tirto.id - Padamnya listrik di area Jawa bagian barat dinilai dapat teratasi bila Indonesia memiliki jumlah pembangkit yang cukup di Pulau Jawa. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana mengatakan saat ini sebagian besar pembangkit berada di Jawa bagian timur.
Rida mengatakan, faktor ini turut menyumbang masalah mati listrik yang terjadi pada Minggu (4/8/2019) yang disebabkan terhentinya suplai listrik dari timur ke barat. Ini terjadi karena saat Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) terganggu, maka aliran listrik dari timur gagal mencapai ke barat. Sementara pembangkit yang tersedia di sisi barat Jawa tak mampu menahan kelebihan beban.
“Jangan semua pembangkit di timur. Jadi penting ini consider dari sisi pembangkit [listrik] tidak perlu bergantung ke timur,” kata Rida kepada para pewarta saat ditemui di Kementerian ESDM, Senin (5/8/2019).
Rida mengatakan saat ini pembangkit di timur memang menjadi tulang punggung atau backbone daya bagi Pulau Jawa. Menurut Rida, jika wilayah barat memiliki backbone-nya sendiri, maka tidak bergantung bahkan dapat membantu wilayah timur. Apalagi, kata dia, pasokan listrik area selatan juga bergantung pada backbone timur.
Akan tetapi, kata Rida, penambahan pembangkit di wilayah barat ini menjadi solusi jangka panjang. Sebab, kata dia, saat ini pemerintah belum akan mengubah Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
“Itu jangka panjang belum ke RUPTL ya,” ucap Rida.
Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Djoko Raharjo Abumanan tidak heran pasokan listrik di Jakarta hingga sebagian Jawa Tengah terganggu. Sebab, di Jawa bagian barat, pasokan hanya berasal dari tiga pembangkit dan nilai itu tidak mencukupi untuk menanggung kelebihan beban Jakarta, Bekasi, dan Banten.
Alhasil, kata Djoko, pada Minggu (4/8/2019) saat terjadi fenomena yang menurutnya mirip “jetrek” listrik di rumah.
“Ini langsung kolaps sistem yang ada di sebelahnya. Di beban ini kawatnya langsung turun tegangannya. Kalau dia turun, pembangkit-pembangkit di sisi barat langsung kolaps semua karena dia tidak seimbang,” kata Djoko di Kantor PLN Pusat Pengatur Beban (P2B) Gandul, Depok, Jawa Barat, Minggu (4/8/2019).
Namun, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services and Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan penambahan pembangkit listrik belum menjadi persoalan yang mendesak. Fabby menilai yang saat ini lebih mendesak adalah peninjauan ulang RUPTL.
Menurut Fabby, perencanaan yang sebenarnya sudah di-review oleh Direktorat Ketenagalistrikan Kementerian ESDM itu nyatanya masih memuat kelemahan. Sebab, kata dia, fenomena mati listrik yang terjadi pada Minggu kemarin menunjukkan adanya masalah pada keandalan dan keamanan pasokan daya.
“Kecukupan daya itu esensi dari RUPTL. Ini harus ditinjau ulang. Apakah selama ini sudah menjamin kecukupan pasokan dan rencana kontingensi? Jadi tidak sekadar membangun pembangkit baru,” kata Fabby saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (6/8/2019).
Fabby mengatakan dengan pembangkit yang ada sekarang pun, ia menilai kebutuhan listrik masih bisa terpenuhi. Hanya saja, kata dia, belajar dari mati listrik tersebut, perawatan atau maintenance perlu diperketat termasuk rencana cadangan.
Soal pentingnya mengoptimalkan pembangkit yang sudah ada, kata Fabby, memang cukup beralasan. Sebab, membangun pembangkit baru tidak mudah. Presiden Joko Widodo sendiri pernah mempersoalkan banyaknya perizinan yang harus dilalui. Meskipun sudah dipotong dari 259 izin menjadi 58 izin, Jokowi menilai jumlah itu masih terlalu banyak.
Belum lagi, jika pembangkit yang baru akan dibangun itu berteknologi Energi Baru Terbarukan (EBT). Mulai dari perizinan dan kepastian pembiayaannya saja sudah membuat investor kurang tertarik. Ditambah lagi masalah harga jual tenaga listrik yang tidak cukup menguntungkan buat investor.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi pun sempat mengingatkan agar pemerintah tidak selalu memiliki orientasi membangun pembangkit baru demi mengejar target 35 ribu MW.
Menurut Tulus, pemerintah juga perlu memedulikan keandalan pembangkit yang sudah ada.
Ia mencontohkan selain pembangkit, kehadiran infrastruktur pendukung lainnya seperti transmisi, gardu induk, hingga gardu distribusi perlu diperhatikan. Hal ini, kata Tulus, lebih penting dari sekadar menambah kapasitas pembangkit.
“Hal ini bisa menjadi tengara bahwa infrastruktur pembangkit PT PLN belum handal. Oleh karena itu, program pemerintah seharusnya bukan hanya menambah kapasitas pembangkit PLN, tetapi juga harus meningkatkan keandalannya,” ucap Tulus dalam keterangan tertulis pada Senin (5/8/2019).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz