Menuju konten utama

Masih Banyak Aral Merintangi Jalan Kemerdekaan Palestina

Mulai dari bekingan AS, resistensi atas solusi dua negara, hingga isu ketegasan negara-negara Barat terhadap Israel.

Masih Banyak Aral Merintangi Jalan Kemerdekaan Palestina
Peserta aksi dari gabungan sejumlah elemen aktivis membentangkan bendera Palestina saat aksi solidaritas untuk gerakan Freedom Flotilla di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Selasa (10/6/2025). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/foc.

tirto.id - Pengakuan atas Palestina sebagai negara berdaulat mengemuka di Sidang ke-80 Majelis Umum PBB (UN General Assembly—UNGA). Bahkan, dua hari sebelum pekan puncak sidang ini dimulai, beberapa negara secara gamblang menyatakan pengakuannya atas kedaulatan Palestina. Di antaranya adalah Kanada, Australia, Portugal, dan Inggris.

Demikian pula Prancis, Luksemburg, Malta, Monako, Andorra, dan Belgia telah mengakui secara resmi kedaulatan Palestina.

Seturut pemberitaan Al Jazeera, Palestina saat ini telah diakui sebagai negara berdaulat oleh 157 dari 193 negara anggota PBB—itu berarti mencakup 81 persen komunitas internasional.

Dalam agenda UNGA, Inggris dan beberapa negara sekutunya lantas menawarkan solusi dua negara.

"Menghadapi kengerian yang semakin meningkat di Timur Tengah, kami bertindak untuk menjaga kemungkinan perdamaian dan solusi dua negara," ujar Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, dalam sebuah pernyataan video berita Aljazeera, Minggu (21/9/2025).

Senada, Menteri Luar Negeri Portugal, Paulo Rangel, juga menekankan solusi dua negara sebagai resolusi untuk perang Israel-Palestina. Paulo mengklaim bahwa pengakuan atas kedaulatan Palestina menjadi fokus utama kebijakan luar negeri Portugal.

“Portugal menganjurkan solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan menuju perdamaian yang adil dan abadi. Gencatan senjata sangat mendesak,” kata Rangel, dikutip Guardian.

Pidato Presiden Prabowo dalam Sidang PBB

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato dalam Sidang Majelis Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, Selasa (23/9/2025). Presiden Prabowo menyampaikan pidato selama 19 menit bertemakan Seruan Indonesia untuk Harapan dengan menekankan solidaritas, keadilan global, hingga solusi dua negara bagi Palestina dan Israel. ANTARA FOTO/Kuntum Khaira Riswan/app/wpa.

Jika dirunut, gelombang pengakuan atas kedaulatan Negara Palestina mulai bergulir sejak medio 1980-an. Iran menjadi negara pertama yang mendeklarasikan pengakuannya. Sementara itu, Indonesia mengakui Palestina secara resmi pada 15 November 1988.

Pengakuan resmi atas kedaulatan Palestina itu jelas turut memperkuat kedudukannya secara global. Kini, Palestina memiliki kapasitas yang cukup untuk meminta pertanggungjawaban Pemerintah Israel atas perang dan pendudukan yang ia kobarkan di Gaza.

Dalam pembukaan pidatonya pada UNGA yang berlangsung Selasa (23/9/2025) pagi waktu Amerika Serikat, Sekjen PBB, Antonio Guterres, mengatakan bahwa apa yang terjadi di Gaza adalah sebuah peristiwa konflik melebih apa pun selama dirinya menjabat. Dia pun turut menyinggung soal perang Ukraina-Rusia dan konflik di Sudan.

“Di Gaza, kengerian ini mendekati tahun ketiga. Kekejaman ini merupakan akibat dari keputusan yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Skala kematian dan kehancuran yang ditimbulkannya melampaui konflik lain apa pun selama saya menjabat Sekjen PBB,” kata dia.

Guterres juga mengatakan bahwa Mahkamah Internasional (ICJ) yang berstatus pengadilan tertinggi PBB telah mengeluarkan beberapa resolusi untuk mengupayakan perdamaian di Gaza. Utamanya adalah mendesak Israel menghentikan genosida, mengizinkan penyelidikan atas dugaan kejahatan kemanusiaan, dan membuka akses bantuan kemanusiaan.

“Telah berulang kali saya kutuk dan tidak ada yang dapat membenarkan serangan terhadap rakyat Palestina dan penghancuran sistematis Gaza,” ujarnya.

Seperti halnya Inggris dan negara Blok Barat lain, PBB disebut Guterres bakal mengutamakan kebijakan solusi dua negara.

“Kita tidak boleh menyerah pada satu-satunya jawaban yang layak untuk perdamaian Timur Tengah yang berkelanjutan: solusi dua negara," ujar Guterres.

Masih Ada Batu Sandungan

Dalam literasi hubungan internasional, pengakuan resmi dari ratusan negara terhadap kedaulatan Palestina memang penting untuk melengkapi satu dari sekian syarat kedaulatan menurut konsensus internasional. Namun, beking Amerika Serikat terhadap agresivitas Israel masih menjadi batu sandungan terbesar dalam upaya Palestina menjadi negara berdaulat seutuhnya.

Dosen hubungan internasional dari Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Faisal Karim, mengatakan bahwa pengakuan resmi negara-negara Barat memang cukup untuk melegitimasi pembahasan masalah kedaulatan Palestina di forum UNGA.

“Ini menjadi momen untuk pressure Israel,” kata Faisal kepada Tirto, Selasa (23/9/2025).

Namun, proposal solusi dua negara yang ditawarkan negara-negara Barat dan beberapa pendukung lain masih rawan mentok sebagai aksi simbolik semata. Pasalnya, Israel telah terang-terangan menolak proposal itu. Dalam perspektif politik Israel, tidak ada dua negara dalam satu kawasan.

Resistensi Israel itu jelas bakal menyulitkan upaya internasional untuk mewujudkan solusi perdamaian itu.

Di sisi lain, menurut Faisal, Inggris pada dasarnya tidak bisa sepenuhnya memihak Palestina. Pasalnya, ialah yang mencetuskan Deklarasi Balfour yang memungkinkan Negara Israel berdiri di Wilayah Mandat Inggris di Palestina. Itulah awal kolonisasi Israel atas Palestina.

Faisal menjelaskan bahwa Deklarasi Balfour “mengikat” Inggris untuk mendukung Israel. Namun, Inggris juga ingin keluar dari pakem dukungan diplomatiknya kepada Israel selama ini. Oleh karena itu, Inggris—juga negara Barat lain—harus berupaya keras agar Israel mau menerima solusi dua negara. Jika itu tercapai, Inggris yang terikat Deklarasi Balfour itu tetap punya justifikasi untuk mendukung Israel.

“[Melalui pengakuan Palestina] Inggris ingin tekankan Israel untuk percayai two state solution. Itu fungsi dan artinya [Pengakuan Palestina]. Meaningful bagi palestina, karena Inggris itu paling dekat dengan Israel dan Amerika Serikat, tapi mau keluar dari pakem dukungan selama ini,” tutur Faisal.

Selain itu, menurut Faisal, kebijakan Inggris mengakui kedaulatan Palestina berkelindan dengan kepentingan nasionalnya. Ia berkepentingan untuk mengamankan apa yang disebut Western Liberal Order—prinsip vital bagi negara Barat dalam percaturan politik global.

Terlepas dari kepentingan itu, pengakuan Inggris juga dipicu oleh tekanan sipil dan politik dalam negeri. Sebagai negara demokrasi, rakyat Inggris menekan pemerintahnya untuk mengategorikan tindakan Israel terhadap Palestina sebagai kejahatan genosida.

“Tapi, [sebatas pengakuan] enggak cukup karena bukan untuk menyetop genosida,” kata dia.

Resolusi DK PBB terkait Gencatan Senjata Gaza

Anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan suara atas resolusi yang menyerukan gencatan senjata dan akses kemanusiaan tanpa batas di Gaza, di markas besar PBB di New York City pada tanggal 4 Juni 2025.. (Photo by Leonardo Munoz / AFP)

Pasalnya, jika memang ingin agresif dan progresif dalam persoalan Palestina, Inggris bisa saja meniru Spanyol yang terang-terangan melakukan embargo senjata secara total terhadap Israel. Ada pula Turki yang menutup akses perdagangan internasional dengan Israel.

Menurut Faisal, langkah dua negara itu bisa berdampak karena titik lemah Israel terletak pada aspek ekonomi yang bergantung pasar Eropa.

Pressure ke Israel akan jadi big deal kalau ada tekanan ekonomi dan militer dari Inggris dan Prancis. Tapi, saya tidak melihat dalam waktu dekat perubahan kalkulasi Inggris,” kata Faisal.

Jika Inggris dan Perancis berani mengerahkan hard power-nya kepada Israel, rintangan lain yang harus dimitigasi mereka adalah menghangatnya dinamika relasi dengan AS. Belum lagi dinamika politik dalam negerinya pun harus diperhitungkan.

“Kemungkinan Inggris berlaku agresif sangat kecil karena masih ada Zionis konservatif dan kini yang berkuasa adalah Partai Buruh yang rada kanan. Jadi, ada kontestasi politik domestik dalam kebijakan luar negeri Inggris. [Itulah sebabnya pengakuan atas Palestina] hanya sebatas recognize simbolis saja,” imbuhnya.

Alhasil, modal pengakuan internasional belaka saat ini belumlah benar-benar cukup untuk mendukung cita-cita kedaulatan penuh Palestina. Masih banyak parameter lain, seperti kedaulatan wilayah hingga pemerintahan, yang harus terpenuhi.

“Palestine Authority (PA) itu belum dianggap pemerintahan Palestina. Kalau mau, negara Barat harusnya push adanya Negara Palestina dengan segala syarat pendirian negara,” kata dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI), Hendrajit, mengatakan bahwa pengakuan atas kedaulatan Palestina saat ini masihlah hanya menjadi alat untuk memenuhi kepentingan nasional negara-negara Barat.

Hendrajit berpendapat bahwa relasi AS-Inggris mulai merenggang karena beberapa faktor, di antaranya ekses perang dagang. Pengakuan atas kedaulatan Palestina dan dukungan terhadap proposal solusi dua negara lalu dijadikan momentum London untuk menajamkan relasi dengan Washington DC. Pasalnya, proposal solusi dua negara memang terkesan mendesak AS dan Israel.

“Yang mendua dari terobosan [solusi dua negara] itu adalah Hamas yang dipojokkan. Ini hal strategis, tapi jadi komplikasi. Bisa saja isu kemerdekaan Palestina ini jadi isu antara saja yang ujungnya akan ada global reset. Termasuk, adanya reformasi PBB,” ujar Hendrajit kepada Tirto, Senin (22/9/2025).

Baca juga artikel terkait PALESTINA atau tulisan lainnya dari Rohman Wibowo

tirto.id - News Plus
Reporter: Rohman Wibowo
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Fadrik Aziz Firdausi