Menuju konten utama

Menakar Langkah Danantara Masuk Bisnis Peternakan & Perkuat MBG

Sampai saat ini, lahan peternakan rakyat yang justru disewakan kepada pihak asing, sementara infrastruktur yang ada tidak dimanfaatkan secara optimal.

Menakar Langkah Danantara Masuk Bisnis Peternakan & Perkuat MBG
Ilustrasi peternakan ayam. foto/Korsek PNM

tirto.id - Keterlibatan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) mulai menunjukkan arah yang jelas. Baru-baru ini, Chief Operating Officer (COO) Danantara Dony Oskaria mengatakan lembaganya akan masuk dalam bisnis peternakan ayam pedaging dan petelur.

Langkah tersebut dilakukan demi mendukung penyediaan sumber protein hewani untuk program flagship Prabowo Subianto: memberi makan anak sekolah hingga ibu hamil dan menyesui. Meski masih dalam tahap kajian, total investasi yang disiapkan tak tanggung-tanggung, mencapai Rp20 triliun.

“Kita membutuhkan banyak protein. Pemerintah juga berupaya agar kita bisa swasembada protein-protein ini,” kata Dony di Kemenko Pangan, Selasa (11/11/2025).

Apa yang disampaikan Donny tak berlebihan. Ketua Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hidayana, dalam rapat di Komisi IX DPR RI, menyampaikan kekhawatirannya soal lonjakan permintaan bahan pangan seiring bertambahnya penerima manfaat MBG dan dibukanya Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Baru.

Untuk memenuhi kebutuhan daging ayam, misalnya, setiap SPPG membutuhkan 700 ayam pedaging. Sementara Untuk telur, setiap SPPG paling tidak membutuhkan 3.000 butir atau sekitar 4.000 ayam petelur setiap dua kali seminggu.

”Belum nanti kebutuhan telur dan daging ayam untuk 32.000 SPPG dalam setahun. Tanpa ada penambahan peternak ayam, serta peningkatan produksi telur dan daging ayam, kita pasti akan mengalami kekurangan kedua komoditas pangan itu pada 2026,” kata Dadan.

Hal serupa juga disampaikan Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik S Deyang. Menurutnya, komoditas sayur dan protein hewani yang paling sering digunakan tenaga gizi SPPG telah menunjukkan tanda-tanada kenaikan di berbagai wilayah.

“Penyediaan bahan baku MBG bisa menjadi permasalahan yang memicu inflasi. Harga wortel sudah sangat tinggi, di kisaran Rp23-25 ribu per kilogram, padahal sebelumnya hanya Rp12–14 ribu. Telur dan ayam potong juga ikut naik,” tuturnya dalam keterangan resmi.

Karena itu, ia menilai investasi yang disiapkan Danantara untuk sektor peternakan sangat penting dan strategis. Terutama, untuk membentuk ekosistem terintegrasi yang akan melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di hulu dan peternakan kecil di hilir. "

“Pembangunan akan dimulai pada Januari 2026 dan merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk menyejahterakan peternak dan memperkuat ketahanan pangan nasional,” kata Nanik.

Peternak Rakyat Perlu Diperkuat

Achmad Damawi, Senior Vice President Japfa, salah satu perusahaan perunggasan terbesar di Indonesia, mengungkapkan bahwa kebutuhan program MBG atas pasokan ayam karkas dalam jumlah masif memang perlu jadi perhatian.

"Ini semacam menjadi kekhawatiran bagi pemerintah maupun pelaku perunggasan atas ketersediaannya," ujarnya kepada Tirto.

Karena itu, ia mendukung penuh langkah Danantara untuk terlibat langsung di sektor peternakan nasional, khususnya unggas. Terlebih, Undang-Undang Pangan No.18/2018 telah mengamanatkan pemerintah untuk menyediakan pangan yang bergizi yang terjangkau bagi rakyat.

Konsep keterjangkauan tersebut tak hanya dari sisi harga, melainkan juga distribusi ke daerah tertentu. "Kedua, saya mendukung karena tidak dapat dipungkiri bahwa konsumsi protein hewani itu selain mencerdaskan juga menyehatkan bangsa," tambahnya, sembari menyinggung soal konsumsi protein hewani Indonesia yang masih tertinggal dibandingkan negara tetangga.

Namun, di balik dukungannya, Damawi memberikan pertimbangan mengenai alokasi dana tersebut. Menurutnya, pembedaan daerah produksi dan daerah pasar harus menjadi pertimbangan utama.

Daerah produksi ideal, menurutnya, berada di lokasi dengan infrastruktur yang sudah mumpuni, seperti Pulau Jawa dan Sumatera, alih-alih membangun peternakan baru di remote area.

Ia juga menekankan bahwa membangun peternakan bukan sekadar mendirikan bangunan, tetapi juga menjamin kontinuitas produksi, ketersediaan pakan, obat-obatan, dan yang terpenting, pasar.

“Karena prinsipnya sebuah peternakan itu akan lebih ideal kalau dia dekat atau tidak jauh dengan konsumennya,” jelas Damawi. “Sehingga secara distribusi itu tidak mahal, dan yang kedua juga secara kualitas akan tetap bagus.”

Alternatif lainnya, hemat Damawi, adalah alokasi dana investasi untuk memperbaiki sarana distribusi dan membangun pusat-pusat distribusi di daerah terpencil.

