tirto.id - Industri gim barangkali tidak seglamor industri film maupun musik. Akan tetapi, dari segi nilai, gim sama sekali tidak kalah. Pada 2024, nilai industri gim diperkirakan mencapai 224 miliar dolar AS, dan lima tahun mendatang nilainya diprediksi bisa mencapai 300 miliar dolar AS.
Nilai tersebut unggul jauh ketimbang industri musik yang "hanya" mencapai 29,6 miliar dolar AS. Jika dibandingkan dengan industri film yang nilainya mencapai 308,47 miliar dolar AS, gim memang masih kalah. Akan tetapi, perbedaannya tidak terlalu mencolok.
Besarnya nilai industri ini menunjukkan bahwa gim saat ini bukan cuma mainan anak-anak yang bisa dipandang sebelah mata. Lebih dari itu, ia telah menjadi arena bisnis, bagian tak terpisahkan dari kultur pop, bahkan identitas sosial: para pemain gim tertentu bisa sangat bangga dengan apa yang mereka mainkan.
Tentunya, pertumbuhan ini juga membawa konsekuensi. Setiap ruang digital dengan nilai ekonomi besar akan menarik perhatian pelaku kejahatan. Industri gim, dengan jutaan pengguna aktif harian dan transaksi miliaran dolar setiap bulan, jelas menjadi target empuk. Mulai dari pencurian akun, penipuan, hingga serangan yang melumpuhkan layanan, semua sudah pernah terjadi.
Dari sini, wajar jika kita kemudian bertanya-tanya: Adakah platform gim yang benar-benar aman?
Sebesar Apa Ancaman untuk Industri Gim?
Sebelum menjawab pertanyaan soal keamanan platform, mari kita telusuri terlebih dahulu skala ancaman yang mengintai para pelaku industri gim, mulai dari penerbit dan pengembang sampai para pemain. Sepanjang 2024, tampak bahwa ancaman yang muncul semakin mengkhawatirkan.
SecurityBrief UK melaporkan bahwa sepanjang tahun lalu platform gim menjadi salah satu sektor yang paling gencar diserang. Lonjakan traffic berbahaya—mulai dari bot otomatis, upaya intrusi berbasis web, hingga serangan distributed denial-of-service (DDoS)—naik signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
DDoS, misalnya, bekerja dengan membanjiri server gim hingga tidak sanggup menampung lalu lintas, membuat pemain tidak bisa masuk, dan perusahaan kehilangan pendapatan harian. Laporan itu menekankan bahwa pola serangan kini tidak lagi sporadis, melainkan terorganisasi dan berlangsung dalam skala industri. Artinya, bagi penjahat siber, platform gim dianggap target yang menjanjikan, setara dengan perbankan atau e-commerce.
Kerentanan juga terbukti ada pada level teknis aplikasi. Laporan TerraNova Security mengungkapkan bahwa sekitar 17 persen serangan siber memanfaatkan celah pada aplikasi web, sementara 98 persen aplikasi yang ada di pasaran masih mengandung kerentanan.
Statistik ini penting karena banyak layanan gim modern tidak lagi hanya hadir dalam bentuk perangkat keras dan software konsol, tetapi juga terhubung dengan aplikasi web untuk login, marketplace, atau integrasi media sosial. Setiap celah kecil bisa menjadi pintu masuk. Artinya, kelemahan tidak selalu terletak pada gim itu sendiri, melainkan juga pada ekosistem digital yang mengelilinginya.
Bagi pemain, dampaknya terasa nyata. Survei Beyond Identity di Amerika Serikat menemukan bahwa 66 persen gamer mengaku pernah mengalami peretasan saat bermain. Survei semacam ini memang bergantung pada laporan diri (self-reported), tetapi justru menegaskan bahwa pengalaman diretas kini begitu umum hingga dianggap hampir normal.
Kelompok pemain yang paling rentan terkena serangan seperti ini adalah anak-anak. Kaspersky merilis data yang menunjukkan serangan terhadap pemain gim muda melonjak 30 persen pada paruh pertama 2024 dibandingkan semester kedua 2023.
Pola serangannya khas. Anak-anak digoda dengan cheat yang menjanjikan kemenangan instan, modifikasi gim yang tampak menarik, atau tautan hadiah gratis. Begitu mereka mengklik atau menginstal file, malware menyusup dan mencuri informasi pribadi. Kaspersky menekankan bahwa ini bukan sekadar kerentanan teknis, melainkan juga kerentanan sosial. Pasalnya, anak-anak cenderung belum memiliki kesadaran digital, sehingga lebih mudah diperdaya.
Konsol Paling Aman?
Di tengah derasnya ancaman serangan siber, konsol sering dipandang sebagai benteng terakhir yang paling kokoh. Banyak pemain merasa lebih tenang ketika bermain di PlayStation, Xbox, atau Nintendo ketimbang di PC atau ponsel. Apa pasal?
Di PC, masalahnya jelas: ekosistemnya terlalu terbuka. Siapa saja bisa mengunduh gim dari berbagai sumber, memasang modifikasi, atau mencoba versi bajakan. Fleksibilitas ini memang membuat PC jadi platform yang kreatif dan kaya variasi, tetapi juga membuka banyak celah bagi penyerang.
Kaspersky mencatat, sepanjang 2021–2022, ribuan serangan siber berawal dari file cheat dan gim tiruan yang disusupi malware. Tren ini pun terus berlanjut hingga sekarang. Dalam kasus seperti ini, pemain sering kali baru sadar komputernya diretas setelah data pribadi atau kredensial akun mereka hilang.

Ponsel menghadapi persoalan lain. Banyak yang percaya toko aplikasi resmi sudah menjadi filter yang memadai. Namun, laporan NCSC Inggris menunjukkan fakta sebaliknya: aplikasi berbahaya tetap berhasil menembus Google Play maupun App Store sebelum akhirnya diturunkan.
Celah ini semakin berbahaya karena gim mobile kini sarat dengan fitur sosial—wall, forum, atau obrolan dalam permainan—yang sering kali menjadi medium penyebaran tautan phishing. Celakanya, ruang obrolan internal inilah yang kerap dimanfaatkan penjahat siber untuk menipu anak-anak dengan iming-iming hadiah gratis atau akses premium.
Sementara itu, konsol menawarkan pengalaman berbeda. Pasar gimnya tertutup dan dikurasi ketat. Misalnya, pemilik PlayStation hanya bisa membeli software lewat PlayStation Store atau dalam bentuk hardcopy resmi. Perangkat keras dan perangkat lunak pun dirancang saling mengunci sehingga kemungkinan pengguna memasang aplikasi liar nyaris mustahil.
Inilah yang membuat konsol mendapat reputasi sebagai perangkat “plug-and-play” yang aman: cukup dinyalakan, login, lalu langsung bermain. Bagi banyak orang tua, ini memberi rasa aman karena anak bisa bermain tanpa risiko berhadapan dengan ribuan aplikasi dari sumber tak jelas.
Tidak Ada Platform yang 100 Persen Aman
Namun, rasa aman dalam menggunakan konsol itu sebenarnya lebih banyak lahir dari persepsi ketimbang kenyataan. Sebab, sejarah industri gim menunjukkan bahwa bahkan konsol sekalipun tidak pernah benar-benar kebal.
Kasus paling terkenal terjadi pada 2011, ketika PlayStation Network (PSN) dibobol. Ini menjadi salah satu pelanggaran data terbesar di industri hiburan digital. Sekitar 77 juta akun pengguna terekspos, termasuk data pribadi dan informasi finansial. Layanan PSN pun harus ditutup selama 24 hari penuh, sementara kerugian finansial Sony diperkirakan menembus US$170 juta.
Hampir satu dekade kemudian, Nintendo menghadapi masalah serupa meski dalam bentuk berbeda. Pada 2020, sekitar 160 ribu akun pengguna diretas melalui credential stuffing, yakni teknik pembobolan di mana penjahat siber memanfaatkan kebiasaan orang memakai ulang kata sandi dari layanan lain. Akibatnya, banyak akun dipakai untuk pembelian ilegal.
Serangan juga datang dari level layanan. Pada libur akhir tahun 2014, baik Xbox Live maupun PSN lumpuh selama berhari-hari akibat serangan DDoS masif. Grup peretas Lizard Squad mengaku bertanggung jawab dan jutaan pemain kehilangan akses di momen yang seharusnya jadi puncak aktivitas gim daring.
Di era cross-play (satu gim bisa dimainkan di lebih dari satu pelantar), ancaman lain datang dari keterhubungan lintas platform. Akun konsol sering dikaitkan dengan layanan pihak ketiga seperti Epic Games (Fortnite), Activision (Call of Duty), atau EA (Battlefield). Efek negatifnya, jika salah satu layanan itu dibobol di PC atau ponsel, dampaknya bisa ikut merembet ke profil konsol.
Ancaman terakhir, dan barangkali yang paling sulit diantisipasi, adalah faktor manusia. Phishing, rekayasa sosial, hingga penipuan dukungan pelanggan palsu terbukti lebih ampuh daripada upaya teknis apa pun. Imperva mencatat bahwa para penjahat siber masih menjadikan kesalahan manusia sebagai vektor serangan paling efektif di dunia gim daring.
Yang Sudah dan Perlu Dilakukan
Industri gim tentu tidak tinggal diam menghadapi berbagai serangan yang menimpanya. Hampir semua platform besar kini mewajibkan atau setidaknya mendorong penggunaan multi-factor authentication (MFA) atau two-factor authentication (2FA). PlayStation, Xbox, maupun Nintendo menawarkan opsi ini untuk memastikan bahwa login tidak bisa dilakukan hanya dengan mencuri kata sandi.
Selain itu, penyedia layanan juga memperkuat pertahanan infrastruktur. Laporan NordLayer menyebut, perusahaan gim kini semakin banyak berinvestasi dalam mitigasi DDoS, pemantauan 24/7, serta siklus patch yang lebih cepat demi menutup celah keamanan sebelum dieksploitasi. Serangan mungkin tidak bisa dihapus sepenuhnya, tetapi dampaknya bisa ditekan.
Dan tentu saja, tanggung jawab tidak berhenti di level perusahaan. Para pemain juga memiliki peran besar dalam menjaga akunnya tetap aman. Menggunakan kata sandi yang unik untuk setiap akun adalah langkah dasar yang kerap diabaikan. Mengaktifkan 2FA, menghindari tautan mencurigakan, serta menolak godaan cheat atau modifikasi ilegal juga penting.
Bagi orang tua, tantangannya lebih besar. Data Kaspersky sudah menunjukkan betapa mudahnya anak-anak menjadi korban. Itu sebabnya edukasi tentang bahaya phishing, serta pemakaian kontrol orang tua di konsol, bisa menjadi langkah krusial. Dengan cara itu, anak-anak tidak hanya dilindungi oleh sistem konsol, tetapi juga dipersenjatai dengan kesadaran digital.
Kesadaran digital, baik dari perusahaan maupun pemain, akan selalu menjadi garis pertahanan terakhir. Tanpa itu, sebesar apa pun investasi keamanan, industri gim tetap akan menjadi ladang empuk bagi penjahat siber.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































