tirto.id - Akuisisi 51,2 persen saham PT Freeport Indonesia telah rampung setelah negosiasi alot berbulan-bulan. Perusahaan pelat merah resmi menguasai mayoritas saham perusahaan tambang asal Amerika itu. Masyarakat Papua juga diklaim akan menerima 10 persen dari total saham yang diakuisisi tersebut.
Presiden Joko Widodo berharap dengan kesepakatan ini, pendapatan negara bertambah baik dari sektor pajak maupun non-pajak.
Kepemilikan 51,23 persen saham tersebut nantinya akan terbagi dengan komposisi 41,23 persen untuk Inalum dan 10 persen lainnya untuk Pemda Papua.
Saham Pemda Papua akan dikelola perusahaan khusus, yaitu PT Indonesia Papua Metal dan Mineral (IPPM). Sementara komposisi kepemilikan saham PT IPPM ialah 60 persen milik Inalum dan 40 persen untuk BUMD Papua.
Meski kesepakatan disambut suka cita oleh pemerintah, namun bagi ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri, langkah ini patut dikritisi.
Menurutnya ini menyedihkan, sebab area tambang yang dikelola Freeport sejak awal adalah milik Indonesia dan tidak pernah menjadi kepunyaan asing. Tak ada yang lebih konyol ketimbang membeli milik sendiri.
"Ini Freeport punya Indonesia, nih, dibeli. Kan goblok," kata Faisal saat ditemui di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (21/12/2018) siang.
Apa yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah atas pembelian 51 persen saham itu adalah "kepentingan nasional." Pemerintah kerap mengaitkan kepemilikan mayoritas saham Freeport dengan kedaulatan Indonesia.
Bagi Faisal, pembelian ini sama sekali tidak bisa dikaitkan dengan itu.
"Katanya gara-gara 51 persen Indonesia berdaulat. Kedaulatan itu bukan ditentukan persentase. Indonesia tetap berdaulat terhadap Freeport. Karena apa? Aturan-aturan terkait kita buat, royalti berapa, pajak berapa, itu kedaulatan," tegasnya.
Risiko Global Bond
Apalagi, kata Faisal, utang yang dipakai untuk membiayai transaksi tersebut banyak dari penerbitan obligasi global (global bond) dengan nilai yang sangat besar. Totalnya mencapai 4 miliar dolar AS atau sekitar Rp55,8 triliun.
Menurutnya, risiko utang dalam bentuk global bond lebih besar ketimbang pinjaman multilateral/bilateral. Soalnya utang lewat multilateral/bilateral bunganya lebih kecil. Pembayaran pun bisa direstrukturisasi jika ada potensi gagal bayar.
"Kalau pinjam di global bond, maka itu pinjam ke pasar. Pinjam ke pasar itu tidak ada negosiasi macam-macam. Kalau asing itu punya sentimen negatif terhadap Indonesia, dia jual besoknya. Harganya ancur. Mampus kita," jelasnya.
Inalum memang menerbitkan obligasi internasional untuk membiayai akuisisi Freeport. Obligasi tersebut ditawarkan ke beberapa negara seperti Amerika Serikat, Hongkong, dan Singapura, dan hasilnya positif.
Dirut Inalum Budi Gunadi Sadikin pada November lalu menjelaskan alasan mengapa Inalum akhirnya memilih global bond ketimbang kredit dari sindikasi bank internasional. Hal ini dilakukan untuk mengurangi risiko pembengkakan bunga kredit.
Apalagi, kata Budi, saat ini suku bunga di London Interbank Offerd (LIBOR) menunjukkan tren kenaikan.
"Kalau Perbankan bunganya, kan, tergantung LIBOR. Sekarang tren bunga itu naik, jadi kita pengin fixed-kan [global bond] karena takutnya naik," imbuhnya.
Selain itu, menurutnya, global bond juga lebih bagus bagi arus kas perusahaan. Sebab jika pinjam dari perbankan harus ada cicilan pokoknya setiap enam bulan atau setiap tahun. Jika dalam bentuk obligasi pokoknya dibayarkan di akhir.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino