Menuju konten utama

Menakar Dampak Radiasi Cs-137 ke Industri Manufaktur

Selain urusan harga, kepatuhan industri dalam memenuhi aspek kesehatan hingga ESG kini turut menjadi pertimbangan konsumen dalam membeli produk.

Menakar Dampak Radiasi Cs-137 ke Industri Manufaktur
Pemerintah gerak cepat untuk menangani kejadian khusus cemaran radiasi Cesium-137 (Cs-137) yang terdeteksi di Kawasan Industri Modern Cikande, Serang, Banten. tirto.id/Naufal Majid

tirto.id - Belum selesai masalah kontaminasi Cesium 137 (Cs-137) pada udang dan cengkeh, produk alas kaki (footwear) yang diproduksi di Kawasan Industri Modern, Cikande, Banten, juga dikabarkan terpapar unsur radioaktif serupa.

Tak tanggung-tanggung, 24 perusahaan bahkan dikabarkan terdampak paparan radiasi limbah tersebut. Mereka adalah perusahaan yang mengoperasikan pabrik-pabrik manufaktur berorientasi ekspor, dengan penyerapan tenaga kerja tinggi dan memiliki kontribusi penting terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) nasional.

Masalahnya, asal kontaminasi unsur radioaktif dari reaksi nuklir tersebut sulit dilacak. Sejauh ini, dugaan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Kontaminasi CS-137 berhulu pada sumber yang sama, yakni scrap metal yang digunakan PT Peter Metal Technology (PMT).

Kini, lantaran perusahaan tersebut telah menutup produksinya sejak lama, pemerintah tak dapat memastikan dari negara mana scrap metal tersebut berasal—apakah dari impor ilegal, atau logam-logam bekas dari dalam negeri. Penyelidikan sumber kontaminasi radioaktif Cs-137 di kawasan industri Cikande pun buntu dan menyisakan kekhawatiran dampak penurunan kinerja manufaktur RI.

“Kita tidak boleh melakukan asumsi, karena tentu saja sekarang ini kami serahkan kepada pihak Bareskrim (Polri) yang sedang melakukan investigasi,” ucap Ketua Satgas Penanganan Kontaminasi Cs-137, Bara Khrisna Hasibuan, dalam konferensi pers, di Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Pangan, Jakarta Pusat, Rabu (12/11/2025).

Strategi Pengamanan

Meski investigasi soal asal scrap metal masih buntu, Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita (AGK), menilai bahwa masalah radioaktif yang diduga telah mencemari 24 perusahaan di kawasan industri Cikande sudah selesai.

Justifikasinya sederhana: pernyataan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) usai melakukan dekontaminasi bersama Satgas Penanganan Kontaminasi CS-137. Menurut Bapeten, isu paparan Cs-137 tidak lagi menjadi masalah di beberapa perusahaan di kawasan tersebut.

Bahkan, beberapa perusahaan yang telah mendapat status bersih dari Bapeten, sudah bisa beroperasi kembali. Namun demikian, untuk memastikan bahwa industri benar-benar bersih dari paparan radiasi Cs-137, Kementerian Perindustrian akan terus memantau realisasi impor besi tua atau scrap.

“Tapi kita lihat nanti dari mana (sumber kontaminasinya)… dari mana kita lihat, ya dari direlaksasi atau dicabutnya peraturan pemerintah terhadap importasi scrap, itu bisa kita lihat,” ucap AGK kepada para pewarta di Gedung Kementerian Perindustrian, Widya Chandra, Jakarta Selatan, Rabu (12/11/2025).

Buntut kejadian ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bakal merumuskan mekanisme khusus untuk memastikan bahan baku dan produk industri bebas dari radioaktif. Selain itu, AGK juga telah mengeluarkan instruksi untuk seluruh sektor industri, khususnya kepada para pelaku usaha di sektor industri logam serta makanan dan minuman untuk menyampaikan laporan berkala 3 bulanan terkait pemantauan level radioaktif di proses produksi masing-masing perusahaan.

“Mereka harus atau diwajibkan untuk memberikan laporan berkala, setiap 3 bulan melalui SIINas (Sistem Informasi Industri Nasional) berkaitan dengan kadar level pemantauan dari level radioaktif yang ada di proses produksi masing-masing,” tutur AGK.

Tak hanya itu, seiring dengan telah diberikannya status clean and clear oleh Bapeten, ia juga berencana merelaksasi kebijakan penghentian sementara impor scrap metal. Dengan relaksasi ini, industri manufaktur diharapkan bisa semakin bergeliat.

