tirto.id - Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengakui hampir 10 tahun terakhir perjuangan partainya tidak mudah. Banyak dinamika dan tantangan dilalui Partai Demokrat mulai dari berada di luar pemerintahan Presiden Joko Widodo selama sembilan tahun lebih hingga upaya pengambilalihan kepemimpinan partai.
Namun, partai yang didirikan sejak 9 September 2021 itu diklaimnya sudah melalui masa-masa sulit tersebut. Bahkan partai yang kini diketuai oleh sang anak, yakni Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sudah berada di dalam Pemerintahan Joko Widodo dan siap mendukung pemerintah presiden terpilih, Prabowo Subianto.
SBY mengatakan, memang kadang-kadang politik itu harus pragmatis. Strategi politik juga harus harus lentur dan memiliki siasat bagaimana agar tidak kalah.
“Politik memang harus pragmatis, saya tahu. Strategi politik haruslah lentur, saya tahu. Harus punya siasat bagaimana kita tidak kalah, tidak tertindas, saya tahu," kata SBY dalam HUT ke-23 Partai Demokrat di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta Pusat, Senin (9/9/2024).
Namun, Presiden ke-6 RI itu berpesan, meskipun di tengah pragmatisme politik yang sering kali diperlukan dan strategi politik yang harus lentur, dia meminta para kadernya tidak mengabaikan nilai-nilai demokrasi dan mengikuti aturan konstitusi.
Hal ini karena SBY percaya dengan berbekal idealisme, nilai, fundamental politik yang baik, serta kelenturan lewat pragmatisme, ia yakin Demokrat akan sukses dalam lima tahun mendatang.
"Tidak usah gusar kalau terkadang partai kita tidak sukses, tidak apa-apa. Lebih bagus kita mengutamakan kepentingan rakyat, kepentingan negara," kata SBY.
Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, Andi Mallarangeng, mengatakan isi pesan SBY tersebut prinsipnya adalah ingin menyampaikan kepada kader bahwa dalam politik ada strategi taktis. Artinya, bisa berubah tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi.
"Karena kadang-kadang ada dinamika politik kita harus lentur. Tapi kelenturan itu tidak boleh melupakan prinsip yang sama-sama kita junjung yaitu menghormati konstitusi serta juga demokrasi," jelas Andi Mallarangeng kepada Tirto, Kamis (12/9/2024).
Pesan disampaikan SBY, klaim Andi, sudah cukup jelas bahwa jangan sampai partai besutannya itu melupakan prinsip-prinsip tersebut. Terutama, ketika partainya melakukan berbagai macam kompromi atau menyusun strategi dan taktik yang lentur tadi.
"Tapi prinsip value yang kita pegang tetap adalah menjujung tinggi konstitusi dan juga demokrasi. Itu yang disampaikan oleh Pak SBY kepada kami semua kader Demokrat," terang Andi.
Pernyataan SBY mengenai politik pragmatis dan lentur justru dibaca oleh Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, sebagai pesan simbolik. SBY dinilai ingin tampil dan menciptakan citra sebagai negarawan.
Sebagai seorang yang pernah menjabat presiden, SBY tampaknya ingin memberikan komentar terhadap dinamika politik bangsa tengah berkembang saat ini.
“Namun, komentar itu disampaikan dengan gaya khasnya, yakni penuh dengan pesan simbolik, gestur, dan metafora. SBY tidak menggunakan bahasa lugas, tapi membiarkan publik memberi tafsiran atas pernyataan dan gestur politiknya,” ujar Musfi kepada Tirto, Kamis (12/9/2024).
Dalam beberapa waktu terakhir, SBY sempat memberikan pernyataan yang diperuntukkan untuk menjadi tafsiran publik. Ketika diwawancara dalam Bloomberg CEO Forum di Jakarta (4/9/2024), SBY mengeluarkan gestur menghela nafas dan mengatakan tidak ingin salah menjawab ketika ditanya soal transisi pemerintahan Jokowi ke Prabowo.
Padahal, kata Musfi, SBY bisa saja menjawab normatif, tapi justru mengatakan tidak ingin menciptakan masalah apabila salah menjawab.
“Saya kira yang menarik adalah, kenapa SBY tiba-tiba mengeluarkan sinyal-sinyal seperti itu. Masalahnya tidak hanya sekali, tapi juga kembali dilakukan dalam pidatonya di HUT ke-23 Partai Demokrat,” jelas Musfi.
Untungkan Elite dan Korbankan Rakyat
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, mengatakan di luar dari isyarat yang ingin disampaikan oleh SBY, politik pragmatis berkonotasi negatif.
Politik pragmatis, kata dia, sering kali merujuk pada pendekatan yang berfokus pada solusi praktis dan fleksibilitas dalam mencapai tujuan politik, tanpa terlalu terikat pada ideologi atau prinsip yang kaku.
