tirto.id - Sepotong tangan kiri palsu yang terbuat dari kayu selalu diarak oleh pasukan Legiun Asing Perancis saat memperingati hari ulang tahun mereka yang jatuh setiap 30 April, yang disebut Camaron Day. Tangan palsu dari kayu itu yang diletakkan dalam sebuah peti kaca itu merupakan milik Kapten Jean Danjou. Ia adalah pemimpin unit patroli Legionnaire yang dikepung sekitar 2.000 tentara Meksiko, saat Perancis berupaya menganeksasi negara tersebut pada tahun 1863.
Tanggal 30 April merupakan hari peringatan The Battle of Cameron. Pertempuran yang terjadi di Camaron, Meksiko pada 1863 tersebut merupakan sebuah simbol atas keberanian dan kehebatan mental bertarung hingga mati dari anggota Legiun Asing Perancis atau French Foreign Legion, yang juga dikenal sebagai Legion Etrangere (LE) melawan tentara Meksiko.
Dalam pertempuran itu, satu unit kecil patroli Legionnaire yang terdiri dari 65 prajurit, di bawah kepemimpinan Kapten Danjou dikepung 2.000 pasukan infanteri dan kavaleri Meksiko. Kapten Danjou, dibantu dua perwira dan 62 Legionnaire, memilih tetap bertarung meski menghadapi lawan yang tak seimbang.
“Kami punya amunisi dan kami tidak akan menyerah!” Teriakan Kapten Danjou menggema, membakar semangat pasukannya. Perlawanan mereka bertahan lebih dari sepuluh jam. Sayangnya, pertempuran sangat tidak seimbang.
Satu per satu Legionnaire tewas, termasuk Kapten Danjou. Lima Legionnaire yang tersisa, tetap tak mau menyerah. Saat amunisi habis, mereka menggunakan bayonet sebagai alat tempur terakhir.
Melihat lawan sudah nyaris habis, komandan pasukan Meksiko memerintahkan pasukan untuk menghentikan tembakan dan membiarkan kelimanya hidup. Sebagai bentuk penghormatan atas keberanian lawan, Legionnaire yang tersisa dipersilahkan menjadi pengawal untuk jasad Kapten Danjou.
Pasukan Gerak Cepat
LE merupakan tentara Perancis yang beranggotakan warga negara asing (WNA). Raja Louise Phillipe membentuk LE pada 10 Maret 1831, hanya selang setahun setelah berdiri satu-satunya legiun asing di Asia, yakni tentara kolonial Kerajaan Belanda di Indonesia atau Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Kesamaan lain antara LE dengan KNIL, mereka ditugaskan di wilayah koloni, bukan di negara induk.
LE yang memiliki bendera khas merah dan hijau dengan emblem granat itu, dibentuk untuk mengamankan dan memperluas kolonial Kerajaan Perancis, di abad ke-19. Pada awalnya, pasukan hanya ditempatkan di Aljazair untuk mengamankan wilayah. Sebelum Aljazair merdeka pada tahun 1962, markas LE berada di Kota Sidi-Bel-Abbès, Aljazair. Kini, markas LE berada di Aubagne, di pinggiran kota Marseille.
Demi kepentingan Perancis, LE kemudian diterjunkan ke sejumlah perang di berbagai negara dan benua. Sebut saja Perang Carlist di Spanyol, pada tahun 1835 yang merupakan pengalaman pertama. Kemudian Perang Krimea pada tahun 1854, di selatan Ukraina. Atau pada 1863, LE dikirim ke benua Amerika untuk menganeksasi Meksiko.
Saat Perang Dunia I, pada 1914-1918, LE semakin banyak terlibat dalam pertempuran penting di front barat. Peran LE menurun pada Perang Dunia II, meskipun tetap terlibat di Norwegia, Suriah, dan Afrika Utara.
Selanjutnya antara 1960-1970, LE mendapat tugas baru sebagai pasukan gerak cepat Perancis. Tidak hanya untuk mengamankan kepentingan Perancis di negara-negara bekas jajahannya di Afrika, tapi juga ke berbagai tempat lain di dunia.
Pada 1990, misalnya, LE terlibat dalam proses evakuasi warga Perancis dan asing di Rwanda, Gabon dan Zaire. LE juga dikerahkan ke Kamboja, Somalia, Sarajevo, atau Bosnia dan Herzegovina. Pada pertengahan hingga akhir 1990-an, LE dikerahkan ke Republik Afrika Tengah, Kongo-Brazzaville, juga Kosovo.
Kemudian pada era 2000-an, LE dilibatkan dalam Operasi Enduring Freedom di Afghanistan, Operasi Licorne di Pantai Gading, atau Operasi Serval saat meletus konflik di Mali Utara.
Dipimpin Jenderal Perancis
Meski anggotanya berasal dari berbagai warga negara, pasukan yang terkenal dengan “White Kepi” atau topi tabung warna putih ini tetaplah dipimpin oleh seorang jenderal yang berkebangsaan Perancis. Keanggotaannya tetap terbuka bagi warga Perancis. Pada tahun 2007, sekitar 24 persen rekrutmen Legionnaire adalah warga negara Perancis.
Saat ini, LE dipimpin oleh Brigjen Christophe de Saint Chamas yang menjabat sejak tahun 2011. Dia menggantikan Jenderal Alain Bouquin yang memegang komando antara 2009-2011. Jenderal Chamas merupakan komandan LE ke-11.
Pasukan yang juga memiliki slogan "Honneur et Fidélité" atau "Kehormatan dan Loyalitas" itu, beranggotakan 7.700 prajurit yang terbagi dalam sebelas resimen dan satu sub unit resimen. Adapun sebelas resimen itu tersebar di berbagai wilayah, selain di markas besar di Perancis.
Resimen di dalam LE juga dispesialisi berdasarkan kemampuan Legionnaire, meliputi Foreign Infantry, Foreign Airborne Infantry, Foreign Armoured Cavalry, Foreign Combat Engineer, Foreign Airborne Engineer, dan Regimental Foreign Military Police.
Gaji Besar
Perancis membuka kesempatan besar bagi WNA yang ingin mengabdi menjadi LE. Bagi kandidat yang berminat silakan terbang langsung ke Perancis dan mendatangi beberapa tempat yang sudah ditunjuk untuk seleksi. Seleksi utama dilakukan di markas pusat LE di Aubagne. Pemeriksaan menyeluruh secara medis dilakukan di rumah sakit kota Toulon, salah satu basis Angkatan Laut Perancis.
Setelah lolos seleksi, para calon Legionnaire wajib menjalani latihan dasar “15 Minggu di Neraka”. Jika lolos, mereka menandatangani kontrak kerja selama lima tahun dan menjadi Legionnaire kelas dua atau prajurit dua.
Jenjang karier terbuka untuk naik pangkat menjadi sous officiers atau bintara senior, bahkan mencapai pangkat officiers atau perwira. Sejak berdiri, tercatat jumlah terbesar Legionnaire adalah warga negara Jerman, Italia, Belgia, Perancis, Spanyol, dan Swiss.
Lepas dari LE, para Legionnaire itu bisa memiliki kehidupan yang cukup menarik. Jika berhenti berdinas masih di usia produktif, terbuka peluang untuk menjadi tentara bayaran dengan bergabung ke Private Military Contractor (PMC), perusahaan penyedia jasa dan keahlian yang berhubungan dengan bidang militer. Gajinya sangat menggiurkan.
Seorang mantan Legionnaire, eks 2nd Foreign Engineer Regiment (Perancis) dan 3rd Foreign Infantry Regiment (Guyana) sebut saja Hans, mengungkapkan besarnya gaji di PMC. Hans pernah bekerja di PMC Aegis di Irak, setelah menyelesaikan kontrak lima tahunnya di LE. Gajinya $140 ribu atau sekitar Rp1,8 miliar untuk kontrak setahun atau sekitar Rp150 juta sebulan. “Itu Termasuk kecil karena saya masih anak bawang,” katanya.
Masih menurut Hans, PMC seperti Aegis atau Blackwater pernah memberi gaji gila-gilaan untuk tentara bayaran yang dikirim ke Irak atau Afghanistan. Temannya yang berbekal pengalaman 10 tahun di LE dari 2nd Foreign Parachute Regiment, mendapat gaji sekitar $300 ribu atau Rp3,9 miliar setahun. Itu pun bebas pajak. Sementara teman lainnya yang pernah berdinas 10 tahun di Navy Seals, pasukan khusus Angkatan Laut AS, diterima di PMC Haliburton dengan gaji $350 ribu setahun atau sekitar Rp4,6 miliar.
“Enak sih di PMC. Tapi ya itu, kalau nggak dari Legion Asing, Navy Seals, USMC (United State Marine Corps), atau British Royal Marine, jangan harap dapat interview deh,” kata Hans.
Hal lain yang menarik, tak lain perlakuan LE terhadap para mantan Legionnaire yang cacat atau tak lagi di usia produktif. Contohnya, para veteran Legionnaire yang cacat saat bertugas, telah dipersiapkan tempat tinggal di perkebunan anggur di kaki pegunungan Montagne Sainte-Victoire, Puyloubier.
“Benar soal kebun anggur itu ada di Puyloubier. Panti jompo untuk Légionnaire yang pensiun dan tidak punya keluarga juga ada,” kata AC, seorang WNI yang pernah menjadi Legionnaire.
Menjadi Legionnaire ternyata tak hanya soal petualangan yang menantang ataupun gaji besar, tetapi juga peluang memiliki kehidupan yang lebih baik setelah bertugas.
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti