tirto.id - Sejak lima dekade terakhir, peningkatan permintaan dari pabrik pengolahan di Tiongkok, Amerika Serikat dan Eropa mendorong budidaya rumput laut di Indonesia, Filipina serta sejumlah negara tropis lainnya meluas, menurut Peter G.M. van der Heijden dalam studi berjudul Seaweed in Indonesia: Farming, Utilization and Research (2022).
Rumput laut telah digunakan selama berabad-abad sebagai makanan, obat dan pupuk oleh masyarakat pesisir. Rumput laut tergolong makroalga yang berhabitat di area pasang surut laut, di mana biasa ia tumbuh subur baik secara alami maupun dibudidayakan.
Ada beraneka macam kelompok rumput laut yang hidup di perairan Indonesia. Secara garis besar, rumput laut diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok taksonomi.
Yaitu rumput laut cokelat (sekitar 2.000 spesies di bawah Phaeophyceae), lalu rumput laut merah (lebih dari 7.200 spesies di bawah Rhodophyta) dan rumput laut hijau (lebih dari 1.800 spesies makroalga di bawah Chlorophyta).
Di Indonesia jenis rumput laut yang paling banyak dibudidayakan masuk ke kelompok rumput laut merah, yakni kappaphycus alvarezii (cottonii), eucheuma denticulatum (spinosum), dan gracilaria.
Uniknya, cottonii, yang paling banyak dibudidayakan di Tanah Air karena menghasilkan karaginan dengan kualitas baik, justru berasal dari Filipina. Jenis rumput laut ini dibawa ke Indonesia tahun 1978 dan pertama kali dibudidaya di Nusa Dua, Bali.
Kemudian pada 1980-an pemerintah Indonesia melihat potensi komersialisasi rumput laut dan melakukan ekspor rumput laut pertama kalinya. Sejak saat itu, komoditas ini menjadi salah satu mata pencarian utama masyarakat pesisir.
Karaginan merupakah produk turunan cottonii dan spinosum yang digunakan sebagai bahan pengental (emulsifier) untuk makanan, kosmetik hingga obat.
Tanaman Minim Perhatian yang Kaya Potensi
Di negara kita, budidaya rumput laut banyak digeluti perempuan dan pemuda. Hal ini mengingat rumput laut tergolong tanaman yang cukup mudah dibudidayakan dengan modal yang minimal.
Tidak seperti tanaman hortikultura yang butuh banyak input, budidaya rumput laut hanya bermodal benih, tali dan matras atau tikar untuk mengeringkan. Tidak perlu memiliki lahan, membeli pupuk, atau pestisida. Petani sepenuhnya dapat mengandalkan wilayah perairan dan nutrisi dari laut.
Alhasil, sektor ini terpilih menjadi sumber pendapatan bagi puluhan ribu rumah tangga di wilayah pesisir Sulawesi, Jawa, Nusa Tenggara, dan Kalimantan Timur. Zannie Langford dan rekan dalam studinya yang berjudul Price Analysis of the Indonesian Carrageenan Seaweed Industry (2022) menyampaikan setidaknya 250.000 rumah tangga bergantung pada sektor ini.
Lebih lanjut, berkat kandungannya, rumput laut juga termasuk komoditas laris di sektor industri makanan maupun non-makanan. Ia sering diolah menjadi berbagai produk, mulai dari pakan ternak, obat-obatan, kosmetik, tekstil, pupuk, hingga biofuel. Keberadaan tumbuhan ini menawarkan manfaat sosio-ekonomi, terutama untuk masyarakat pesisir.
Selain itu, rumput laut memainkan peran penting dalam ekosistem perairan karena membentuk basis energi jaring makanan bagi semua organisme. Ia berguna sebagai mitigasi eutrofikasi, menangkap karbon atau sekuestrasi, memperbaiki pengasaman laut serta menyediakan habitat dan perlindungan garis pantai.
Pada 2020 lalu, analisa oleh Seaweed Insights menempatkan Indonesia sebagai produsen rumput laut terbanyak kedua setelah Tiongkok. Saat itu, negara kita mampu memanen total 9,5 juta ton dengan rerata pertumbuhan tahunan dari 2010 hingga 2020 di level 9,3%.
Berdasarkan data BPS, ekspor rumput laut mencapai 140 ribu ton pada 2012 dan meningkat jadi 232 ribu ton pada 2022. Pada periode yang sama, nilai ekspor turut merangkak dari USD110 juta pada 2012 menjadi USD398 juta pada 2022 atau setara Rp6,1 triliun (kurs Rp15.300/USD).
Dari grafik di bawah terlihat adanya lonjakan nilai ekspor yang cukup signifikan dari tahun 2021 ke 2022. Hal ini disebabkan meroketnya harga. Tercatat pada periode Juli 2021 hingga Agustus 2022, harga jual rumput laut kering naik dari hanya Rp19.500/kg menjadi Rp50.000/kg.
Mempertimbangkan potensi tersebut, budidaya rumput laut tentu begitu penting bagi negara kita. Ia termasuk komoditas akuakultur prioritas dalam Indonesia Blue Economy Roadmap 2023-2045. Tumbuhan ini diharap bisa membantu sektor maritim berkontribusi 15% terhadap Produk Domestik Bruto serta mewujudkan target 12% dari total lapangan kerja pada 2045 mendatang.
Terlebih lagi, grafik permintaan global terhadap komoditas rumput laut diperkirakan terus menanjak karena manfaat yang ditawarkannya. Industri rumput laut diperkirakan akan mencatatkan pertumbuhan tahunan 10,5% dengan pendapatan menyentuh USD48 miliar atau setara Rp734,4 triliun pada tahun 2030.
Berdasarkan hasil penelitian Scott Spillias dkk berjudul Reducing Global Land-Use Pressures with Seaweed Farming (2022), tumbuhan ini menawarkan solusi alternatif sumber produk makanan, pakan ternak, hingga bahan bakar.
Budidaya rumput laut dapat menghemat 110 juta hektare kebutuhan manusia terhadap lahan pertanian di darat. Saat ini, setidaknya 650 juta hektare lautan bisa dimanfaatkan sebagai area. Rumput laut juga sanggup mengganti makanan konvensional sebanyak 10% secara global dan diyakini mampu membentengi keragaman hayati.
Tantangan Iklim dan Harga
Bersamaan dengan peluang itu, ada tantangan besar mengadang Indonesia. Perubahan iklim global memicu anomali cuaca dan pemanasan air laut, mendorong pertumbuhan bakteri yang dijuluki ice-ice. Media lingkungan melaporkan bahwa penyebarannya kini mengancam petani rumput laut di Maluku.
Sebenarnya, ice-ice bukan masalah baru. Ia juga pernah menghancurkan budidaya rumput laut di Semenanjung Zamboanga, Mindanao, Filipina. Paparannya ditandai dengan bercak merah pada bagian thallus, menyebabkan warna rumput laut menjadi putih dan akhirnya mengalami kerontokan. Penyakit ini bersifat menular.
Menurut Ranjiv Alibon dkk dalam penelitian berjudul Incidence of Ice-Ice Disease Associated with Kappaphycus alvarezii in the Seaweed Farms in Zamboanga Peninsula, Mindanao, Philippines (2019), penyakit ice-ice timbul karena beberapa faktor. Antara lain suhu dan tingkat pH yang tinggi serta salinitas dan kedalaman air yang rendah.
Penjelasan Ranjiv selaras dengan isi penelitian Limin Santoso yang berjudul Pengendalian Penyakit Ice-Ice untuk Meningkatkan Produksi Rumput Laut Indonesia (2007). Faktor utama pemicu ice-ice adalah perubahan kondisi lingkungan secara mendadak seperti pada salinitas, suhu air dan intensitas cahaya. Sebagian dari faktor itu kini berlangsung.
Seperti diketahui, kembalinya El Nino – pemanasan suhu permukaan laut Samudera Pasifik – di tengah tren perubahan iklim yang terus berlanjut berpotensi meningkatkan suhu global lebih dari 1,5 derajat Celsius. Fenomena ini tak pelak memberi ancaman serius terhadap masa depan budidaya rumput laut RI.
Mengingat dampaknya yang begitu merugikan, perlu upaya khusus agar penyakit ice-ice bisa segera diatasi. Menurut Limin, penerapan standard operating procedure yang benar dan konsisten mampu meminimalisir risiko itu. Misalnya dengan menentukan lokasi budidaya yang cocok, memilih bibit berkualitas, dan memanfaatkan teknologi.
Dalam menentukan lokasi budidaya rumput laut, terdapat parameter penting yang harus diperhatikan. Seperti suhu yang berkisar 20-28 derajat Celsius, kecepatan arus 20-40 sentimeter per detik dan lain sebagainya. Sedangkan untuk bibit, peneliti memberi beberapa rekomendasi. Ia harus berasal dari tanaman yang tumbuh baik, segar dan tidak mudah patah.
Penerapan teknologi budidaya rumput laut juga harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan perairan. Pada perairan yang relatif tenang, metode budidaya rakit, long line, dan pancang dapat diterapkan. Sedangkan pada perairan yang bergelombang besar disarankan agar memakai metode kantong.
Tantangan lainnya adalah fluktuasi harga jual yang signifikan. Merujuk penelusuran Antaranews, harga rumput laut kering di Kabupaten Rote Ndao, NTT yang sebelumnya di kisaran Rp40.000/kg anjlok menjadi hanya Rp14.000/kg. Padahal harga benihnya saja sudah Rp10.000/kg.
Zannie dkk mencoba menganalisa fluktuasi harga rumput laut di Indonesia dan menemukan 4 temuan utama.
Uniknya, harga tidak berhubungan secara signifikan dengan atribut kualitas rumput laut, seperti kadar air, pasar, dan garam. Alhasil tidak ada perbedaan harga substantial antara kualitas tinggi dan rendah.
Ternyata fluktuasi harga mayoritas dipengaruhi oleh permintaan internasional, utamanya industri pengolah karaginan. Kemudian juga terdapat pola tahunan yang konsisten pada pergerakan harga.
Terakhir, sistem distribusi dan transportasi utama dari desa-desa penghasil ke pusat pengepul juga berdampak pada perubahan harga. Hal ini menunjukkan terdapat peluang untuk menjaga harga jual rumput laut kering dengan peningkatan koordinasi antar pelaku rantai pasokan.
Rumput laut merupakan komoditas primadona Indonesia yang memiliki potensi pengembangan yang besar mengingat Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia.
Sebelum fokus pada hilirisasi sektor rumput laut, perlu ada perhatian khusus pada sisi hulu untuk menjamin produktivitas dan kelangsungan budidayanya.
Meskipun tanaman ini minim perhatian, tapi petani butuh dukungan solusi teknik penanaman dan benih unggul untuk dapat mengatasi risiko iklim dan penyakit. Selain itu, pemerintah juga perlu ikut campur membenahi rantai pasok untuk meminimalisir fluktuasi harga.
Tanpa dukungan pada sektor hulu, kita berpotensi kehilangan ratusan juta dolar karena bisa kehilangan pasar ekspor rumput laut kering karena penurunan produktivitas. Tidak hanya itu, kesejahteraan masyarakat pesisir Indonesia pun terancam.
Editor: Dwi Ayuningtyas