Menuju konten utama
Byte

Membodohi Smartphone demi Menjaga Kewarasan Digital

Detoks digital berkala tak mempan menangkal dampak negatif candu ponsel pintar. Maka, hadirlah solusi radikal: menggunakan ponsel jadul demi membatasi diri.

Membodohi Smartphone demi Menjaga Kewarasan Digital
ilustrasi dumb phone. foto/istockphoto

tirto.id - Satu waktu kamu duduk di kafe, berniat membaca buku yang sudah lama tertunda. Kopi hangat di tangan, suasana mendukung, tapi belum lima menit berlalu, jemarimu otomatis membuka Instagram. Lima notifikasi menyerbu layar. Satu video anjing lucu, dua story teman liburan, satu tautan artikel self-help, dan satu promosi aplikasi meditasi. Kamu terpikat. Layar berganti, waktu menguap, dan niat membaca pun tenggelam dalam pusaran digital yang tiada henti.

Kita sering menyalahkan kurangnya disiplin, padahal persoalannya lebih dari pada itu. Perangkat yang awalnya bertujuan mempermudah suatu hal, kini berubah jadi candu, dengan segudang aplikasi yang mendistraksi keseharian.

Di era ini, menjaga kewarasan bukan tugas mudah. Banyak orang mulai sadar bahwa masalahnya bukan hanya pada kemalasan dan ketidakdisiplinan. Platform di dalam gawai termutakhir memang dirancang untuk mencuri perhatian.

Oleh karena itu, muncullah sebuah gerakan baru yang mengusung filosofi bertentangan: mengubah ponsel jadi alat polos tanpa umpan distraksi, kembali ke kesederhanaan ponsel “bodoh” atau dumb phone.

Pemberontakan Digital

Generasi Z dan milenial di Eropa dan Amerika Serikat mulai meninggalkan ponsel pintar. Menjauh bukan sekadar anti-teknologi, melainkan bentuk kurasi gaya hidup. Mereka memilih perangkat sesuai nilai dan kebutuhan pribadi, bukan sekadar mengikuti tren pasar.

Di Brooklyn, sekelompok remaja mendirikan Luddite Club, gerakan kecil yang menolak dominasi ponsel pintar. Nama klub tersebut terinspirasi dari gerakan Luddite pada abad ke-19 di Inggris, yang menentang mesin-mesin industri karena dianggap merusak mata pencaharian dan cara hidup mereka.

Didirikan oleh Logan Lane, Lola Shub, dan kawan-kawan lainnya, klub itu lahir dari rasa muak kolektif terhadap ponsel pintar dan segala isinya. Penggunaan media sosial yang tanpa henti, jumlah waktu yang dihabiskan untuk menggulir, snap, dan swafoto, mendistraksi kehidupan sehari-hari mereka.

“Jadi kami menciptakan klub untuk menyediakan ruang di mana kami dapat mengesampingkan komputer kecil kami dan mengalami kehidupan tanpa komputer tersebut,” tukas Lola dalam kolomnya di Business Insider.

Luddite Club menyediakan ruang komunal bagi para anggotanya yang kini berjumlah sekitar 25 orang. Mereka bertemu setiap minggu di tempat umum, seperti perpustakaan atau taman, untuk melakukan kegiatan "analog": membaca, menggambar, menulis, atau sekadar berbincang tanpa gangguan dari layar ponsel.

Meskipun berskala kecil, Luddite Club adalah bukti nyata dari keinginan tulus di kalangan sebagian Gen Z untuk merebut kembali kehidupan mereka dari cengkeraman teknologi yang kian adiktif.

Fenomena itu membuka ruang untuk memahami jenis-jenis ponsel minimalis, arah pergerakan industrinya, dan filosofi desain yang mencerminkan perubahan budaya: dari keterhubungan yang impulsif menuju konektivitas yang lebih berarti.

Di Spanyol, kaum muda memilih detoks digital dengan beralih menggunakan ponsel yang hanya bisa menelpon dan mengirim SMS.

Tren tersebut diperkuat oleh data yang dirilis oleh Cognitive Market Research. Penjualan dumb phone di Amerika Utara pada 2024 mencapai 940,5 juta dolar AS atau 40 persen dari penjualan global. Sementara itu, Eropa menyumbang angka penjualan hingga 705,4 juta dolar AS. Salah satu produk retro yang laris adalah Nokia dengan jumlah penjualan mencapai lebih dari 10 juta perangkat.

Dalam konteks ini, dumb phone adalah ponsel dengan fungsi paling dasar, hanya bisa melakukan panggilan, SMS, dan kadang melihat peta. Perangkat tersebut sama sekali tidak dapat mengakses internet atau media sosial.

Sedikit lebih maju dari spektrum itu, ada yang disebut feature phone. Istilahnya sering digunakan secara bergantian dengan dumb phone, tetapi umumnya merujuk pada perangkat yang berfitur tambahan selain panggilan dan SMS. Fungsinya mencakup kamera dasar, kalkulator, radio FM, atau pemutar musik sederhana. Lain itu, ia masih terbatas untuk mengakses internet dan beberapa aplikasi media sosial.

Di ujung lain dari spektrum minimalis tersebut, muncul pula kategori baru yang lebih disengaja. Perangkat seperti Light Phone dan Punkt MP02 secara eksplisit dirancang sebagai antitesis dari ponsel pintar modern. Ponsel jenis ini mempertahankan konektivitas modern yang esensial, seperti 4G LTE, panggilan suara berkualitas tinggi (VoLTE), atau kemampuan sebagai penyedia hotspot Wi-Fi. Ia memungkinkan pengguna tetap terhubung secara esensial tanpa tersedot ke dalam pusaran distraksi digital yang tak berkesudahan.

Fenomena tersebut bukan sekadar tentang harga, melainkan soal budaya. Data Google Trends bahkan menunjukkan, pencarian kata kunci dumb phone terus naik sejak 2020. Ini menandakan bahwa minat masyarakat terhadap konektivitas yang lebih sadar dan minim distraksi makin tumbuh.

Dumb Phone sebagai Jalan Keluar Candu Digital

Kaitan antara penggunaan ponsel pintar berlebihan dan gangguan kesehatan mental telah lama terbukti secara ilmiah. Bahkan, menurut riset dari University of Texas Austin, kehadiran ponsel pintar saja sudah mengurangi kapasitas kognitif seseorang.

Studi yang melibatkan lebih dari 800 partisipan tersebut menunjukkan, dalam sebuah situasi (misalnya belajar di kelas), mereka yang meninggalkan ponsel di ruang lain memiliki kemampuan kognitif lebih baik dibanding yang meletakkannya di meja atau menyimpan di saku.

“Pikiran sadar Anda tidak memikirkan ponsel pintar, tetapi proses 'memaksa diri untuk tidak memikirkan sesuatu' itu tetap menggunakan sumber daya kognitif. Ini adalah pengurasan otak,” demikian tertulis dalam dokumen hasil penelitian itu.

Berbagai pendekatan, mulai dari longitudinal hingga eksperimen terkontrol, menunjukkan pola jelas: penggunaan ponsel pintar secara berlebihan berkontribusi pada lonjakan tekanan mental. Dari kecemasan sosial hingga kelelahan digital, dampaknya terasa lintas usia. Perangkat yang awalnya menjanjikan koneksi kini justru mempercepat alienasi.

 ilustrasi dumb phone

ilustrasi dumb phone. foto/istockphoto

Jonathan Haidt dalam buku The Anxious Generation (2024), memberikan peringatan keras tentang krisis kesehatan mental remaja. Ia mengidentifikasi periode 2010-2015 sebagai “the great rewiring”, masa ketika sistem saraf remaja dikondisikan untuk kecemasan dan depresi melalui penggunaan rutin ponsel pintar yang ekstensif.

Setelah lebih dari satu dekade stabilitas atau perbaikan, kesehatan mental remaja anjlok drastis pada awal 2010-an. Tingkat depresi, kecemasan, menyakiti diri sendiri, dan bunuh diri meningkat tajam, lebih dari dua kali lipat pada kebanyakan ukuran.

Menghadapi dampak negatif yang makin nyata, banyak individu memilih detoks digital sebagai langkah pertama merebut kembali kendali. Penelitian terbaru pada akhir Januari 2025 mengonfirmasi, detoks digital dapat mengurangi prokrastinasi, kebosanan, stres, depresi, dan kecemasan, sambil meningkatkan regulasi diri, kontrol diri, kualitas tidur, dan kepuasan hidup secara keseluruhan.

Berbeda dari detoks digital pada umumnya yang hanya berupa "puasa medsos" dalam beberapa waktu, penggunaan dumb phone menawarkan solusi radikal tetapi efektif. Dengan menghilangkan akses internet dan media sosial sama sekali, perangkat ini memutus siklus kecanduan digital yang merusak kesehatan mental.

Berpindah ke dumb phone bukan hal mudah. Dunia modern menganggap semua orang punya ponsel pintar. Banyak layanan penting kini bergantung pada aplikasi, mulai dari perbankan daring, transportasi, tiket, hingga urusan makan. Tanpa ponsel pintar, semua jadi rumit. Karenanya, perubahan secara radikal akan menciptakan banyak gesekan praktis.

Beralih ke dumb phone tentu bukan satu-satunya cara. Ada banyak pilihan yang bisa diambil.

Salah satunya adalah metode Digital Declutter dari Cal Newport, mendorong jeda 30 hari dari teknologi untuk kembali pada interaksi nyata lewat hobi-hobi analog. Setelah itu, kita bisa memilih ulang teknologi secara sadar.

Alternatif lainnya ialah “membodohi” ponsel pintar dengan menghapus aplikasi pemicu distraksi, mematikan notifikasi, mengubah layar jadi abu-abu, dan menyederhanakan tampilan agar tak lagi menggoda.

Jika akhirnya memutuskan beli perangkat baru, pilihlah sesuai tujuan. Kendali digital bukan soal perangkat canggih, tapi soal memilih dengan sadar demi kewarasan dan keseimbangan hidup.

Baca juga artikel terkait TEKNOLOGI atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Byte
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin