tirto.id - Sejumlah mahasiswa gabungan dari berbagai kampus melangsungkan aksi damai di depan Gedung Kemendikbud menuntut diselesaikannya kasus-kasus kekerasan seksual di ranah kampus.
"Kepada Menteri Kemendikbud untuk menggunakan wewenang Kemendikbud memecat dosen pelaku kekerasan seksual," tegas salah satu peserta aksi, Lathiefah Widuri Retyaningtyas, atau akrab dipanggil Tyas, saat ditemui di Kemendikbud pada Senin (10/2/2020) pagi.
Tyas, yang juga tergabung dalam Jaringan Muda Setara, organisasi yang berfokus pada masalah kekerasan seksual di lingkup kampus, menilai bahwa Nadiem Makarim selaku Mendikbud sepatutnya turun tangan dan secara tegas menangani masalah kekerasan seksual di kampus.
"Nadiem Makarim telah meluncurkan program nasional 'Merdeka Belajar, Kampus Merdeka'. Namun, semangat bebas dari kekerasan seksual sama sekali tidak tercantum," ungkap Tyas.
Padahal, jelas Tyas, program seperti penelitian atau riset, praktik lapangan, hingga magang, yang digadang-gadang oleh Nadiem, justru tak jarang menjadi ruang terjadinya kekerasan seksual.
Saat ini, jelas Tyas, memang sudah ada sejumlah kampus yang akhirnya mengeluarkan SOP atau pedoman untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Namun, masih lebih banyak yang belum, serta masih adanya stigma yang buruk terhadap korban kekerasan seksual.
"Di sinilah seharusnya Kemendikbud mengambil sikap tegas untuk berpihak pada korban," tegas Tyas.
"Dan menyatakan kepada seluruh civitas akademik bahwa kampus merdeka adalah kampus adalah kampus yang bebas dari kekerasan seksual," tambahnya.
Kolaborasi "Nama Baik Kampus"—melibatkan Tirto, The Jakarta Post, dan Vice Indonesia—pada tahun lalu menjaring 207 orang memberikan testimoni yang dibuka sepanjang 13 Februari hingga 28 Maret 2019. Dari 207 testimoni itu, Kolaborasi menemukan ada 174 kasus yang berhubungan dengan institusi perguruan tinggi.
Para penyintas yang menulis untuk testimoni tersebar di 29 kota dan berasal dari 79 perguruan tinggi. Mayoritas atau sekitar 88 persen dari total penyintas berasal dari kampus-kampus di Pulau Jawa.
Seluruh 174 penyintas yang menulis testimoni mengalami bentuk-bentuk kekerasan seksual sebagaimana dalam rumusan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Bentuk kekerasan seksual yang paling sering dialami para penyintas adalah pelecehan seksual. Sebanyak 129 penyintas menyatakan pernah dilecehkan; 30 penyintas mengalami intimidasi bernuansa seksual; dan 13 penyintas menjadi korban pemerkosaan.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Hendra Friana