"Sehingga kalau saya, beberapa daerah tertentu, menurut saya akan lebih bijak kalau seandainya pemerintah itu membuat sarana distribusi yang diperbaiki sehingga kecukupannya, harganya untuk transportasi, dan mungkin semacam distribution center, pusat distribusi di daerah-daerah yang memang terpencil,” tambahnya.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua Umum HKTI Bidang Perlindungan Tani, Ki Musbar. Menurutnya, membangun peternakan baru skala besar hanya akan mengulangi kesalahan masa lalu, di mana industri hulu (budidaya) dibangun secara masif sementara industri hilir (distribusi) terabaikan. Akibatnya, disparitas harga dan inflasi, khususnya di wilayah Indonesia Timur, kerap kali tak terhindarkan.

Fokus pada aspek hilirisasi dan distribusi dianggap sebagai solusi yang lebih strategis dan berdampak langsung pada stabilitas harga serta keterjangkauan harga. Sebab, kata Musbar, masalah utama sektor perunggasan saat bukan terletak pada kurangnya produksi, melainkan pada inefisiensi yang terjadi setelah ayam-ayam itu meninggalkan peternakan.

Namun demikian, ia menyambut baik rencana hilirisasi sektor perunggasan, dengan catatan bahwa hal itu harus diiringi dengan perbaikan sistem distribusi nasional.

“Hilirisasi itu sudah ditunggu-tunggu sejak lama sekali. Karena apa? Karena selama ini para stakeholder perunggasan hanya sibuk membangun Industri Hulu secara terintegrasi tetapi mengesampingkan pengembangan industri hilirisasi,” ucapnya kepada Tirto, Selasa (18/11/2025).

Musbar juga mengungkapkan bahwa kelalaian pemerintah terhadap sektor perunggasan saat ini telahmenciptakan ekonomi biaya tinggi, sehingga harga komoditas unggas di tingkat konsumen menjadi mahal. Karena itu, pengembangan hilirisasi yang tepat diharapkan dapat memotong jalur tata niaga yang berbelit.

Ia secara khusus juga mengingatkan pentingnya mengangkat kembali program Tol Laut yang pernah dicanangkan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, pada tahun 2014. Program ini, hematnya, dapat menjadi tulang punggung untuk menjamin pasokan pangan pokok, termasuk daging dan telur unggas, ke seluruh penjuru negeri.

“Sehingga kekuatan supply komoditas unggas untuk kebutuhan utama MBG dan Masyarakat di luar Pulau Jawa bisa datang tepat waktu dan diharapkan tidak terjadi lagi disparitas harga yang terlalu tinggi,” ujarnya.

Kritik yang lebih tajam datang dari pengamat peternakan Rochadi Tawaf. Dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran ini secara tegas menilai bahwa membangun peternakan ayam dari nol merupakan langkah yang berisiko tinggi dan memakan waktu lama.

Ia menawarkan solusi yang lebih realistis: merevitalisasi peternakan yang sudah ada, khususnya peternakan rakyat yang kondisinya memprihatinkan. “Lebih realistis jika pemerintah masuk ke perusahaan yang sudah ada, terutama yang bangkrut, lalu direvitalisasi,” kata Rochadi dikutip dari Antara.

Rochadi, yang juga Sekretaris Jenderal DPP Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia, menyoroti kondisi amburadul peternakan rakyat yang tertekan oleh industri besar. Banyak lahan peternakan rakyat yang justru disewakan kepada pihak asing, sementara infrastruktur yang ada tidak dimanfaatkan secara optimal.

“Peternakan rakyat amburadul karena tekanan industri. Kenapa tidak diarahkan pembiayaan itu untuk memperbaiki peternakan rakyat, lalu hilirisasinya ke industri nuget besar agar produk rakyat terserap,” usulnya.

Pernyataan Rochadi soal tekanan peternak rakyat juga diperkuat dengan data Komunitas Peternak Unggas Nasional (KPUN). Menurut perkumpulan tersebut, jumlah peternak rakyat dan peternak mandiri yang masih mencapai sekitar 2,5 juta orang pada tahun 2000 terus menyusut hingga tersisa kurang dari 170.000 orang pada tahun lalu. Penurunan drastis ini menunjukkan adanya kerusakan struktural yang dialami sektor peternakan rakyat di Indonesia.

Salah satu faktor yang diduga menyebabkan kerugian serta berkurangnya jumlah peternak rakyat dan peternak mandiri adalah kebijakan pemerintah terkait pengaturan dan pengendalian produksi ayam hidup.

Sepanjang 2024, berdasarkan hitung-hitungan KPUN, kerugian yang dialami peternak rakyat dan peternak mandiri diperkirakan mencapai sekitar Rp3.000 per kilogram. Dengan produksi mereka yang diperkirakan 20 persen dari total produksi nasional ayam hidup—sekitar 13 juta ekor dari rata-rata 65 juta ekor per tahun dengan bobot rata-rata 1,6 kilogram per ekor—produksi tersebut setara 20.800 ton. Dari perhitungan itu, kerugian peternak mandiri mencapai sekitar Rp62 miliar per pekan dan totalnya dapat menembus Rp3,2 triliun per tahun.

Baca juga artikel terkait DANANTARA atau tulisan lainnya dari Nanda Aria

tirto.id - Insider
Reporter: Nanda Aria
Penulis: Nanda Aria
Editor: Hendra Friana