“Dalam hal ini, pemimpin atau partai bisa mengubah strategi berdasarkan keadaan atau kepentingan jangka pendek,” ujar Annisa kepada Tirto, Kamis (12/9/2024).
Annisa mengatakan bahwa pragmatisme dalam politik memang sering dikaitkan dengan risiko tertentu. Pragmatisme yang berlebihan menurut dia dapat memicu munculnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) karena keputusan diambil bukan berdasarkan prinsip, melainkan keuntungan politik atau material sesaat.
Selain itu, pragmatisme dapat mengabaikan nilai-nilai konstitusional atau keadilan jika dianggap menghambat tujuan yang lebih besar. Sedangkan, dalam konteks politik pragmatis, ada kekhawatiran rakyat hanya disuguhkan calon-calon pemimpin yang "diatur" oleh elite politik.
Hal ini berpotensi mengurangi pilihan nyata bagi rakyat karena calon-calon tersebut lebih mewakili kepentingan elite daripada rakyat.
“Ini akan mengakibatkan krisis representasi, dimana rakyat merasa terasing dari proses politik dan hanya menjadi penonton keputusan politik yang menguntungkan segelintir orang,” jelas Annisa.
Selanjutnya, kata Annisa, dalam konteks yang dikemukakan oleh SBY soal kelenturan politik, berarti kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan situasi tanpa melanggar prinsip-prinsip dasar atau konstitusi.
Dari sisi positifnya, kelenturan dapat membantu politikus atau partai tetap relevan dan mampu beradaptasi dengan perubahan cepat, misalnya kondisi sosial, ekonomi, atau geopolitik yang dinamis.
Namun, sisi negatifnya, ada kekhawatiran bahwa politik yang terlalu lentur bisa dilihat sebagai bentuk inkonsistensi atau oportunisme. Partai atau politikus yang terlalu sering berganti sikap dapat kehilangan kepercayaan publik, karena dianggap tidak memiliki prinsip yang kuat atau terlalu mudah dipengaruhi oleh kepentingan jangka pendek.
“Ini juga bisa berujung pada kebijakan yang tidak konsisten, membingungkan rakyat, dan merusak stabilitas kebijakan publik,” jelas Annisa.
Pada akhirnya, kata Annisa rakyat bisa menjadi korban jika politik pragmatis diterapkan tanpa kontrol yang kuat dari sistem hukum dan pengawasan publik. Karena, ketika keputusan politik lebih banyak didorong oleh keuntungan elite, bukannya kepentingan rakyat, hal ini dapat memperburuk ketimpangan sosial, memperparah korupsi, dan mengikis kepercayaan terhadap institusi politik.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, melihat secara garis besar baik politik pragmatis atau kompromis yang dalam hal ini disebut SBY sebagai lentur tidak ada yang menguntungkan. Sebab, keduanya sama-sama merugikan rakyat.
“Karena kalau sudah bicara elite, elite saja yang untung. Kelompok mereka dan koloni saja yang untung, kalau sudah bicara rakyat rakyat ditinggalkan,” jelas Ujang kepada Tirto, Kamis (12/9/2024).
“Jadi saya melihat itulah konstruksi politik kita saat ini. Elite politik banyak kepentingan pragmatisnya untuk kepentingan partai, kelompok, keluarga, itu yang dibangun sehingga tumbuh subur KKN saat ini,” lanjut Ujang menambahkan.
Pesan Kekuasaan?
Sementara itu, Manajer Riset dan Program dari The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, menilai pernyataan SBY memberikan pesan agar parpol besutannya tidak kaku membuat arah kebijakan partainya ke depan. Karena pada akhirnya parpol pada ujungnya adalah ingin mendapat kekuasaan.
"Kelenturan itulah yang dianggap tidak kaku dan bisa berkomunikasi dengan semua pihak yang penting dan bisa mendapatkan tadi kekuasaan tadi atau masuk dalam lingkaran kekuasaan tadi," kata Afrianto kepada Tirto, Kamis.
Seharusnya, kata Arfianto, dalam tatanan idealnya partai politik memperjuangkan ideologinya yang pertama. Karena partai politik tujuannya dibentuknya salah satunya memperjuangkan aspirasi masyarakat dan juga ideologinya.
"Yang ada saat ini hanya partai politik memperjuangkan agar bagaimana mendapatkan kekuasaan apakah itu di legislatif maupun di eksekutif," jelasnya.
Menurut dia, pesan yang dibawa oleh SBY ke kadernya tersebut bisa dibaca juga untuk menggambarkan bagaimana Demokrat berjalan di pemerintahan selanjutnya. Artinya, ini juga berkaitan dengan bagi-bagi kue kekuasaan.
"Yang penting kue kekuasaan itu dapat dibagi secara baik gitu ya. Merata sesuai dengan proporsinya masing-masing," kata dia.
Apalagi Demokrat sendiri, tetap dalam koalisi besar yang pada akhirnya juga akan memperlihatkan bahwa kekuatan besar itu akan dibagi berdasarkan proporsionalnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto