tirto.id - Sejak publik dihebohkan dengan peristiwa Bank Century tahun 2008 lalu, berbagai kasus terkait dana nasabah raib, pembobolan, sampai penggelapan berulang kali terjadi.
Pada 2011, misalnya, Senior Relationship Manager di Citibank Inong Malinda Dee menggelapkan dana nasabah senilai Rp17 miliar dan berujung pada vonis delapan tahun penjara. Tahun 2015, lima karyawan Bank Mandiri menjadi tersangka dalam pembobolan uang senilai Rp1,8 triliun bersama dua tersangka lain.
Tahun 2016 PT SAN Finance melaporkan kehilangan uang Rp110 miliar yang mereka simpan di BTN. Kasus ini berujung Kepala Kantor Kas BTN di Cikeas Bambang Soeparno diputus bersalah oleh pengadilan dengan vonis tujuh tahun penjara.
Maju ke tahun 2019, sejumlah pegawai BNI di Ambon menggelapkan uang senilai Rp124 miliar. Beruntung waktu itu uang yang diambil berasal dari kas cabang sehingga tak ada uang nasabah yang terkuras.
Lalu pada 2020. Publik dikejutkan dengan dugaan pembobolan duit nasabah bernama Winda D. Lunardi senilai Rp22,8 miliar yang disimpan di Maybank. Kepolisian telah menetapkan kepala cabang Maybank di Cipulir Jakarta Selatan sebagai tersangka tetapi hingga saat ini kasus masih berjalan dan belum ada kepastian pengembalian.
Kasus bertambah panjang setelah baru-baru ini sejumlah nasabah Bank Mega cabang Bali mengaku kehilangan uang deposito. Kasus ini mencuat pertama kali pada November 2020 tatkala mereka berupaya mencairkan simpanan.
Belakangan jumlah nasabah yang mengaku kehilangan uang terus bertambah. Per Maret 2021, jumlah uang yang raib telah menyentuh Rp56 miliar dari 14 nasabah. Di saat yang sama, Kepala Cabang Bank Mega di Gatot Subroto Bali yang sempat menangani nasabah diketahui telah mengundurkan diri.
Corporate Secretary Bank Mega Christine Damanik menyatakan bank telah menerima pengaduan para nasabah dan masih melakukan investigasi kepada pihak terkait serta menelusuri transaksi yang dimaksud. Selanjutnya Bank Mega juga telah melaporkan perkara ini ke kepolisian untuk mengungkap kasus ini secara objektif.
“Bank Mega senantiasa menjalankan kegiatannya dengan mengedepankan prinsip taat asas serta terbuka menerima keluhan nasabah yang diduga dirugikan berdasarkan alat bukti yang dapat diterima maupun dokumen yang dapat diverifikasi oleh bank,” ucap Christine kepada reporter Tirto, Rabu (31/3/2021).
Ketika ditanya bagaimana bank mencegah kasus serupa terulang, Christine menjawab singkat: “Tentunya dengan memperkuat operasional yang mengedepankan prinsip taat asas yang kuat.”
Ekonom dari Bank Permata Josua Pardede mengatakan industri perbankan sebenarnya sudah memiliki mekanisme untuk mencegah kasus hilangnya dana nasabah atau anti fraud. Dasarnya mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 39/POJK.03/2019 yang mengatur berbagai tahapan mulai dari pencegahan, deteksi, investigasi, pelaporan-sanksi, evaluasi, sampai tindak lanjut.
Akan tetapi, berulangnya kasus menunjukkan bank harus terus berbenah terutama pada pengawasan internal. Aturan-aturan yang ditetapkan OJK sebenarnya sudah cukup, katanya, tetapi semua itu selalu kembali pada seberapa baik bank menerapkannya di lapangan.
“Mekanisme anti fraud harus selalu diperkuat. Jadi kejadian seperti ini tak terulang,” ucap Josua kepada reporter Tirto, Rabu.
Ada banyak upaya yang bisa dilakukan. Mulai dari memperketat perekrutan karyawan, memberi pelatihan, sampai menerapkan sertifikasi yang pada intinya memprioritaskan integritas pegawai. Ia juga mengingatkan pentingnya mekanisme untuk mencegah dan mendeteksi lebih dini sehingga sebisa mungkin tidak terjadi atau mampu meminimalisasi kerugian yang ditimbulkan.
Koordinator Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi menilai bank seharusnya bisa berbuat lebih dari itu. Ia menilai bank juga perlu mengubah paradigmanya dalam merespons berbagai penggelapan/pembobolan. Ia mencontohkan, setiap kasus mencuat, bank selalu mengesankan itu dilakukan oleh oknum alias pihak lain yang bukan bagian dari mereka meski orang yang dimaksud adalah pegawai sendiri. Seolah-olah perilaku pegawai tak terkait dengan fakta bahwa pengawasan internal masih bolong di sana sini.
“Kalau diklaim ada oknum tapi terus-menerus terjadi, berarti ada sesuatu yang tidak berjalan dengan baik,” ucap Sularsi kepada reporter Tirto, Rabu.
Meski pegawai tersebut yang berurusan langsung dengan nasabah, ada hubungan perusahaan-pekerja yang tidak bisa diabaikan. Nasabah yang menjadi korban hari ini tidak mungkin bersedia menempatkan dananya atau berurusan dengan pegawai yang dimaksud tanpa secara sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan bank. Tanggung jawab pun tak hanya dipikul oleh pegawai bersangkutan tetapi juga bank.
Perbaikan ini menurutnya penting karena kerap berefek pada pemulihan hak nasabah. Misalnya pengembalian dana nasabah selalu harus menunggu selesainya proses hukum pegawai bersangkutan yang terkadang bisa memakan waktu tahunan.
Masalah personal antara bank-pegawai menurutnya tak sebaiknya menghambat tanggung jawab bank memulihkan hak nasabah yang terdampak. Bahkan akan lebih baik lagi jika OJK dan BI dapat membuat regulasi khusus yang menjamin pemulihan hak nasabah sehingga tak terus-menerus terbentur oleh perkara bank-pegawai.
“Konsumen sudah dirugikan, masak harus menunggu lama? Jadi dua kali dirugikan. Enggak fair,” ucap Sularsi.
Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot, Senin (9/11/2020), pernah menyampaikan bahwa OJK telah meminta bank untuk selalu memperbaiki pengawasan internal. Harapannya “agar ke depannya bank terhindar dari fraud yang dilakukan oleh oknum.”
Ketika ditanya sikap OJK mengenai pemenuhan hak nasabah terutama kemungkinan pengembalian dana bisa dilakukan tanpa menunggu hasil pengadilan, Sekar mengatakan hal itu perlu dibahas baik-baik antara bank dan nasabah.
“Dalam aspek perlindungan konsumen, bank harus segera membahas dengan nasabah agar dapat tetap menjaga kepercayaan masyarakat,” ucap Sekar.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino