tirto.id - K.H. Maimoen Zubair atau biasa dipanggil Mbah Moen wafat di Makkah pada Selasa pagi 6 Agustus 2019, tepat hari ini setahun lalu, dalam usia 91 tahun. Semasa hidupnya, ia memimpin Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah.
Ia juga sempat aktif sebagai politikus dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada masa Orde Baru. Saat wafat, Mbah Moen bahkan masih menjabat sebagai Ketua Majelis Syariah PPP.
Belakangan, saat usianya semakin sepuh, Mbah Moen kerap menjadi rebutan para calon presiden dalam usaha meraih simpati muslim, khususnya warga Nahdliyin. Mbah Moen memang sosok yang disegani di kalangan NU sebagai organisasi massa Islam terbesar di negeri ini.
Pada Pilpres 2019, Mbah Moen mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf. Meski diwarnai insiden salah ucap pada doa di acara “Sarang Berzikir untuk Indonesia Maju”, namun Mbah Moen menegaskan pada klarifikasinya bahwa ia mendukung Jokowi untuk menjadi presiden yang kedua kalinya.
“Laa (bukan) Pak Prabowo, laa (bukan Prabowo) menawa (tetapi) Pak Jokowi, Pak Joko Widodo. Alladzi huwa ikhtiyari [orang yang saya pilih],” kata Mbah Moen.
Ia juga menambahkan bahwa dirinya sudah tua, 90 tahun lebih, sehingga luput dalam penyebutan nama. Ia pun kembali menegaskan bahwa pilihannya adalah Jokowi.
Klarifikasi Mbah Moen bahkan diperkuat oleh keterangan Wakil Ketua Umum DPP PPP Arwani Thomafi yang hadir pada acara tersebut. Menurutnya, masyarakat mesti melihatnya secara utuh, sebab Mbah Moen dengan jelas menyebut “hadza rois [presiden ini]” dan mendoakannya untuk menjadi presiden kedua kalinya.
“Jelas di sini, siapa yang dimaksud menjadi presiden kedua kalinya, tentu merujuk Pak Jokowi. Beliau saat ini menjadi presiden di periode pertama. Kecuali doanya ‘menjadi capres kedua kali’, maka itu tentu ditujukan ke Pak Prabowo,” imbuhnya.
Sementara beberapa bulan sebelumnya, tepatnya pada 29 September 2018, Prabowo juga sempat mengunjungi Mbah Moen. Di hadapan ribuan santrinya Mbah Moen mengatakan bahwa Prabowo adalah orang yang akan memimpin Indonesia.
“Kepada tamu saya yang sangat saya hormati, Bapak Letjen Purnawirawan Haji Prabowo Subianto, hadir di sini akan menjadi orang yang memimpin Indonesia, amiin. Beliau adalah calon pemimpin pada pemilu yang akan datang,” ucapnya seperti dilansir Berita Satu.
Meski pada akhirnya Mbah Moen mendukung Jokowi, tapi ia tetap menerima Prabowo saat mengunjunginya dan seperti biasa bersikap santun. Secara politik, ia tak mendukung tamunya. Namun, dengan kata-katanya yang bijak, ia tetap membesarkan hati tamunya.
“Beliau ini berniat mencalonkan [diri menjadi presiden], dan itu adalah ibadah. Saya merasa gembira Pak Prabowo ke sini, apa yang diangan-angankan itu nantinya Allah yang akan menentukan dan saya ikut berdoa,” ucapnya.
Sebaliknya, pada Pilpres 2014 sesuai dengan dukungan politik PPP, Mbah Moen justru mendukung Prabowo-Hatta. Dan di Kecamatan Sarang tempat ia tinggal, Prabowo-Hatta unggul tipis atas pasangan Jokowi-JK.
Beberapa minggu sebelum pencoblosan pada 9 Juli 2014, Mbah Moen mendampingi Hatta Rajasa saat menyambangi Pondok Pesantren Mambaus Sholihin, Gresik.
“Saya yakin, ‘ainul yaqin, haqqul yaqin, bapak Prabowo dan Hatta akan mendapatkan suara terbanyak dan akan menjadi presiden dan wakil presiden pada bulan Ramadan,” ungkapnya seperti dikutip Republika.
Tak hanya menerima kunjungan dari Prabowo-Hatta yang didukungnya, Mbah Moen juga menerima kunjungan Jokowi pada 4 Mei 2014. Mereka kemudian melakukan pertemuan tertutup selama beberapa jam.
Kiai dan Doktrin Politik NU
Pentingnya sosok Mbah Moen bagi kedua kubu yang bersaing dalam pilpres 2014 dan 2019, tampaknya bukan karena ia tokoh PPP—partai Islam menengah yang suaranya tidak terlalu signifikan—namun karena ia adalah sosok ulama sepuh yang sangat dihormati di kalangan Nahdliyin.
Warga NU yang jumlahnya puluhan sampai ratusan juta jiwa tentu tak dapat diabaikan begitu saja, mereka adalah salah satu kekuatan politik terbesar di negeri ini.
Sejatinya, Mbah Moen bukan satu-satunya ulama NU yang menjadi “tempat persinggahan” para politikus dalam safarinya setiap hajatan politik tiba, namun juga sejumlah ulama dan pondok pesantren lainnya.
Fenomena ini sebagaimana dijelaskan dalam Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan (2010) yang disunting oleh Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzilli, tak bisa dilepaskan dari peran kiai-kiai NU yang masih dianggap sebagai patron, dan masyarakat tidak mudah melepaskan keterikatan politik dengan kiai panutannya.
Namun, terkadang pengaruh para kiai sebagai modal sosial warga Nahdliyin ini hanya dimanfaatkan sekilas, tak melampaui usia hajatan politik.
“Mereka dibutuhkan hanya pada saat-saat politisi membutuhkan dukungan. Setelah itu, kiai kembali dipandang sebagai komunitas tradisional tiada guna,” tulisnya.
Selain karena dianggap sebagai patron, Mbah Moen dan kiai-kiai NU lainnya juga merepresentasikan doktrin politik NU yang senantiasa luwes dan moderat. Mengacu pada catatan Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (2009), setidaknya ada tiga kaidah yang menjadi prinsip NU dalam mengarungi pelbagai tantangan zaman termasuk dalam ranah politik.
Pertama, “Dar’ al-mafasid muqaddam ala jalb al-mushalih (menghindari bahaya lebih diutamakan daripada melaksanakan kebaikan)”. Kedua, jika dihadapkan pada dua bahaya, maka mereka memilih yang risikonya paling kecil (akhaffud-dararain). Dan ketiga, bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain.
Tiga kaidah yang menjadi prinsip politik NU yang melahirkan sikap luwes dan moderat inilah yang selama ini menjadi penyeimbang dalam politik nasional.
Basis massa yang besar, pandangan moderat, serta jaringan luas membuat kiai-kiai NU disegani dan diperhitungkan termasuk oleh para politikus. Mbak Moen hanya satu contoh. Akan ada Mbah Moen-Mbah Moen yang lain selama prinsip dan doktrin politik NU berada dalam garis yang sama dengan hari ini.
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 7 Agustus 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Windu Jusuf & Ivan Aulia Ahsan