tirto.id - Danny Bowman (19) pertama kali mengunggah foto selfie-nya ke Facebook di usia 15 tahun. Tak butuh waktu lama sebelum akhirnya ia jatuh cinta dengan sensasi mendapatkan like maupun komentar pujian dari teman-temannya di dunia maya. Aktivitas ini kemudian menjadi kebiasaan di saat senggang. Pada tahun 2011, ia memberanikan diri untuk mendaftar ke sebuah agen modeling. Ia ingin menyalurkan hobinya menjadi pekerjaan yang menghasilkan uang. Sayang, ia ditolak.
Di tengah perasaan kecewa yang teramat sangat, Bowman justru makin kecanduan untuk berfoto diri. Ia terobsesi untuk membuat “selfie yang sempurna”. Ia berusaha membuktikan ke dunia bahwa dirinya pantas menjadi seorang model. Dalam sehari, ia menghabiskan 10 jam untuk berfoto diri dan hasilnya adalah lebih dari 200 foto yang tersimpan di iPhone miliknya. Bowman sampai keluar dari sekolah dan memilih pendidikan privat di rumah.
Obsesi Bowman berubah menjadi petaka sejak ia berpikiran bahwa tanpa selfie yang sempurna, ia lebih baik mati. “Aku terus-menerus berusaha untuk membuat foto selfie yang sempurna, dan saat aku tak bisa, aku ingin mati saja. Aku kehilangan temanku, pendidikanku, kesehatanku, dan hampir saja nyawaku,” katanya sebagaimana dikutip The Independent.
Bowman, orang Inggris pertama yang mendapat status “pecandu selfie”, masuk ke pusat rehabilitasi dan terapi untuk mengatasi kondisinya sejak 2014 lalu. Ia didiagnosis menderita dua penyakit. Pertama OCD (Obsessive Compulsive Disorder) alias penyakit psikologis bagi orang-orang dengan perilaku pengulangan yang disebabkan oleh ketakutan atau pikiran yang tidak masuk akal.
Kedua, penyakit yang lebih jarang didengar, Body Dysmorphic Disorder. Penyakit ini berbentuk kecemasan yang menyebabkan si penderita merasakan khawatir berlebihan tentang penampilan atau tubuh mereka.
Sementara Bowman mengalami dua tahun depresi dan percobaan bunuh dirinya, Dr. David Veal, psikiater di London tempat Bowman melaksanakan terapi, berkata bahwa banyak remaja yang mengalami kondisi serupa—meski belum seekstrem Danny. Masalah ini makin serius dan bukan sebatas isu tentang kesombongan/narsisisme khas remaja, kata Veal.
“Ini adalah masalah kesehatan mental dengan potensi paling ekstrem hingga bunuh diri,” jelasnya.
Bowman kemudian mengungkapkan hal yang dirasakan oleh kawan-kawannya dan remaja kekinian lain:
“Orang-orang tak sadar jika saat mereka mengunggah fotonya di Facebook atau Twitter, foto tersebut akan tersebar sangat cepat hingga tak terkontrol. Foto tersebut menjadi sebuah misi bagaimana mendapatkan penerimaan (dari orang lain) dan dapat menghancurkan siapa saja. Masalah ini nyata sebagaimana orang kecanduan alkohol, obat-obatan terlarang, atau judi.”
Candu ini juga dijelaskan oleh Dr Karrie Lager, psikolog anak yang berpraktek di Los Angeles. Kepada The Huffington Post, ia berkata bahwa CASA Columbia, lembaga yang menangani khusus masalah kecanduan, pernah menerbitkan riset tentang hubungan antara remaja, media sosial, dan penyalahgunaan narkotika. Hasilnya membuka mata masyarakat bahwa candu media sosial memang memiliki efek negatif yang laten namun berbahaya.
Tim riset menemukan bahwa 70 persen remaja usia 12-17 menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengakses media sosial, yang datanya mencapai 17 juta remaja. Dibanding remaja yang tak menggandrungi media sosial, remaja yang sehari-hari mengakses media sosial punya kemungkinan lima kali lipat untuk merokok, tiga kali lipat untuk mengkonsumsi alkohol, dan dua kali lipat untuk mengkonsumsi mariyuana.
Data itu masuk akal. Remaja-remaja yang melihat foto-foto narkoba dan alkohol akan punya kecenderungan untuk mencari dan mengalaminya sendiri.
Tak hanya menyerang fisik, candu media sosial mengantarkan penggunanya pada kondisi psikis yang buruk. Media sosial adalah wadah di mana orang-orang menampilkan apa yang menurutnya ideal. Dalam konsumsi media sosial dalam waktu yang berlebihan, fisik dan otak yang lelah akhirnya memunculkan kondisi psikis yang cepat emosi, cepat stres, dan mudah agresif, terutama saat melihat hal-hal “keren” yang diunggah orang-orang. Perasaan iri muncul begitu saja, karena media sosial sesungguhnya adalah medium pentas.
Penelitian tim dari University of Michigan yang dipublikasikan pada Agustus 2013 silam menemukan fakta bahwa Facebook justru membuat penggunanya merasa tak percaya diri dan tak bahagia. Makin sering orang main Facebook, “makin buruk perasaan mereka” dan “kepuasan mereka atas hidup makin menurun seiring berjalannya waktu.”
Sementara itu studi lain dari University of Pittsburgh menyatakan bahwa muda-mudi pecandu media sosial tiga kali lipat lebih mudah depresi ketimbang pengguna normal/seperlunya. Hasil ini didukung oleh para peneliti di Centre for Addictions and Mental Health di Kanada yang menganalisis lebih dari 10.000 remaja dua tahun lalu. Hasilnya, remaja yang menggunakan media sosial lebih dari 2 jam per hari lebih mungkin untuk mendapat kesehatan mental lebih buruk dari pengguna normal.
Fisik Lelah, Mental Terganggu
Pecandu media sosial, dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Adolescence pada Agustus 2016, rata-rata memiliki tidur dengan kualitas dan kuantitas yang buruk. Mereka mengalami susah tidur dan bangun tepat waktu. Sebagian lain mau bangun di tengah malam hanya untuk mengecek kabar dunia mayanya. Kebiasaan ini melelahkan bagi otak, sementara otak yang bugar adalah syarat utama untuk menjadi pribadi dengan kesehatan mental yang baik.
Penyebab kedua ditunjukkan oleh sejumlah penelitian yang menyebut fenomena “pengguna pasif” juga berpengaruh terhadap menurunnya kondisi mental pengguna media sosial. Mereka rajin mengobservasi kehidupan orang lain, dan akhirnya merawa memprovokasi rasa iri dan dendam. Pengguna pasif (ironis sebab mereka juga dikategorikan pecandu) juga memiliki emosi negatif yang intensif yang disebut dengan “FOMO” (Fear Of Missing Out) dan membuat seseorang merasa harga dirinya terasa rendah sekali.
Penelitian lain kemudian menunjukkan bahwa perasaan untuk menunjukkan “sisi hidupku yang menyenangkan” kepada orang lain, biasanya juga sepaket dengan penderita virus narsisme, berakhir dengan “biaya psikologis” yang mahal. Cukup satu komentar negatif yang akan merusak mood si pengunggah postingan, dan pada akhirnya menjadikan ia sebagai pribadi yang agresif di dunia nyata.
Kondisi tersebut juga menuntun remaja sebagai orang yang mudah mencerca orang lain. Dari sinilah budaya “cyberbullying” bermula. Mereka mulanya mempertanyakan nilai-nilai yang orang lain anut, lalu menyerang pada bagian-bagian yang dianggap tak ideal. Demi menghindari reaksi serupa, mereka mau untuk menyiksa diri dalam gaya hidup yang dianggap akan menghasilkan tubuh atau citra yang diinginkan.
Ini berbahaya, sebab jika gagal, dalam diri orang yang bersangkutan akan tumbuh keraguan dan bahkan benci terhadap diri sendiri. Kasus Danny Bowman di awal tulisan adalah contoh yang representatif untuk pembuktian teori tersebut dalam tingkat yang sudah sangat ekstrem.
Bagaimana langkah pencegahannya?
Robert Whitley, asisten profesor di bidang psikiatri McGill University, menulis untuk The Huffington Post untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, baik individu, orang tua, teman dekat, hingga pemerintah mesti menjadi agen sosialisasi tentang bahaya laten yang mengintai di balik candu media sosial. Hal ini bertujuan agar orang-orang memiliki pilihan lebih tentang bagaimana gaya hidup yang sehat, artinya tetap bisa menggunakan media sosial akan tetapi secara bijak dan seperlunya.
Kedua, orang dewasa bisa memulai diskusi positif dengan generasi yang lebih muda tentang konsep penerimaan diri, tentang bahaya suka membanding-bandingkan diri dengan orang lain—apalagi saling pamer, hanya demi sejumput perhatian (like, love, dan sebagainya).
Ketiga, jika sanggup, akhiri bermain media sosial. Segala tentang penerimaan diri hingga kualitas dalam hubungan dengan orang lain bisa dicapai di dunia nyata. Tak perlu lari dari kenyataan. Hadapi dan usahakan yang terbaik. Prinsip interaksi di kedua dunia sesungguhnya sama.
Whitley mengingatkan bahwa media sosial dalam banyak aspek justru anti-sosial. Yakinkan pada diri Anda bahwa media sosial hanyalah satu aspek lain dalam hidup, bukan satu-satunya kanal untuk meraih simpati, kebahagiaan, hingga cinta.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Maulida Sri Handayani