risiko. The Sims, misalnya, sejak awal dikenal sebagai ruang ekspresi LGBTQ+ dan kebebasan sosial yang sangat kontras dengan kebijakan domestik Riyadh. Battlefield sarat dengan konten militer dan politik yang sering kali menyentuh isu sensitif. Hal itu memunculkan kekhawatiran bahwa pengambilalihan platform gim itu akan berdampak pada arah kebijakan editorial dan konten.

Dari sisi politik, keterlibatan Jared Kushner melalui Affinity Partners menambah lapisan geopolitik pada akuisisi tersebut. Menurut sejumlah analis, investasi itu tidak hanya menyatukan modal finansial dan ambisi budaya, tetapi juga jejaring politik, terutama di AS. Dalam kerangka tersebut, akuisisi EA dapat dibaca sebagai bagian dari strategi “bro-vestment” Arab Saudi; mereka menggunakan jaringan personal dan politik untuk mengamankan kendali atas aset strategis budaya global.

Sementara itu, analis keuangan menilainya sebagai bentuk ekspansi ambisius ke wilayah yang penuh ketidakpastian. EA diambil alih dengan leverage besar dan ekspektasi pertumbuhan tinggi. Menurut analisis Reuters, keberhasilan finansial transaksi itu bergantung pada kemampuan Saudi mendorong ekspansi pendapatan atau efisiensi biaya secara agresif, yang jelas mengandung risiko tinggi.

Namun, terlepas dari pro-kontranya, dengan akuisisi EA, posisi Saudi berubah secara fundamental. Jika sebelumnya hanya sebagai investor strategis dan operator infrastruktur e-sports melalui ESL, FACEIT, dan Savvy, kini mereka menjadi pemilik mesin produksi budaya itu sendiri.

Soft Power dan Rekayasa Budaya

Hal yang dilakukan Arab Saudi di industri gim merupakan perpanjangan dari strategi citra dan soft power yang menjadi jantung program Vision 2030. Kali ini, instrumen yang dipilih bukan lagi hanya sepak bola, festival film, atau golf profesional, melainkan dunia gim, ruang sosial yang cair, lintas batas, dan dihuni oleh generasi muda dari seluruh dunia.

Akuisisi dan investasi strategis di sektor gim menjadi bentuk “rekayasa budaya” dengan skala yang belum pernah dilakukan oleh negara mana pun. Sebab, gim bukan hanya media hiburan, tetapi juga infrastruktur budaya, tempat komunitas terbentuk, identitas dinegosiasikan, dan narasi global dijalankan secara organik. Dengan menguasai konten dan infrastruktur, Saudi menempatkan dirinya di posisi untuk memengaruhi arus simbolik dan interaksi digital secara langsung.

Logo EA (Eletronic Arts) Sports

Logo EA (Eletronic Arts) Sports terlihat dalam ilustrasi ini, 10 Agustus 2022. REUTERS/Dado Ruvic/Ilustrasi/Foto File

Strategi itu juga menunjukkan kematangan taktis dalam penggunaan dana kedaulatan. PIF tidak sekadar menempatkan modal pada aset menguntungkan, tetapi memilih sektor yang membawa leverage politik dan kultural tinggi dengan tingkat pengawasan regulatif longgar.

Industri gim--berbeda dengan film atau penyiaran--tidak memiliki kerangka regulasi global yang kuat. Akibatnya, kepemilikan terhadap IP besar atau platform kompetitif akan memberi ruang pengaruh jauh lebih luas daripada investasi sektor media konvensional.

Dengan cara ini, Riyadh tengah membangun bentuk baru dari soft power; bukan melalui diplomasi budaya negara, melainkan melalui kepemilikan atas infrastruktur digital tempat budaya global berlangsung. Ini bukan sekadar soal bagaimana Saudi ingin dilihat; mereka ingin membentuk cara dunia berinteraksi, bermain, dan bercerita.

Namun, keberhasilan strategi Saudi tidak hanya ditentukan oleh besarnya modal dan IP yang mereka kuasai, tetapi juga oleh kemampuannya menjawab segala tantangan yang mungkin bakal muncul, dari soal regulasi dan pengawasan, sensor konten, hingga beban utang pembelian. Cara Saudi menavigasi itu semua akan menentukan apakah langkah ambisius ini menjadi tonggak dominasi budaya baru atau justru berbalik menjadi batu sandungan jangka panjang.

Baca juga artikel terkait TEKNOLOGI atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Byte
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin