tirto.id - Terdapat tradisi unik yang lazim dilakukan umat Islam di Indonesia saat merayakan Idulfitri atau Lebaran, yaitu halalbihalal. Sebenarnya orang Arab tidak mengenal kata halalbihalal. Ini adalah tradisi kreasi tanah air, otentik, dan sejarahnya ada di Nusantara.
Acara halalbihalal akrab dengan suasana silaturahmi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), halalbihalal adalah aktivitas maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat seperti auditorium, aula, dan sebagainya.
Dari pengertian di atas, kegiatan utama dalam halalbihalal adalah saling bermaaf-maafan. Kegiatan ini biasanya diselenggarakan di suatu lingkungan masyarakat dengan tetangga, kolega kerja, atau pun kenalan jauh. Pelaksanaan halalbihalal juga dilakukan di istana kenegaraan, universitas, hingga trah keluarga besar.
Sejarah Halalbihalal di Indonesia
Menurut Antropolog UIN Sunan Kalijaga Muhammad Soehadha, jika tradisi halalbihalal bermakna silaturahmi usai Hari Raya Idulfitri, maka muasal acara ini bisa dilacak sejak abad ke-18 di Nusantara.
Tradisi ini bermula dari pisowanan yang dilakukan di Istana Mangkunegaran, Surakarta. Ketika pengaruh Islam kian kuat, acara yang mulanya adalah tradisi kraton ini disesuaikan dengan semangat keislaman.
Tradisi pisowanan di Mangkunegaran bisa dirunut sejak era pendiri salah satu kerajaan pecahan Dinasti Mataram ini, yakni Raden Mas Said atau KGPA Arya Mangkunegara I (1757-1795 Masehi) alias Pangeran Sambernyawa.
Kala itu Mangkunegara I mengumpulkan keluarga dan kerabat kerajaan, para abdi dalem, hingga prajurit. Setelah merayakan Idulfitri, dilakukan acara sungkeman untuk menunjukkan hormat dan meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan, baik sengaja atau tidak.
Maka itulah, ahli linguistik Belanda, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, mencatat kegiatan ini dalam Kamus Jawa-Belanda (1938) dalam entri huruf "A", yaitu "alal behalal" yang artinya acara maaf-maafan ketika hari raya.
Tahun 1924, majalah Soeara Moehammadijah kala itu juga menuliskan tentang halalbihalal. Saat itu, penyebutannya adalah chalal bi chalal yang artinya kegiatan silaturahmi, memohon maaf antar umat Islam selepas Lebaran.
Istilah halalbihalal kemudian dipopulerkan oleh salah satu pendiri NU, KH Wahab Chasbullah (1888-1971) pada 1948.
Diceritakan bahwa Presiden Sukarno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara dan dimintai pendapatnya untuk mengatasi kerenggangan para pejabat politik pada masa itu.
Menjawab pertanyaan Bung Karno, KH Wahab Chasbullah mengusulkan untuk diadakan acara silaturahmi. Kebetulan saat itu menjelang Hari Raya Idulfitri 1367 H, maka beliau mengusulkan agar diselenggarakan acara halalbihalal.
"Para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu 'kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa [haram], maka harus dihalalkan,"kata Kiai Wahab, sebagaimana dilansir NU Online.
"Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan, sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah halalbihalal," lanjutnya.
Berkat usulan KH Wahab Chasbullah, acara halalbihalal kian populer dan terus diselenggarakan hingga sekarang.
Makna Halalbihalal: Pribumisasi Ajaran Islam
Orang Arab tidak paham dengan kata "halalbihalal" karena bukan dari bahasa Arab "normal".Pemaknaan halalhihalal harus dilihat dari konteks keindonesiaan, sebagaimana dituliskan Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Ummat (2007).
Quraish Shihab memandang bahwa tradisi halalbihalal merupakan pribumisasi ajaran Islam di masyarakat Indonesia. Kendati demikian, jika lacak dalam bahasa Arab, terdapat sejumlah pendekatan untuk memaknai halalbihalal.
Pertama, halal dalam hukum Islam merupakan lawan dari haram. Perbuatan haram merupakan laku dosa yang diancam dengan siksa neraka. Karena itulah, pemaknanaan halalbihalal dapat dipahami sesuai konteks yang pernah disampaikan KH Wahab Chasbullah kepada Presiden Sukarno pada 1948.
Dalam artian ini, halalbihalal adalah aktivitas untuk "menghalalkan" hubungan tak harmonis (haram). Artinya, halalbihalal bertujuan untuk harmonisasi relasi yang renggang atau malah sebelumnya bermusuhan.
Kedua, dalam bahasa Arab, halalbihalal dapat dirujuk kepada kata halla atau halala yang artinya menyelesaikan masalah atau kesulitan, atau mengurai benang kusut, atau melepaskan ikatan yang membelenggu.
Dalam hal ini, acara halalbihalal menjadi ajang untuk mendamaikan hubungan yang keruh agar jernih. Jika hubungan itu kusut, maka acara halalbihalal diharapkan menjadi media untuk meluruskan hubungan tersebut.
Makna demikian sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
"Bukanlah bersilaturrahim orang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang bersilaturahmi adalah yang menyambung apa yang putus," (H.R. Bukhari)
Di Indonesia, kata halalbihalal mengalami perubahan berkali-kali, mulai dari chalal bil chalal (1924), alal bahalal (1926), halal bihalal (1931), alal behalal (1938), halal behalal (1938), hingga sekarang menjadi halalbihalal.
Kendati demikian, esensi halalbihalal yang merupakan ajang silaturahmi, bermaaf-maafan, dan saling mengunjungi saudara, karib-kerabat, dan kolega kerja tak pernah lekang hingga kini.
Dalam Islam, orang yang melakukan silaturahmi akan dilapangkan rezekinya, diampuni dosanya, dan dilingkupi rahmat di sisi Allah SWT, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
"Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu saling bersalaman, kecuali keduanya diampuni dosanya sebelum keduanya berpisah,” (H.R. Abu Daud).
Halalbihalal Jarak Jauh & Pandemi COVID-19
Pandemi COVID-19 yang belum mereda di Indonesia mengharuskan segala kegiatan bertemu fisik dilakukan dengan menaati protokol kesehatan, termasuk dalam acara halalbihalal.
Dalam fatwa MUI No. 24 Tahun 2021 (PDF) disebutkan bahwa acara halalbihalal dapat dilakukan secara virtual jika berpotensi memicu kerumunan, sebagai upaya pencegahan COVID-19.
Terlebih, akibat larangan mudik Lebaran 1442 H, menjadikan banyak perantau menghabiskan Hari Raya Idulfitri jauh dari rumah.
Salah satu solusinya adalah dengan menyelenggarakan halalbihalal secara daring melalui aplikasi media sosial atau video telekonferensi. Esensi halalbihalal yang merupakan kegiatan silaturahmi dan saling meminta-maaf tetap dapat terwujud kendati dilakukan jarak jauh.
Pelaksanaan halalbihalal jarak jauh ini bukan pertama kali di Indonesia. Pada 1926, majalah Soeara Moehammadijah sudah berinovasi memperkenalkan halalbihalal jarak jauh yang dimediasi lewat lembaran halaman majalahnya.
Menurut redaksi Soeara Moehammadiyah, halalbihalal tidak mesti melalui jabat tangan. Sebagai misal, pada majalah Soeara Moehammadijah edisi 1926, disediakan kolom bagi yang berbunyi:
"Toean-toean dan saudara kaum Islam teroetama kaum Moehammadijin’ yang ingin bersilaturahmi di Hari Raya Idul Fitri. Dengan biaya yang terjangkau (f 0,50), majalah ini bersedija oentoek menjampaikan alal-bahalal saudara".
Sejak itu, tradisi halalbihalal dan penyampaian selamat Lebaran di lembaran majalah Soeara Moehammadiyah terus berlanjut bertahun-tahun kemudian.
Kegiatan halalbihalal jarak jauh di masa pandemi COVID-19 memiliki prinsip sama dengan yang sudah dilakukan puluhan tahun lampau. Bedanya, kini teknologi sudah kian canggih. Orang bisa saling tatap muka secara virtual, tidak lagi harus berkirim surat atau halalbihalal lewat kolom halaman majalah.
Selain itu, tujuan halalbihalal adalah untuk mempererat persaudaraan dan saling bermaafan. Kendati pengerjaannya tidak langsung bertatap muka, namun maksud silaturahmi itu dapat tercapai meskipun hanya dilakukan secara daring.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Iswara N Raditya