tirto.id - Uber, ride-sharing yang menjual bisnis operasional di Cina dan Asia Tenggara pada Grab, telah merilis Uber Lite, versi minimal dari aplikasi untuk pasar India. Uber Lite merupakan aplikasi Uber yang telah dilucuti: hanya menyisakan fitur utama. Uber Lite diklaim hemat memori, bekerja lancar di jaringan internet lemot, dan mampu dipasang pada ragam versi Android. Uber Lite memiliki ukuran instalasi sebesar 5 megabyte. Memiliki perbedaan jauh dibandingkan versi asli aplikasi ini dengan ukuran instalasi sebesar 181,4 megabyte.
Chief Executive Officer (CEO) Uber Dara Khosrowshahi, dalam laporan The Verge, menyatakan “India merupakan komponen kunci Uber untuk berkembang.” Ia melanjutkan “kesuksesan di India akan memainkan peranan yang teramat penting bagi pertumbuhan bagaimana kami melakukan inovasi.”
Dalam versi lite, Uber menghilangkan fitur peta yang biasanya langsung terlihat ketika pengguna menggunakan Uber. Uber Lite hanya memanfaatkan GPS milik pengemudi, bukan pengguna. Desain yang minimalis, yang hanya menampilkan titik penjemputan dan tujuan, jadi apa yang ditawarkan Uber pada versi ringan ini. Kesemuanya menciptakan aplikasi yang ringan dan hemat data.
Langkah Uber merilis versi lite aplikasi mereka, khususnya di pasar India, merupakan jawaban pada Ola, ride-sharing yang sejak Desember 2017 lalu menguasai 56,2 persen pangsa pasar India. Sementara Uber hanya menguasai 39,6 persen pangsa pasar. Sebelum Uber meluncurkan Uber Lite, pada 26 Januari 2018 Ola meluncurkan Ola Lite. Ola Lite memiliki ukuran instalasi sebesar 1 megabyte, lebih ringan dibandingkan versi original yang memiliki ukuran sebesar 13,03 megabyte.
Namun, secara global, Uber, dan Ola, tengah mengikuti tren yang sedang berkembang di dunia aplikasi: merilis versi lite alias lightweight. Versi kecil, ringan, dan hanya menyajikan fitur utama dari suatu aplikasi versi original.
Perusahaan teknologi pertama yang merilis versi lite ialah Facebook. Saat itu, pada Juni 2015, Facebook merilis Facebook Lite di tiga negara: Nigeria, Sri Langka, dan Vietnam. Langkah Facebook merilis versi lite langsung dibuntuti Line, aplikasi pesan instan yang dimiliki Naver, dengan merilis Line Lite. Line Lite meluncur pada Juli 2015 di beberapa negara, seperti India, Meksiko, dan Arab Saudi.
Merilis aplikasi versi lite juga dilakukan Google. Setidaknya, ada tiga aplikasi utama milik Google yang memiliki versi sederhana nan ringan itu. Ketiga aplikasi itu ialah YouTube Go sebagai versi lite dari YouTube yang meluncur pertama kali pada Februari 2017, Maps Go sebagai versi sederhana Google Maps yang meluncur pada Desember 2017, dan Google Go, versi sederhana dari Google yang diperkenalkan pada Desember 2017.
Selain merilis versi lite untuk aplikasi, Google juga merilis versi lite untuk sistem operasi Android. Di awal 2018, Google merilis Android Oreo Go Edition, Android ringan yang dirancang untuk dapat bekerja di smartphone murah, yang memiliki RAM antara 512 megabyte hingga 1 gigabyte.
Istilah “lite” pertama kali digagas oleh Apple pada 2010. Makna “lite” yang kini diartikan sebagai versi ringan, hemat data, dan sejenisnya. Namun, kala itu “lite”merujuk pada aplikasi di iOS yang beberapa fiturnya dikunci, pengguna memperoleh versi penuh jika ia membayar. Versi ini kadang disebut “feature-restricted version.”
Android dan Buruknya Internet
Johanna Wright, Vice president of Product Management Google, seperti diwartakan Mashable, mengatakan aplikasi versi lite dibuat “dengan mempertimbangkan ketersediaan internet yang buruk.” Skype, aplikasi Voice over Internet Protocol milik Microsoft, merilis Skype Lite. Pada laman resmi mereka, versi lite diluncurkan “guna memaksimalkan jaringan 2G dan mengakomodasi jaringan internet yang tidak stabil.” Senada dengan Google dan Skype, Line, melalui laman resminya, menyatakan versi lite ditujukan untuk “mereka yang menggunakan smartphone murahan.”
Versi lite dari suatu aplikasi ditujukan bagi dua kondisi: saat pengguna memakai smartphone murahan dan internet yang buruk, terutama di negara-negara berkembang.
Quartz, dalam laporannya berjudul "There are now more than 24,000 different Android devices" terdapat 24 ribu jenis smartphone Android yang berbeda-beda pada hari ini. Sayangnya, begitu banyak jenis smartphone juga sebanding dengan tingginya disparitas Android.
Android versi Gingerbread (Android 2.3) misalnya. Ia masih digunakan oleh 0,3 persen populasi Android di dunia. Populasi Andorid, sebagaimana diklaim Google pada Mei 2017, berjumlah 2 miliar pengguna aktif bulanan. Artinya, ada sekitar 6 juta perangkat yang masih menggunakan Android Gingerbread.
Kitkat, versi Android 4.4, kini masih digunakan oleh 10,3 persen populasi robot hijau itu. Unggul dibandingkan versi Oreo, Android 8.0, yang baru digunakan oleh 4,9 persen populasi.
Selain disparitas Android, masalah berikutnya adalah buruknya internet di negara-negara berkembang. Dalam blog resmi Twitter disebutkan bahwa 45 persen pengguna internet masih tergantung pada jaringan 2G yang lambat alias lemot.
Speedtest, layanan pengecek kecepatan internet, dalam indeks yang mereka rilis, menyatakan Norwegia merupakan negara dengan koneksi internet mobile tercepat. Memiliki kecepatan download hingga 62,70 megabyte per detik. Di 10 besar indeks itu, tidak ada nama India, Indonesia, Pakistan, atau negara-negara Afrika. Indeks didominasi oleh negara maju, seperti Singapura, Qatar, Belanda, Australia, dan Kanada.
Disparitas versi Android, terutama karena masih banyaknya orang yang menggunakan versi jadul, serta kondisi internet yang buruk menyulitkan pengembang mengoptimalkan suatu aplikasi dengan hanya merilis versi original, tanpa merilis versi “lain” dalam artian versi lite.
Vijay Shankar, Product Manager Facebook Lite, pada Josh Constine dari Techcrunch, mengatakan timnya tengah meneliti pengalaman pengguna memakai Facebook selama setahun terakhir. Mereka “cukup banyak melakukan penelitian di Afrika, India, dan Indonesia.”
Hasilnya, Facebook, menurut Vijay memerlukan aplikasi yang bisa berjalan di versi Android apapun, meskipun RAM dan CPU memiliki kinerja rendah. Media sosial itu pun perlu dapat dengan mudah diakses di jaringan 2G, yang menurut klaim Vijay, digunakan lebih dari 4 miliar penduduk bumi. Terakhir, aplikasi harus dapat seirit mungkin mengkonsumsi data, bahkan masih bisa digunakan pada kondisi tanpa internet. Versi lite adalah jawaban.
Progressive Web App
“Website harus beradaptasi pada teknologi mobile,” kata Rahul Roy-Chowdhury, salah seorang teknisi Google Chrome pada Wired.
Google, terutama melalui tangan teknisinya bernama Alex Russell, pada 2015, melahirkan teknologi yang bernama progressive web app (PWA). PWA merupakan aplikasi berbasis web. Dalam bahasa sederhana, PWA ialah situsweb, tetapi memiliki kemampuan seperti aplikasi original.
Dalam laman pengembangan Google, disebut PWA ialah: progressive dan responsive yang bisa dijalankan di perangkat apapun dengan spesifikasi apapun, connectivity independent atau bisa dijalankan online dan offline, installable atau memungkinkan menempatkan logo di home screen smartphone tanpa instalasi apapun, dan app-like atau memiliki kemampuan selayaknya aplikasi.
PWA merupakan perkembangan lanjutan dari dunia situsweb. Ini terjadi sejak 2005 lalu yang kala itu dunia web berubah dari pasif ke dinamis, seiring kehadiran pemrograman berbasis server-side seperti PHP dan ASP.NET. Selain itu, hadir pula Ajax dan Jquery yang memungkinkan desain situsweb menjadi lebih dinamis, menyerupai aplikasi.
Konsekuensi PWA adalah situsweb, tapi mirip selayaknya aplikasi, maka teknologi ini sangat cocok menjadi alternatif versi original aplikasi bagi gawai murahan serta jaringan yang buruk. Jika versi lite memiliki besar instalasi dari 1 megabyte hingga 5 megabyte, PWA memiliki besar dalam rentang kilobyte. Menariknya, PWA bisa dinikmati tanpa instalasi, tanpa perlu mengunjungi Google Play.
Salah satu aplikasi yang telah mengimpelemtasikan PWA ialah Twitter dan Instagram. Melalui perambah web di smartphone, khususnya Chrome, pengguna bisa memanfaatkan segala layanan Twitter dan Instagram tanpa perlu menginstall aplikasi masing-masing.
Menurut Google sendiri, PWA laku keras bak kacang goreng. Telah tercipta 13,3 miliar permintaan halaman melalui Chrome yang diproses Google. Tercatat ada 9,3 miliar notifikasi yang dikirim Chrome atas permintaan pengguna yang menggunakan PWA. PWA merupakan bukti bahwa web sukses beradaptasi.
“Kami tahu itu (dan kami telah melakukannya),” kata Roy-Chowdhury.
Editor: Suhendra