tirto.id - El Nino diramal kembali muncul pada akhir 2023 mendatang. Ia berpeluang menciptakan gelombang panas atau heat wave terdahsyat dalam sejarah. Fenomena cuaca ini bagai momok menakutkan bagi aspek hidup manusia, mulai dari kesehatan hingga perekonomian.
Menurut laporan Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO), suhu global telah menyentuh rekor selama 2015-2022. Tahun lalu, angkanya tercatat 1,2 derajat Celsius di atas periode pra-industri (1850-1900) sehingga menobatkan 2022 sebagai tahun terpanas ke-5 atau ke-6.
Sejauh ini, belum ada tanda-tanda situasi bakal membaik. Berdasarkan analisa Kantor Meteorologi Inggris (UK Met Office), kondisi justru lebih condong memburuk. Kembalinya El Nino – pemanasan suhu permukaan laut Samudera Pasifik – di tengah tren perubahan iklim yang terus berlanjut berpotensi meningkatkan suhu global lebih dari 1,5 derajat Celsius.
Peringatan sekaligus kekhawatiran para pakar sepertinya bukan omong kosong belaka. Sebab, El Nino memang pernah menyebabkan suhu global mencetak rekor terpanas pada 2016 silam. Lebih dari itu, perubahan iklim telah memicu cuaca ekstrem berlangsung nyaris di seluruh penjuru dunia.
Tahun lalu saja, kekeringan melanda wilayah Afrika bagian timur dan menyulut alarm krisis pangan, sementara banjir besar menerjang sebagian wilayah di Asia Selatan seperti Pakistan. Gelombang panas juga diyakini berperan di balik kematian setidaknya 15.000 orang di Eropa.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), heat wave mengakibatkan lebih dari 166.000 jiwa meninggal di seluruh dunia kurun 1998-2017. Gelombang panas termasuk gejala alam yang paling berbahaya. Tetapi ia jarang menarik perhatian karena jumlah kematian dan kehancuran yang ditimbulkan tidak seketika.
Setelah penderitaan demi penderitaan, dunia masih berkutat dengan masalah yang sama. Akan tetapi, kali ini situasinya jauh lebih horor. Jika ramalan itu benar-benar terjadi, maka rekor gelombang panas yang pernah tercatat pada 2016 maupun 2022 seolah tidak ada apa-apanya.
“Sangat mungkin El Nino besar berikutnya membawa suhu kita naik lebih dari 1,5 derajat Celsius,” ujar Head of Long-Range Prediction UK Met Office Prof Adam Scaife dilansir dari The Guardian.
Gelombang Panas Tekan Perekonomian
Dari hasil studi David García-León dkk berjudul Current and Projected Regional Economic Impacts of Heatwaves in Europe (2021), diketahui bahwa heat wave telah menjadi masalah tersendiri bagi perekonomian.
Sementara itu, WEF mencatat empat gelombang panas yang terjadi kurun 2003-2018 telah menghancurkan Produk Domestik Bruto (PDB) Eropa sebesar 0,3%-0,5%. Selama 1980-2000, ia sudah menelan biaya hingga 70 miliar euro di 32 negara benua tersebut.
Dalam penelitian berjudul Globally Unequal Effect of Extreme Heat on Economic Growth yang diterbitkan jurnal Science Advance (2022), Christopher W. Callahan dan Justin S. Mankin menemukan fakta yang mencengangkan.
Ternyata, negara-negara berkembang dan miskin di daerah tropis lah yang paling menderita dan menanggung konsekuensi besar akibat heat wave. Padahal, mereka tidak berkontribusi besar terhadap kerusakan iklim layaknya negara-negara maju di daerah dingin.
Penelitian membuktikan bahwa gelombang panas ekstrem punya efek berbeda-beda sesuai iklim suatu negara.
Bagi yang terletak di wilayah tropis yang hangat, heat wave bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Sebaliknya, ia justru menguntungkan bagi negara-negara dengan iklim dingin dan tidak begitu berpengaruh di negara iklim sedang.
Studi mengungkapkan bahwa gelombang panas menekan 6,7% PDB per kapita per tahun di daerah desil pendapatan terbawah negara-negara tropis, tetapi hanya 1,5% untuk daerah di desil pendapatan teratas daerah dingin.
Ambil contohnya Brasil. Suhu rata-ratanya tercatat 23,8 derajat Celsius dan tergolong hangat. Akibat gelombang panas, pertumbuhan mereka tertekan sedalam 0,63 poin persentase (pp).
Namun kondisi berbeda dialami Norwegia. Sebagai negara yang terletak di wilayan beriklim dingin, mereka lebih beruntung dibanding Brasil. Saat cuaca panas ekstrem berlangsung, ekonomi mereka justru tumbuh 0,62 pp.