“Mudah-mudahan dalam waktu dekat pemerintah akan mengambil keputusan lagi untuk merelaksasi kebijakan penghentian sementara impor scrap. Dengan demikian, kalau itu sudah kita relaksasi atau bahkan kebijakannya dicabut oleh pemerintah untuk (pembatasan) impor scrap, artinya sudah tidak ada masalah ketika kita bicara mengenai radioaktif,” kata AGK.

Namun, terlepas dari itu, politikus Partai Golkar tersebut memastikan industri manufaktur tidak akan terdampak isu paparan radioaktif. Kebalnya industri manufaktur ini terlihat dari pertumbuhan sektor pengolahan yang pada kuartal III 2025 mencapai 5,58 persen secara tahunan (year on year/yoy) dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 17,39 persen, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya mencapai 5,04 persen (yoy).

“Rilis yang digunakan oleh BPS pada triwulan III yang mengatakan sebetulnya kinerja manufaktur, menurut kami sangat baik, pertumbuhannya 5,58 persen, hanya turun 0,04 dari triwulan sebelumnya,” jelas AGK.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal II 2025, industri pengolahan non-migas tumbuh di level 5,60 persen (yoy), dengan kontribusi 16,92 persen terhadap PDB. Sedangkan, pada kuartal I 2025, industri manufaktur hanya tumbuh sebesar 4,31 persen (yoy), dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 17,50 persen.

Dengan pertumbuhan industri manufaktur yang terus berlanjut, AGK berharap industri pengolahan, khususnya non-migas bisa kembali menjadi motor yang mampu mengerek ekonomi Indonesia nasional tumbuh lebih tinggi lagi. Karenanya, saat ini Kemenperin tengah berupaya mengubah koordinasi di mana ke depan, industri pengolahan yang akan menjadi pendorong ekonomi nasional—bukan sebaliknya.

"Selama ini pendekatannya pertumbuhan ekonomi mengerek pertumbuhan manufaktur. Nah, ini yang akan momentumnya paling tepat untuk kita ubah pendekatannya. Pertumbuhan manufaktur justru yang akan mengerek pertumbuhan ekonomi," sambung AGK.

Persepsi Konsumen

Ekonom dari Universitas Hasanuddin, Syarkawi Rauf, menilai bahwa dampak paparan radiasi CS-137 terhadap kinerja industri manufaktur bisa berasal dari berbagai sumber. Selain kebijakan penghentian sementara untuk dekontaminasi, perubahan persepsi konsumen atas produk 24 perusahaan terdampak paparan radiasi juga bisa jadi penyebab.

Pasalnya, selain urusan harga, kepatuhan perusahaan dalam memenuhi aspek kesehatan hingga Environmental, Social, and Governance (ESG) kini turut menjadi pertimbangan konsumen dalam membeli produk. Masalah ini dinilai akan memiliki dampak lebih besar terutama untuk produk-produk pangan yang dikonsumsi masyarakat.

Ini yang akan menjadi perhatian konsumen, apalagi dar lis perusahaan itu kan ada yang bergerak di bidang pangan, misalnya perusahaan udang tadi. Itu pasti akan berpengaruh ke industri. Konsumen luar negeri kan enggak mungkin beli udang frozen yang diduga terkontaminasi radioaktif, kemudian juga paling banyak yang berkaitan pangan olahan,” jelasnya kepada Tirto, dikutip Kamis (13/11/2025).

Menurut Syarkawi, dengan terpaparnya beberapa perusahaan terhadap radioaktif, cukup membuktikan bahwa perusahaan tidak patuh terhadap prinsip ESG. Namun, dalam kasus Cikande ini, pemerintah juga tidak bisa lepas tangan. Investigasi harus benar-benar dilakukan, sehingga ke depan kejadian seperti ini tidak akan lagi terulang.

“Nah, itu pasti berpengaruh ini sektor manufaktur kita. Ini harus benar-benar diinvestigasi, tidak boleh terulang,” tegas dia.

Apa yang disampaikan Syarkawi tak berlebihan. Dari 24 perusahaan yang masuk dalam lis tersebut, PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) menjadi salah satu yang terpantau responsif menanggapi isu ini. Emiten yang bergerak di bidang agribisnis dan makanan olahan tersebut buru-buru menyampaikan klarifikasinya melalui laman keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Dalam suratnya, produsen makanan olahan dengan merek Golden Fiesta, Fiesta dan Champ tersebut menyatakan bahwa mereka tidak memiliki fasilitas apapun di Cikande. Dengan begitu, produksi Perseroan tidak terpengaruh dengan paparan radioaktif.

“Klarifikasi atas kebenaran berita tersebut, Perseroan dan/atau entitas anaknya tidak memiliki fasilitas produksi di kawasan industri modern Cikande yang termasuk di dalam 22 industri yang terdampak atas proses dekontaminasi radioaktif,” tulis Corporate Secretary CPIN, Hadijanto Kartika, dikutip Kamis (13/11/2025).

Tirto pun sudah mencoba menghubungi manajemen CPIN untuk meminta penjelasan terkait dampak paparan radioaktif terhadap produksi hingga persepsi konsumen terhadap produk perseroan, tapi belum juga mendapat tanggapan.

Terlepas dari itu, kinerja industri manufaktur dinilai akan tetap tumbuh lebih tinggi di akhir tahun. Secara historis, dorongan terhadap output industri pengolahan di kuartal IV biasanya dipicu oleh konsumsi masyarakat yang cenderung lebih tinggi saat periode Libur Natal dan Tahun Baru.

“Jadi, biasanya di luar itu konsumsi kurang, kalau konsumsinya kurang, permintaannya kurang, permintaan kurang ya otomatis industrinya juga tidak akan berproduksi lebih banyak ya. Sehingga, pertumbuhannya akan kurang kalau tidak ada momentum, tapi kan kalau ada momentum di akhir tahun ya, biasanya pertumbuhannya tinggi, karena permintaannya juga tinggi,” papar Syarkawi.

Terpisah, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai saat pemerintah mengakui puluhan perusahaan di kawasan industri modern Cikande terdeteksi terpapar radioaktif, cukup memberikan sinyal bahwa industri nasional dibangun di atas fondasi tata kelola yang rapuh.

Sebab, paparan radioaktif di kawasan industri ini muncul di saat Indonesia sedang berupaya mendorong sektor manufaktur sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi.

“Kita ingin mengejar peran besar di rantai pasok global, tetapi sistem pengawasan bahan baku, limbah, dan perlindungan warga belum siap menghadapi risiko teknologi yang menyertai industrialisasi modern. Paparan Cs 137 bukan sekadar noda teknis yang bisa dilap dengan konferensi pers, itu cermin yang memantulkan seberapa serius kita mengelola risiko dalam perjalanan menjadi negara industri,” ujar Achmad, kepada Tirto, Kamis (13/11/2025).

Paparan radioaktif di kawasan industri Cikande tidak lagi terbatas di dalam pagar pabrik, melainkan menjadi persoalan kawasan. Akibatnya, pemerintah harus melakukan dekontaminasi terhadap puluhan pabrik dan mengangkut ratusan ton material terkontaminasi ke lokasi penyimpanan sementara, sambil memindahkan sementara sejumlah keluarga yang tinggal di sekitar titik slag.

“Artinya, penyebab paparan Cs 137 tidak berdiri di satu titik. Ia adalah kombinasi seleksi bahan baku yang lemah, pengelolaan slag yang longgar, serta tata ruang industri permukiman yang terlalu berdempetan,” sambungnya.

Achmad lantas menganalogikan kawasan industri seperti Cikande sebagai ruang kateterisasi, tempat aliran produksi diuji dan dipacu. Ketika jantung bekerja menggunakan darah yang tercemar, tubuh tidak langsung roboh, tetapi ritmenya terganggu.

Begitu pula dengan masalah paparan radioaktif di Cikande. Pabrik memang bisa kembali beroperasi setelah dekontaminasi, namun ritme kepercayaan konsumen bakal berubah.

“Pekerja cemas, keluarga waswas, investor bertanya tanya. Ada luka tak kasatmata yang harus diakui. Industri tetap bergerak, tetapi dengan lapisan kehati-hatian yang mahal,” ucap Achmad.

Apalagi, seiring dengan terungkapnya cemaran radioaktif pada produk udang olahan dari Cikande, beberapa kontainer harus ditolak, diperiksa ulang, bahkan di recall. Sebab, bagi pasar global, yang diuji bukan hanya kadar radiasi produk yang diekspor, melainkan juga kredibilitas sistem pengawasan di negara asal.

Sementara itu, di sektor alas kaki dan manufaktur non-pangan, kekhawatiran mitra dagang membuat perusahaan harus menjelaskan ulang protokol keamanan mereka, sesuatu yang tidak mudah di tengah persaingan dengan negara lain di kawasan. Kondisi ini lantas akan membuat industri menghadapi downtime atau perlambatan kinerja pabrik, biaya dekontaminasi, dan pengetatan impor scrap dalam jangka pendek.

“Dalam jangka menengah, yang paling berbahaya adalah turunnya kepercayaan. Pasar global mungkin memaafkan satu insiden, tetapi tidak akan melupakan kesan bahwa tata kelola risiko di negara tersebut lemah,” sambungnya

Baca juga artikel terkait INDUSTRI MANUFAKTUR atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana