tirto.id - Cawapres nomor urut 01 Ma’ruf Amin mengatakan cara pengambilan saham Freeport oleh Indonesia sangatlah mulus dan tanpa kegaduhan apapun. Hal ini, menurut Ma’ruf, merupakan salah satu bukti lain dari keberhasilan kepemimpinan Jokowi.
Ma’ruf berharap masyarakat bisa memberi apresiasi tinggi kepada Joko Widodo karena mengambil alih saham Freeport yang sejak dulu tidak bisa dilakukan. Pengambilannya pun tidak main-main, dari angka 9 persen menjadi 51 persen.
“Perolehan 51 persen saham itu luar biasa. Beberapa presiden tak mampu ambil alih itu,” kata Ma’ruf di Rumah Situbondo, Menteng, Jakarta, Sabtu (22/12/2018).
Ma’ruf meyakini bahwa pengambilan saham Freeport tentu tidak mudah. Namun Ketua Umum MUI ini melihat Jokowi berhasil memperoleh saham itu tanpa membuat kegaduhan di masyarakat.
“Sangat cantik caranya bisa memperoleh 51 persen saham ini. Pasti dilakukan dengan diplomasi dan pendekatan sehingga tak gaduh,” katanya lagi.
Namun ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, malah mengkritik keras rencana pemerintah untuk mengakuisisi saham 51,2 persen saham PT Freeport Indonesia. Menurutnya, hal tersebut menyedihkan sebab Freeport merupakan milik sah Indonesia, dan tidak pernah menjadi milik asing.
Karena itu lah, menurut dia, santernya kabar soal pelunasan pembayaran divestasi saham oleh PT Asahan Aluminium itu adalah sebuah kebodohan pemerintah.
"Ini Freeport Punya Indonesia, nih, dibeli. Kan goblok," ujarnya saat ditemui di kawasan Cikini, Menteng Jakarta Pusat, Jumat (21/12/2018).
Apalagi, yang selama ini digembar-gemborkan Pemerintah atas pembelian 51 persen saham itu adalah kepentingan nasional.
"Katanya gara-gara 51 persen Indonesia berdaulat, kedaulatan itu bukan ditentukan persentase. Indonesia tetap berdaulat terhadap Freeport. Karena apa? Aturan-aturan terkait Freeport kita buat, royalti berapa, pajak berapa, itu kedaulatan," tukasnya.
Lanjutnya lagi, utang yang dipakai untuk membiayai transaksi tersebut beraasal dari penerbitan obligasi global (global bond) dengan nilai yang sangat besar. Totalnya mencapai 4 miliar dolar AS atau sekitar Rp55,8 triliun.
Menurutnya, resiko Inalum dengan utang dalam bentuk global bond lebih besar ketimbang pinjaman multilateral/bilateral.
Resiko itu di antaranya soal bunga yang lebih minim, serta pembayaran utang yang bisa direstrukturisasi jika ada potensi gagal bayar.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Irwan Syambudi