Lebih lanjut, hasil studi juga mengungkapkan, secara kumulatif, kerugian ekonomi akibat panas ekstrem antropogenik selama 1992-2013 di kisaran USD5-29,3 triliun secara global.
Di lain pihak, dalam kajian berjudul The Most At-Risk Regions in The World for High-Impact Heatwaves terbitan jurnal Nature Communications (2023), Vikki Thompson dan sejawat mengidentifikasi wilayah yang di muka bumi yang berpotensi mengalami gelombang panas terdahsyat dalam waktu dekat.
Untuk mengetahui hasilnya, mereka menggunakan teori Extreme Value Theory (EVT) dan analisis ansambel besar model iklim.
Ternyata, heat wave akan melanda negara ekonomi berkembang maupun maju. Mulai dari Afghanistan, Papua New Guinea, Tiongkok, Argentina, Australia hingga kawasan Eropa dan Amerika.
Yang lebih memberatkan, sebagian dari mereka bakal mengalami gelombang panas di tengah ledakan populasi serta keterbatasan sumber daya kesehatan dan energi.
Pada April lalu, suhu panas telah memecahkan rekor nyaris seantero Asia. Selain Tiongkok dan beberapa negara di Asia Selatan, ia juga menerjang beberapa tetangga kita seperti Thailand, Myanmar, Laos dan Vietnam.
Namun menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gelombang itu tidak terjadi di Indonesia.
Melalui siaran resmi, BMKG menyatakan bahwa suhu panas yang terjadi di Bumi Pertiwi akhir-akhir ini tidak tergolong heat wave. Secara karakteristik, suhu panas yang terjadi di wilayah Indonesia merupakan fenomena yang diakibatkan gerak semu matahari dari siklus yang biasa terjadi tiap tahun.
Lonjakan suhu maksimum di wilayah Indonesia tercatat 37,2 derajat Celsius pada 17 April 2023, tepatnya di Ciputat, Banten. Kondisi ini tidak berlangsung lama dan kemudian menurun. Setelah itu, suhu maksimum yang teramati di RI berada dalam kisaran 34-36 derajat Celsius.
Secara karakteristik, gelombang panas umumnya terjadi pada wilayah yang terletak di lintang menengah hingga lintang tinggi belahan bumi bagian utara maupun selatan. Sedangkan Indonesia sendiri berada di wilayah ekuator.
Selain karakteristiknya, heat wave juga dapat dijelaskan dari segi indikator statistik suhu kejadian, Dalam ilmu cuaca dan iklim, ia didefinisikan sebagai periode kenaikan suhu panas yang tidak biasa dan berlangsung setidaknya lima hari berturut atau lebih.
Dengan demikian, BMKG menyatakan bahwa cuaca gerah yang terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu tidak tergolong gelombang panas.
Kondisi Ekonomi RI
Terlepas kaitannya, ekonomi Indonesia patut menjadi perhatian jelang heat wave global terdahsyat yang akan tiba akhir tahun 2023. Hal ini menginggat, studi dari Statista menemukan bahwa negara tetangga Ibu Pertiwi memiliki potensi kerugian hingga ribuan triliun akibat gelombang panas.
Malaysia menjadi negara yang diprediksi mengalami penurunan produktivitas terbesar pada tahun 2030 akibat gelombang panas dengan jumlah kerugian mencapai USD95 miliar atau setara Rp1.397 triliun (asumsi kurs Rp14.700/USD).
Lebih lanjut, Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja mengumumkan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ada di level 5,03% secara tahunan (year-on-year/yoy).
Sektor yang mencatatkan pertumbuhan tertinggi adalah sektor transportasi dan pergudangan (15,93%), disusul oleh sektor informasi dan komunikasi (7,19%), serta pertambangan dan penggalian (4,92%).
Sementara itu, industri dengan tingkat pertumbuhan terendah adalah pertanian (0,34%) dan konstruksi (0,32%). Kedua sektor tersebut adalah sektor yang paling rentan terkena dampak El Nino.
Gelombang panas atau cuaca panas ekstrem meningkatkan resiko gagal panen. Selain itu, material konstruksi juga akan lebih mudah memuai bahkan meleleh.
Meskipun BKPM menyampaikan Indonesia tidak akan mengalami gelombang panas, tetapi akan lebih baik jika pemerintah mengambil langkah antisipasi untuk meminimalisir kerugian ekonomi akibat penurunan produktifitas yang mungkin terjadi karena El Nino tahun ini.
Editor: Dwi Ayuningtyas